Facebook

Kamis, 18 Agustus 2011

Tambahan Pertanyaan dan Pembahasan Terkait I’tikaf

Tambahan Pertanyaan dan Pembahasan Terkait I’tikaf

Kapan seseorang masuk beri’tikaf?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahmahullah berkata dalam “Fatawa”nya no soal 14046: “Adapun masuknya i’tikaf, maka empat imam madzhab berpendapat bahwa siapa yang ingin i’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan maka dia masuk masjid sebelum tenggelamnya matahari pada malam 21. Dan mereka berdalilkan dengan:

Telah disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih bahwa beliau i’tikaf sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.


Dan kata “sepuluh” adalah tamyiz bagi kata “malam” (dalam ilmu nahwu). Dan sepuluh malam terakhir dimulai dari malam ke 21. Maka berdasarkan ini yang beri’ikaf mulai masuk masjid sebelum tenggelam matahari pada malam ke 21.

Adapun hadits,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ingin beri’tikaf maka beliau shalat fajar dahulu kemudian masuk tempat i’tikafnya.”

Sebagian ulama berpendapat dengan hadits ini bahwa i’tikaf dimulai setelah shalat fajr. Namun jumhur ulama menjawab pendapat ini dengan dua jawaban:

Pertama: An-Nawawy rahimahulah berkata dalam syarh hadits ini: “…Dan Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berkata yang i’tikaf mengawali i’tikafnya sebelum tenggelamnya matahari.. Dan mereka menafsirkan hadits di atas: “Bahwa beliau masuk tempat i’tikaf (yang khusus bagi beliau) dan menyendiri padanya setelah shalat subuh dan itu bukanlah dimaksudkan sebagai waktu dimulainya i’tikaf. Bahkan beliau mulai masuk dan berada di dalam masjid sebelum tenggelam matahari lalu setelah shalat subuh beliau menyendiri (di tempat yang khusus bagi beliau)

Kedua: Al-Qadhy Abu Ya’la rahimahullah berkata: “Bahwa hal itu beliau lakukan pada hari ke 20.” As-Sindy rahimahullah berkata: “Jawaban ini lebih mendatangkan kemungkinan dan lebih pantas dijadikan sandaran.”

Semisal ini beliau katakan juga dalam “Fatawa Shiyam” hal. 501, 503.


Apakah disunnahkan mengkhususkan tempat baginya?


Disunnahkan bagi orang yang i’tikaf untuk menkhususkan tempat baginya sebagaimana hal ini diisyaratkan dalam hadits, ‘Aisyah yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ingin beri’tikaf maka beliau shalat fajar dahulu kemudian masuk tempat i’tikafnya.”


Kapan dia keluar dari i’tikafnya, setelah tenggelam matahari malam hari ‘id atau pagi hari ‘id?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam “Fatawa Shiyam” hal. 502: “Orang yang i’tikaf keluar dari i’tikafnya jika telah usai Ramadhan, dan usainya Ramadhan itu adalah dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘id.”

Demikian pada “Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah” (11/411): “Waktu i’tikaf sepuluh malam Ramadhan selesai dengan tenggelamnya matahari pada akhir hari itu.”



Apakah boleh meneruskannya sampai pagi?


An-Nawawy rahimahullah berkata dalam “Al-Majmu’” (6/323): “Asy-Syafi’i dan para shahabat (syafi’iyah) berkata: “Siapa yang ingin mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam i’tikaf sepuluh malam terakhir bulam Ramadhan, maka seharusnya dia masuk masjid sebelum tenggelamnya matahari malam ke 21 dan keluar setelah tenggelamnya matahari malam ‘id… Dan yang utama adalah ia tetap tinggal di masjid pada malam ‘id sampai dia berangkat ke tempat shalat ‘id.”



Jika seorang wanita ingin i’tikaf apakah harus seizin suaminya, dan bagaimana jika suaminya memaksanya keluar setelah dia masuk i’tikaf?

Ibnu Qudamah berkata dalam “Al-Mughny” (3/151): “Tidak boleh bagi seorang istri untuk i’tikaf tanpa izin suaminya. Dan jika suaminya ingin mengeluarkannya dari i’tikaf setelah mengizinkannya, maka tidak boleh bagi suaminya mengeluarkannya, karena izinnya telah menggugurkan haknya dari mengambil manfaat darinya. Dan ini seperti ucapan Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah dalam masalah budak yang i’tikaf maka demikian kami katakan pada masalah istri. (Dengan sedikit peringkasan). (Dan sebagian ulama mengatakan jika suaminya membutuhkannya maka boleh baginya untuk mengeluarkannya dari i’tikafnya selama bukan i’tikaf wajib. Akan tetapi hukumnya makruh bagi suaminya mengeluarkannya. -Risalah Hiwar Fi Al-I’tikaf-).



Jika seorang wanita beri’tikaf kemudian datang haidhnya?

Disebutkan dalam kitab “Risalah Hiwar Fi Al-I’tikaf” hal. 33: “Jika seorang wanita i’tikaf kemudian datang haidhnya maka wajib atasnya keluar sampai suci, setelah datang sucinya maka boleh baginya untuk kembali, jika telah usai masa i’tikaf sebelum selesai haidhnya maka dia harus mengqadha’ i’tikafnya jika i’tikaf itu wajib seperti i’tikaf nadzar.”

Disebutkan dalam kitab “Fiqh Al-I’tikaf” hal. 73: bahwa jika datang haidh maka jumhur berpendapat bahwa i’tikafnya tidak batal akan tetapi tetap tidak boleh bagi mereka tinggal di masjid.



Kapan i’tikaf itu batal?

Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafzhahullah berkata dalam kitab “Al-Muntaqa” pada Kitab Shalah: “Jika orang yang beri’tikaf itu jima’ (hubungan badan) dengan istrinya maka batallah i’tikafnya. Demikian pula jika keluar dari tempat i’tikafnya (masjid) bukan karena kebutuhan manusiawi (makan, buang hajat) seperti keluar ke pasar atau tempat tertentu yang bukan kebutuhannya, maka hal ini berpengaruh pada i’tikafnya dan membatalkan i’tikafnya. Tidaklah ia keluar kecuali karena kebutuhan manusiawi yang darurat, dan hal ini sesuai dengan kadar kebutuhan.”

Di tempat lain beliau mengatakan: “Sesungguhnya orang yang i’tikaf diperbolehkan keluar karena suatu kebutuhan (yang mesti) seperti mencari makanan jika tidak ada yang mengantarkan makanan untuknya. (Keluar sebentar ke tempat yang dekat mencari, atau mengambil atau membeli makanan lalu kembali). Adapun ia keluar untuk makan di rumah maka hal ini tidak boleh, yang boleh adalah ia keluar mengambil makanan dan membawanya serta mamakannya di tempat i’tikafnya.”

Dinukilkan Oleh:

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar