Facebook

Sabtu, 20 Agustus 2011

Hukum Homoseks (Gay dan Lesbian)

Hukum HOMOSEKS (Gay (Liwath) & Lesbian (Sihaq))

Disusun oleh:

Abul Abbas Khidir bin Nursalim Al-Limbory Al-Mulky

-semoga Allah menjaga dan mengokohkannya-


DARUL HADITS

DAMMAJ-SHA’DAH-YAMAN

1432 H
MUQADDIMAH

بسم الله الرحمن الرحيم

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا. قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا. مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا. وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah kitab paling bagus penjelasannya, paling lengkap keterangannya dan paling sempurna isinya, di dalamnya Allah Ta’ala kisahkan tentang umat-umat terdahulu yang Alloh binasakan karena kedurhakaan mereka kepada Allah Ta’ala, tidak luput pula Alloh jabarkan di dalam Al-Qur’an tentang kisah suatu kaum yang Allah binasakan. Alloh menjungkir balikan mereka di atas bumi kemudian Alloh hujani mereka dengan hujan batu, Allah Ta’ala benar-benar membinasakan mereka. Apakah sebabnya sehingga mereka mendapatkan azab seperti itu?

Semua orang pasti telah tahu tentang “homoseks”. Nama ini telah populer dan bahkan para pencintanya menganggap sesuatu yang biasa dan berupaya semaksimal mungkin untuk dilegalkan. Penyakit homoseks ini tidak hanya menimpa generasi-generasi di zaman Nabiullah Luth ‘Alaihis Salam tapi bahkan ia menimpa orang-orang yang ber“gaya” shalih di zaman sekarang ini, naudzubillah! Ia tidak hanya menimpa para “waria” tapi bahkan penyakit ini telah menulari para pemuda yang ber“mode” pencinta agama atau yang berlagak da’i yang sudah dipanggil ustadz. Tidak heran kita dapati sebagian berita dan bahkan “realita” yang berbicara tentangnya dan juga telah menampilkan kesan tentang ngerinya penyakit ini yang telah menelan korban bukan hanya satu dua orang tapi justru telah banyak, terlebih di negara Barat sudah tidak terhingga jumlah korbannya.

Dari tulisan ini kita bisa jadikan sebagai suatu barometer, yang kita bisa mengambil pelajaran darinya, mengingatkan kepada kita tentang kisah Khudzaifah –Radhiyallahu ‘anhu- yang bertanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpa dirinya, di dalam “Ash-Shahih” (no. 3606) dan “Shahih Muslim” (no. 4890) dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau –semoga Allah meridhainya- berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ».

“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh) kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu dakhan? Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata: Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya, ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu? Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah (kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”.

Lihatlah Khuzaifah ibnul Yaman tidak hanya bertanya tentang kejelakan itu, namun beliau bertanya pula tentang bagaimana cara mengantisipasi dan membendung supaya kejelakan tersebut tidak mengenainya, lihat pertanyaannya “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan seperti itu?” Tidak kita terbetik dalam hati kita untuk berprinsip seperti shahabat yang mulia Khuzaifah ibnul Yaman? Apakah kita sudah merasa aman terhadap segala kejelekan yang selalu mengintai kita disetiap saat dan setiap tempat?

Dan berkata seorang penyair:

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه

Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya

Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan bisa terselesaikan dengan baik melainkan karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla semata, kemudian atas dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada keluargaku yang telah memberikan dukungan baik materi maupun dorongan dan motivasi ketika melaksakan kewajiban menuntut ilmu, terkhusus kakakku Abu Khadijah Harmin dan seluruh keluarganya yang telah mengeluarkan tenaga dan lain-lainnya untuk supaya kami tetap menimba ilmu. Juga tak lupa pula ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Abu Muhammad Al-Amin Nurdin dan seluruh keluarganya –semoga Alloh menjaga dan memberkahi mereka semua- yang telah bersedia membantu kami dan membantu saudara-saudara kami yang seaqidah dan semanhaj. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalas kebaikan mereka semua dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda.

Semoga dengan risalah yang ringkas dan sederhana ini, Allah jadikan sebagai salah satu dari sebab penggugah hati kita untuk selalu waspada dan supaya kita selalu berlindung kepada Allah dari segala macam fitnah dan kejelekan, dan semoga amalan ini ikhlas hanya mengharap ganjaran dari-Nya.

وصلى الله على محمد واله وصحبه وسلم والحمد لله رب العالمين


Darul Hadits Dammaj-Sha’dah-Yaman pada 20 Shafar 1432 Hijriyyah.

Abul Abbas Khidir bin Nursalim Al-Limbory Al-Mulky
HOMOSEKS





بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ





Abstrak:

Homoseks adalah kecenderungan untuk tertarik antara sesama jenis.


Homoseks terdiri dari dua macam:

Yang pertama adalah Liwath (Gay) dan yang kedua adalah Sihaaq (Lesbian)







BAB I

LIWATH (GAY)







1.1. PENGERTIAN LIWATH (GAY)

Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Al-A’raf ayat 81:

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.

“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.

Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth –‘Alaihis salam-, karena kaum Nabi Luth –‘Alaihis salam- adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini, Allah –Ta’ala- menamakan perbuatan ini dengan fahisy (keji/jijik), sebagaimana perkataan Allah –Ta’ala- dalam surat Al-A’raf ayat 80:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. Liwath merupakan dosa yang paling besar dan lebih keji dari pada zina.





1.2 KISAH KAUM LUTH DALAM AL-QUR’AN



Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Huud ayat 77 sampai 83:

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83).



“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim”

Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth –‘Alaihis salam- agar menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab, Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Huud ayat 37 sampai 39:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (37) وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ (38) فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ (39).

“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal. Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.”

Pada saat Nabi Luth –‘Alaihis salam- menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap beliau –‘Alaihis salam-, Allah kisahkan Al-A’raf ayat 80 sampai 84:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84).

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.

Allah –Ta’ala- juga sebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya sehingga layak untuk mendapatkan azab surat Asy-Syuraa’ ayat 160 sampai 173:

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173).

“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu”.





PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI KISAH

Diantara faedah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tersebut adalah:

Berkata Abul Abbas dalam tulisannnya yang berjudul “Hizbiyyah Berlagak Jahiliyyah”: Berkata Al-Imam Al-Bukhariy –Rahimahullah- dalam “Shahih”nya (7320): “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Ash-Shan’aniy –dari Yaman-, dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id Al-Khudriy, dari Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, beliau berkata:

«لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ «فَمَنْ».

“Sungguh kalian akan mengikuti metode (prilaku) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk di lubang dhobb (hewan semisal biawak) kalian pun ikut masuk”. Kami (para shahabat) berkata: Wahai Rasulullah apakah (yang engkau maksudkan adalah) Yahudi dan Nashara? Beliau berkata: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)!”.

Demikian keadaan umat ini, maka tidak heran kalau kemudian ada dari hizbiyyin mengikuti metode dan tingkah laku orang-orang jahil dari umat-umat terdahulu, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-A’raf ayat 80-82:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82)

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelum kalian?” Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain hanya mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“.

Apa yang dikatakan oleh kaum nabi Luth tidak ada jauhnya dengan apa yang dikatakan oleh para hizbiyyin, ketika ada penasehat dari ahlussunnah memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, mereka pun bertingkah seperti kaum nabi Luth, apa karena ada dari ustadz dan kawan mereka yang luthi (gay) jadi mereka terbawa dan terkontaminasi serta terungkap kata-kata seperti apa yang dikatakan oleh kaum homoseks seperti perkataan kaum Luth?! Ataukah mungkin karena mereka merasa mayoritas dalam suatu perkampungan jadi sok mau berlagak simisal Fir’aun, maunya usir-usiran? Sekedar contoh manusia rendahan yang jahil semisal Abu Salwa Zaid Al-Buthoniy –Qatalahullah- saudara kandung “waria” bercadar Abu Abayah La Tapa alias Abu Salman Mushthafa Al-Buthony yang keduanya diustadzkan oleh orang-orang jahil dari hizbiyyin datang dari pulau Buton ke pulau Seram-Maluku langsung sok berlagak kaisar di dusun Hanunu dengan seenaknya melakukan pengusiran terhadap ahlussunnah.





1.3. HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN LIWATH

Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah- dalam “Ad-Dau wad Dawa’” (hal. 241): Mafsadatnya liwath termasuk dari yang paling besarnya mafsadat dan hukumannya di dunia dan di akhirat termasuk yang paling besarnya hukuman.

Dan sungguh manusia telah berbeda pendapat: Apakah dia lebih besar hukumannya dari zina? Ataukah zina lebih besar hukumannya daripadanya? Ataukah hukuman keduanya sama? Hal ini terdiri dari tiga pendapat.

Pertama: Telah berpendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar, Az-Zuhry, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Malik, Ishaq bin Rahawaih, Al-Imam Ahmad –yang paling shahihnya dari dua riwayat darinya- dan Asy-Syafi’y –pada salah satu pendapatnya-: Bahwasanya hukumannya paling berat daripada hukuman zina, dan hukumannya adalah bunuh pada setiap keadaannya baik dia itu yang sudah nikah atau belum nikah.

Kedua: Telah berpendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashriy, Sa’id bin Musayyib, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Al-Auza’i, Asy-Syafi’y –sebagaimana yang tampak pada mazhabnya, Al-Imam Ahmad pada riwayat yang kedua darinya, Abu Yusuf dan Muhammad bahwasanya hukumannya dan hukuman zina sama.

Ketiga: Telah berpendapat Al-Hakam dan Abu Hanifah bahwasanya hukumannya selain zina (lebih ringan dari hukuman zina) yaitu ta’zir.

Al-Imam Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371): Dan sunguh ahlu ilmi telah berbeda pendapat tentang hukuman bagi yang melakukan liwath, setelah mereka bersepakat tentang keharamannya.

Pendapat Pertama: DIBUNUH

Berkata Al-Imam Al-Wadi’y –Rahimahullah- dalam “Ijabatus Sail” (hal. 362).: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek (maf’ul bih) bila keduanya telah baligh”.

Pendapat yang pertama ini juga yang dipilih oleh Syaikh kami An-Nashihul Amin Yahya bin Ali Al-Hajuriy –Hafizhahullah-.

Berkata Al-Imam Asy-Syaukani –Rahimahullah- dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371-372): Adapun keberadaannya orang yang mengerjakan perbuatan liwath dengan dzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya

Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” (Juz 4/ hal. 50) penulisnya menyebutkan bahwa hukuman dengan bunuh ini ada tiga model (cara membunuh) bagi yang melakukan liwath dan model ini datang riwayatnya dari sebagian shahabat, yaitu:
Dinaikkan di atas bangunan yang paling tinggi pada suatu negeri kemudian dilemparkan ke bawah sambil dihujani dengan batu, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas dan Abu Bakar –Radhiyallahu ‘anhuma-.
Dilemparkan dari atas tembok, dan ini adalah pendapatnya Umar, Utsman dan Ali –radhiyahhu ‘anhum-
Berkata Al-Munziry: Hukuman yang melakukan liwath adalah dibakar dengan api, ini adalah pendapat Abu Bakr, Ali, Abdullah bin Jubair dan Hisyam bin Abdul Malik (sebagaimana di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 372).

Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” (Juz 4/ hal. 50) penulisnya memilih pendapat dibunuh, karena mencakup umumnya perintah dengan dibunuh, dan apalagi telah dipraktekkan oleh para shohahabat. Begitu pula Syaik kami An-Nashihul Amin –Hafizhahullah- berpendapat bahwa hukumannya adalah dibunuh, beliau mengatakan bahwa ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa’”.

Pendapat Kedua: DIRAJAM

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuat liwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).

Dihikayatkan pula oleh Al-Baghawi dari Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishaq: Bahwasanya orang yang berbuat liwath dirajam, baik orang itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” hal. 371).

Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” Bab 28] dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwath maka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).

Pendapat Ketiga: DIHUKUM SEPERTI ZINA

Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwath muhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 371)].

Pendapat Keempat: DI TA’ZIR

Berkata Abu Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 372)].

Ta‘zir adalah hukuman yang disyari’atkan atas orang yang berbuat dosa (maksiat), tidak berupa had dan tidak pula berupa qishoh. Yaitu dengan memberikan pelajaran berupa pukulan yang keras [atau dengan kurungan], yang diinginkan dengannya supaya lurus (sadar dan bertaubat).” (lihat Shohih Fiqhus Sunnah: 4/180, Taisirul Allam dan Syarhul Mumti’: 8/94-95).

Di dalam “Ahkam As-Syar’iyyah”/(Darul Ifaq Al-Jadidah) bahwa Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina, karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi) sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang melakukan liwath tidak ada had, karena hadits Ibnu Abbas adalah hadits dho’if (lemah), di dalam sanadnya ada ‘Amr ibn Abi ‘Amr. Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah- berkata [no. 4426]: Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad bin Ali An-Nufailiy, dia berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr, dari Ikrimah, dari Ibu Abbas, berkata Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barangsiapa yang mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya.”

Al-Imam Al-Bukhari –Rahimahullah- berkata: ‘Amr ibnu Abi ‘Amr adalah rowi yang shoduq (jujur), namun apabila dia meriwayatkan dari ‘Ikrimah maka haditsnya munkar.

Al-Imam Ahmad berkata: Semua riwayat ‘Amar bin Abi ‘Amr dari ‘Ikrimah adalah goncang.

Al-Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah berkata di dalam “Ahaaditsu Mu’allah” (no. 218, hal. 208): “Hadits tersebut (hadits Ibnu Abbas) jika kamu melihat kepada sanadnya maka kamu akan menghukumi bahwa itu adalah hadits hasan, akan tetapi riwayatnya Amr bin Abi Amr dari Ikrimah adalah goncang.”

Dan ada yang berkata: Anggaplah [kalau] hadits Ibnu Abbas tersebut adalah dho’if sebagaimana keterangan tersebut, tapi bukankah juga telah ada riwayat lain yang saling menguatkan satu sama lainnya? Maka dijawab: Memang benar ada riwayat lain, tapi tetap tidak akan bisa menjadi penguat. Adapun riwayat lain itu adalah sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah-, dia berkata: Sulaiman bin Bilal telah meriwayatkan hadits dari ‘Amr ibnu Abi Amr, dari Ikrimah, semisal hadits di atas. Juga ‘Abbad bin Manshur telah meriwayatkan hadits dari Ikrimah, dari Ibni Abbas [yang dikatakan sebagai penguat hadits di atas]. Dan juga Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibrohim dari Dawud Ibnul Hushoin, dari Ikrimah dari Ibni Abbas [yang dikatakan juga sebagai penguat hadits di atas]. Namun apakah benar dengan adanya jalur periwayatan tersebut hadits Ibnu Abbas akan terangkat menjadi hasan [atau shohih]?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –Rahimahulloh- berkata di dalam “Ahaditsu Mu’allah”, hal. 208: “ ‘Abbad bin Manshur adalah dho’if dan dia adalah mudallis. ” Juga beliau (Syaikh Muqbil) berkata: “Adapun hadits dari Dawud Ibn Al-Hushoin dari Ikrimah adalah munkar.”

Al-Imam Ibnul Madini berkata: Apabila Dawud Ibnul Hushoin meriwayatkan dari Ikrimah maka mungkar. Berkata Abu Zur’ah: Dawud Ibnul Hushoin adalah dhoif (lemah) (Lihat “Taqribut Tahdzib” hal. 180). Maka semakin jelaslah bahwa hadits tersebut dho’if. Wallahohu a’lam.

Adapun hadits: “Bunuhlah fa’il dan maf’ul bih-nya, baik yang sudah menikah atau belum nikah.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalur Abdurrahman bin Abdillah bin ‘Umar dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu-. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani: Sanad hadits ini dho’if. (“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).

Adapun keberadaannya orang yang melakukan liwath adalah hukumannya dirajam, dengan dalil:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ قَالَ ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ ارْجُمُوهُمَا جَمِيعًا.

“Dari Abu Huroirah dari Nabi –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- Beliau berkata tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath): Rajamlah orang yang di atas (fa’il) dan yang di bawah (maf’ul bih), rajamlah kedua-duannya.”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Abdulloh bin Nafi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Ashim bin Umar, dari Suhail dari ayahnya dari Abi Huroirah. Didalam sanad hadits ini terdapat seorang rowi yang bernama: ‘Ashim bin ‘Umar Al-Umari dan dia adalah rowi yang dho’if (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18 dan “Taqrubut Tahdzib”, hal. 295), dan hadits tersebut didho’ifkan pula oleh Syaikh Al-Albani –Rahimahullah- (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18).

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina, ini tidak bisa dijadikan pegangan karena hujjahnya lemah, diantara hujjah mereka adalah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata: Rasulullah –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangi (me-liwath-i) seorang laki-laki maka keduanya telah berbuat zina”. Akan tetapi hadits ini adalah dho’if dan telah didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat “Irwa’ul Gholil”: 2349). Dan penulis kitab “Shohih Fiqhus Sunnah” berkata: “Hadits tersebut dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah (Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah”: 4/48).

Jika ada lagi yang mengatakan: Orang yang melakukan liwath hukumannya adalah sama seperti hukuman orang yang berzina, karena Allah menamai liwath dengan fahisy, begitu pula zina Allah namai fahisy? Maka dijawab: Kesamaan nama bukanlah berarti memiliki kesamaan pula pada bentuknya, dan telah dimaklumi bahwa liwath sangat jauh berbeda dengan zina baik secara makna (pengertian) maupun secara prakteknya. Memang benar Alloh –Ta’ala- menyebutkan liwath dan sebagai fahisy, Alloh –Ta’ala- berkata sebagaimana dalam surat Al-Ankabut ayat 28:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kalian telah melakukan fahisy yang belum pernah seorang pun melakukannya sebelum kalian di alam ini”.

Alloh –Ta’ala- sebutkan zina juga sebagai fahisy sebagaimana dalam surat Al-Isro’ ayat 32:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah fahisy dan sejelek-jelek jalan”.

Penyebutan tersebut bukan berarti sama, baik itu ditinjau dari bahasa, istilah dan bahkan realita (praktek)nya. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga menyebutkan bahwa syirik adalah ke-dzolim-an (Lihat Al-Qur’an surat Luqman ayat 13 dan lihat pula “Al-Minhaju Syarhu Shohih Muslim Kitabul Adab”), dan orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya disebut juga dzolim dan melakukan kemaksiatan juga dinamai sebagai ke-dzholim-an apakah dengan penyebutan tersebut mengharuskan azabnya nanti ketika di akhirat sama? Tentu bagi orang yang aqidahnya masih di atas fitroh pasti dia akan mengatakan tidak ada kesamaan dan bahkan lebih jauh sekali perbedaannya. Maka jelaslah tidak bisa disamakan antara liwath dengan zina. Wabillahit taufiiq.

Adapun bagi yang melakukan liwath hukumannya adalah dibakar dengan api, maka pendapat ini menyelisihi larangan Allah –Ta’ala- dan Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dengan sanad shahih dari hadits Hamzah Al-Aslamiy Rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:

«إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا فَاقْتُلُوهُ وَلاَ تُحْرِقُوهُ فَإِنَّهُ لاَ يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ».

“Jika kalian mendapati si Fulan maka bunuhlah dan jangan kalian membakarnya, Karena sesungguhnya tidaklah boleh mengazab dengan api kecuali Robb api”.





1.4 ANCAMAN SERIUS BAGI YANG MELAKUKAN HOMOSEKS

Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz, Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.

Dengan melihat akan besarnya dosa homoseks, sampai Allah -Ta’ala- menghukum kaum Luth yang melakukan liwath dengan hukuman yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sehingga kota mereka menjadi kenangan bagi kita, Allah -Ta’ala- berkata dalam surat Al-Hijr ayat 74:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.

“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”.

Hukuman yang Allah berikan kepada mereka begitu mengerikan membuat kita seharusnya semakin bertambah takut. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkata ketika menggambarkan kekhawatiran beliau: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth”. [HR. Ahmad (3/382), At-Timidzy (no. 1957), dan Ibnu Majah (no. 2563). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al- Albany dalam Takhrij Al-Misykah (3577)].

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengkhawatirkan ummatnya terjangkiti wabah homoseks ini mengingat akibatnya sangat berat di dunia, dan akhirat kelak.

Diantara perkara yang menunjukkan besarnya dosa homoseks ini adalah perkataan Allah -ta’ala- dan ucapana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang sekaligus Beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaknat orang-orang yang melakukannya. Allah dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah melaknat sesuatu, melainkan karena perkara tersebut terdapat kejelekan. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata: “Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, sebanyak tiga kali, Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah dan Allah melaknat orang yang menyetubuhi binatang”. [HR. Ahmad (no. 2915), Abu Ya’laa (no. 2539), Al-Baihaqiy (no. 16794)].

Dan telah kita ketahui bahwa laknat adalah pengusiran, dan dijauhkannya (seseorang) dari kebaikan dan rahmat” [Lihat “Nashihati Linnisa” dan “Mukhtar Ash-Shihhah” (hal.612)]. Bagi orang yang berakal dan dirahmati Alloh tentunya akan berupaya menjauhi dengan sejauh-jauhnya dari sebab atau wasilah adanya laknat. Nasalullahas Salamah wal ‘afiyah.

Dan di hari kiamat kelak Allah tidak akan melihat orang-orang yang berbuat homoseks, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Allah tidak akan melihat kepada orang yang berbuat homoseks atau orang menyetubuhi istrinya pada duburnya”. [HR. At-Tirmidzy (no. 1165). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam “Takhrij Al-Misykah” (3195)].



1.5 GEJALA-GEJALA LIWATH

Setiap orang hendaknya harus lebih berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang fahisy ini karena akan membinasakannya dan akan menyeretnya kepada kehinaan sepanjang zaman, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim –Rahimahullah- dalam “Al-Jawab Al-Kafi” (hal. 191): Ada seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, Aslam tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan Aslam, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Ketika dia dalam kegembiraan menanti Aslam datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa Aslam tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut. Kemudan dia bersyair:

Wahai Aslam sang penyejuk hati

Wahai Aslam sang penyembuh sakit

Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku

Daripada rahmat Sang Pencipta

Yang Mahamulia.

Dikatakan kepadanya: “Takutlah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah. Na’udzubillahi min dzalik.











BAB II

SIHAAQ (LESBIAN)





2.1 PENGERTIAN SIHAAQ (LESBIAN)



Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut [“Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51). Dan ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma' `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain.”

Al-Imam An-Nawawy dalam “Syarh Shohih Muslim” beliau berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain (yang haram untuk disentuh). Dan di dalam “Shahih Muslim” Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- membuat bab khusus yaitu:

باب تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْعَوْرَاتِ.

“Bab haramnya memandang aurat-aurat (orang lain)”.

2.2 HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN SIHAQ



Al-Imam Malik –Rahimahullah- berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].









BAB III

JENIS-JENIS HOMOSEKS



Para ahli di bidang kesehatan telah melakukan penelitian dan peninjauan tentang jenis-jenis homoseks berdasarkan penyebabnya ada tiga, yaitu:

Yang pertama: Biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat dengan eksistensi hidup bagi yang melakukannya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan sadar mereka.

Kedua: Psikogenetik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pengalaman yang dapat membentuk perilaku homoseks diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau waktu kecil orang itu mencoba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap orientasi seksual tersebut di kemudian hari.

Ketiga: Sosiogenetik yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang melakuan homoseks adalah contoh dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.





BAB IV

EFEK BERBUAT HOMOSEKS

Di dalam “Qawa’idul Fiqhiyah Lisyaikh Abdurrahman As-Si’di –Rahimahullah-” disebutkan bahwa setiap apa yang diperintahkan oleh syari’at itu pasti berakibat kemaslahatan dan apa yang dilarang oleh syari’at itu pasti berakibat kemafsadatan.

Syariat Islam telah mengharamkan homoseks, dikarenakan homoseks itu pasti terdapat mafsadah yang mengerikan yang akan menimbulkan dampak yang buruk dan kerusakan yang besar kepada pribadi dan masyarakat.

Diantara efek-efeknya adalah:
Tidak Memiliki Hasrat untuk Menikahi Selain Jenis

Kaum nabi Luth –‘Alaihis salam- berpaling dari isteri-istri mereka dan bahkan nabi Luth –‘Alaihis salam- menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi namun mereka enggan sebagaimana Allah Ta’ala kisahkan dalam surat Huud ayat 78:

وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ.

“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antara kalian seorang yang berakal?”

Dengan keadan seperti ini maka pasti akan lenyaplah arti sebuah pernikahan yang memiliki tujuan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun mereka menikah, maka istrinya akan menjadi korban, ia tidak akan mendapatkan kepuasan, ketenangan dan cinta kasih.
Efek Terhadap Syaraf

Kebiasaan melakukan homoseks akan memberikan efek yang dahsyat terhadap kejiwaan dan memberikan efek yang sangat terhadap syaraf. Yang akibatnya dia cenderung untuk melakukan penyelewengan. Apabila telah terukir kembali penyakit ini dalam benaknya, dan ia tidak mendapatkan yang ia hasratkan, maka ia akan cemas, gelisah dan tidak berpendirian.
Nafsunya Akan Bergejolak

Ia tidak akan pernah merasa puas dengan pelampiasan hawa nafsunya yang sebelumnya, ia akan selalu ketagihan dan akan selalu berupaya untuk bisa memenuhi hasratnya terhadap orang yang ia hasratkan.
Perubahan Bermuamalahnya dengan Sesama akan Bertambah Drastis

Ia akan tampil beda dihadapan orang lain dengan akhlak yang kelihatannya terpuji namun hakekatnya ia memiliki penyakit yang terselubung yang ia pendam, jika ketika ia memiliki peluang untuk melampiaskannya ia akan bergegas tanpa berpikir panjang, dan ini terjadi pada para homoseks yang terkategori pada jenis pertama (biogenic).
Pengaruh homoseks Terhadap Kesehatan.

Diantara penyakit yang akan diderita oleh orang-orang yang melakukan homoseks adalah:

Dengan melihat betapa besarnya efek atau pengaruh dari berbuat homoseks terhadap jiwa khususnya, maka sebaiknya bagi kita untuk lebih mengetahui tentang efek, bahaya dan pengaruh menurut tinjauan Islam secara umum.

Jauh-jauh hari sebelumnya kita telah diperingatkan dengan untaian kata yang sangat berharga yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi –Rahimahullah- dengan sanad hasan dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-:

إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذي ذكر الله {كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون}

“Seorang mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan senoktah warna hitam. Jika dia bertaubat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” Berkata At-Tirmidzi: Ini adalah hadits hasan shahih.

Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia dengan tujuan untuk mentaati-Nya dan tidak memaksiati-Nya dengan sesuatu apapun, Allah ‘Azza wa Jalla berkata surat Adz-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”.

Pada ayat tersebut Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa maksud dari penciptaan manusia dan jin adalah hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Dalam rangka menunaikan tugas ibadah tersebut, manusia diperintahkan untuk taat dan tunduk kepada semua perintah Allah ‘Azza wa Jalla, baik yang langsung Allah ‘Azza wa Jalla katakan dalam Al-Qur’an, maupun yang disampaikan melalui perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Oleh sebab itulah di dunia ini hanya terdapat dua golongan manusia. Golongan pertama adalah mereka yang selalu taat pada segala perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang ingkar kepada dua hal tersebut. Perbuatan ingkar itulah yang disebut dengan maksiat dan setiap perbuatan maksiat itu adalah dosa.

Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menyatakan: “Bahwa kebanyakan orang-orang tolol mengandalkan rahmat dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan-Nya serta lupa dengan azab-Nya yang pedih dan bahwa Dia tidak akan segan-segan untuk menyiksa orang-orang yang berdosa. Barangsiapa yang mengandalkan ampunan-Nya tetapi tetap berbuat dosa, dia sama dengan orang-orang yang membangkang”.

Nasib Para Pelaku Homoseks di Zaman Dahulu

Al-Qur’an dalam beberapa ayat telah banyak menceritakan kejadian dan bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan homoseks. Cerita tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau dongeng, apalagi cerita bohong untuk sekadar menakut-nakuti manusia, namun ia benar-benar terjadi dan menjadi tragedi bagi umat manusia.

Lihatlah apa yang menyebabkan terjungkir baliknya kampung kaum Luth ‘Alaihis salam kemudian dihujani dengan batu? Sekali lagi, kisah tersebut benar terjadi. Dan penyebab turunnya azab Allah ‘azza wa jalla tersebut tidak lain adalah karena perbuatan maksiat sehingga semua menjadi pelajaran bagi umat manusia hingga hari kiamat.

Diantara pengaruh homoseks adalah:



Homoseks Menghalangi Ilmu

Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun ia bisa lenyap dari hati manakala di dalam hati sudah terdapat noda-noda hitam homoseks. Ketika Al-Imam Malik melihat kecerdasan dan kekuatan hafalan muridnya yakni Al-Imam Syafi’y yang begitu luar biasa, beliau (Al-Imam Malik) berkata, “Aku melihat kalau Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat”.

Maksiat secara umum telah mempengaruhi hati dengan terpadamnya cahayanya, bagaimana jikalau maksiat semisal homoseks yang ikut mewarnai hati tentu akan lebih padam dan bahkan bisa hati akan mati dan gelap bagaikan semut hitam di atas batu yang sangat hitam pada waktu malam yang gelap gulita.

Homoseks Menghalangi Rezki

Ketaqwaan adalah penyebab datangnya rizki. Maka meninggalkannya berarti menimbulkan kefakiran. Allah Ta’ala berkata dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sampai 3:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا, وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan (memberi) jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak dia sangka-sangka’.

Realita telah konkrit bahwa setiap pelaku homoseks pasti ia akan terusir dari kalangan orang-orang yang masih memiliki fitroh kejiwaan, dengan keterusiran tersebut bukankah itu sebab utama sebagai penghambat datangnya rezki dan manjauhnya ilmu dan kebaikan?.



Homoseks Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain

Homoseks menjauhkan pelakunya dari orang lain, terutama dari golongan yang orang-orang yang masih memiliki fitroh yang jernih mereka akan jijik ketika berkumpul dengan pelaku homoseks. Sehingga semakin berat tekanannya, maka semakin jauh pula jaraknya hingga berbagai manfaat dari orang yang baik terhalangi. Kesunyian dan kegersangan ini semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dengan keluarga, anak-anak dan hati nuraninya sendiri.

Seorang Salaf berkata: “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka aku merasakan pengaruhnya pada perilaku kenderaan dan isteriku.”



Homoseks Menyulitkan Urusan

Homoseks akan mengundang kegundahan dan kegelisahan pada pelakunya, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, merosotnya rizki dan kebencian makhluk”.



Homoseks Melemahkan Hati dan Badan

Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat maka kuatlah badannya. Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits An-Nu’man bin Basyir –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:

«أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ».

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika dia bagus maka bagus pula semuanya (yang ada di jasad), jika dia rusak maka rusak pula semuanya. Ketahuilah bahwa dia itu adalah hati”.

Tapi bagi pelaku homoseks meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang dia tunjukkan, hingga kekuatan pada dirinya sering menipu dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana kekuatan fisik kaum Luth yang Allah binasakan dengan diputar balikkan pemukiman mereka kemudian dihujani dengan batu!



Homoseks Menghalangi untuk Berbuat Ketaatan

Orang yang melakukan homoseks akan cenderung untuk memutuskan ketaatan. Seperti selayaknya orang yang sekali makan tetapi mengalami sakit berkepanjangan dan menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik.



Homoseks Memperpendek Umur dan Menghapus Keberkahan

Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu tidak ada yang namanya hidup kecuali jika kehidupan itu dihabiskan dengan ketaatan, ibadah, cinta dan dzikir kepada Allah Ta’ala serta mementingkan keridhaan-Nya. Lihatlah pelaku homoseks umur mereka terbatasi dengan disegerakannya azab atau kalau tidak disegerakan azab Allah Ta’ala mengulur-ulurnya dengan kenikmatan sesaat yang ujung-ujungnya malah melumpuhkan dan membinasakan mereka di dunia dan di akhirat.



Homoseks Menumbuhkan Maksiat Lain

Seorang ulama Salaf berkata bahwa jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorong dia untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi si pelaku.

Tidak heran jika kita dapati para homoseks khususnya waria mereka pun berani bunuh diri karena melihat diri mereka benar-benar di atas kehinaan di dunia ini.



Homoseks Menghilangkan Kebaikan dan Mendatangkan Dosa

Jika seseorang sudah terbiasa berbuat homoseks, maka ia tidak lagi memandang buruk perbuatan itu, sehingga homoseks itu menjadi figur dan pendidikan jasmaninya. Ia pun tidak lagi mempunyai rasa malu melakukannya, bahkan memberitakannya kepada orang lain tentang perbuatannya itu. Dosa yang dilakukannya dianggapnya ringan dan kecil. Padahal dosa itu adalah paling besar di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.



Homoseks Menimbulkan Kehinaan dan Mewariskan Kehinadinaan

Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiatnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga Allah ‘Azza wa Jalla pun menghinakannya, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hajj ayat 18:

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

“…dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.

Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan, karena kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Fathir ayat 10:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah lah kemuliaan itu …”.

Seorang Salaf pernah berdoa: “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu, dan janganlah Engkau hina dinakan aku karena aku bermaksiat kepada Mu.”



Homoseks Merusak Akal

Seandainya seseorang itu masih berakal sehat, maka akal sehatnya itulah yang akan mencegahnya dari berbuat homoseks yang menjijikan itu. Kalaupun ada orang yang pernah melakukan homoseks terlihat cerdas, pandai dalam bertutur kata atau pandai merangkul pengikut maka jangan tertipu sewaktu-waktu akan tampak kehinaan dan kerendahannya baik tampaknya itu dengan sebab karena dia memaksa-maksakan diri dalam membuat hukum, baik dia itu mendakwahkan kepada bid’ah baik bid’ah hizbiyyah atau bid’ah jam’iyyah atau menghalalkan yang haram semisal menghalalkan minta-minta atau menghalalkan wasilah kepada kesesatan atau memaksa-maksakan diri seakan-akan sebagai seorang mujtahid mutlak.

Homoseks Menutup Hati

Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14:

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”.

Al-Imam Hasan –Rahimahullah- mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk maka hatinya pun telah tertutup.



Homoseks Dilaknat Oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perbuatan maksiat secara umum diantaranya melakukan perbuatan homoseksual. (Lihat pembahasan yang telah lewat).



Homoseks Menghalangi Syafaat Rasul dan Malaikat

Kecuali bagi mereka yang benar-benar bertaubat dan kembali ke pada jalan yang lurus, Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Ghafir ayat 7-9:

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ (7) رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (8) وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (9).

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Rabb kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) lagi Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar”.



Homoseks Melenyapkan Malu

Bila seseorang sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka tentu perasaan malunya pasti telah sirna, kalau pun dia masih ada sedikit perasaan malunya kalau kejijikannya itu dituduhkan kepadany dia pun akan mengingkari baik pengingkarannya itu dengan bersumpah palsu. Dan bila seseorang itu sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka dia pun tidak malu-malu lagi berbuat homoseks walaun di keramaian manusia mereka tetap akan melampiaskan nafsu birahinya.



Homoseks Meremehkan Allah

Jika seseorang berbuat homoseks, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika perasaan itu masih ada, tentulah ia akan mencegahnya dari berlaku homoseks. Awalnya dia menganggap remeh dosa kemudian berani meremehkan Allah ‘Azza wa Jalla.



Homoseks Memalingkan Perhatian Allah

Allah ‘Azza wa Jalla akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat homoseks berteman dengan syaithan-syaithannya. Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Hasyr ayat 19:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Homoseks Melenyapkan Nikmat dan Mendatangkan Azab

Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Asy-Syuraa ayat 30:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ.

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.

Amirul Mu’minin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah turun bencana malainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena taubat.”



Homoseks Memalingkan untuk Istiqamah

Orang yang hidup di dunia ini bagaikan seorang pedagang. Pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Allah ‘Azza wa Jalla yang akan membeli barang itu dan dibayarnya dengan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan. Jika seseorang menjualnya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, ketika itulah ia tertipu.


Homoseks akan menggiring pelakunya untuk tidak lagi berbuat ketaatan dan bahkan menggiringnya pada perbuatan kufur.







BAB V

HUKUM-HUKUM SEPUTAR HOMOSEKS





5.1 Orang yang setelah selesai melakukan perbuatan homoseks dan maninya keluar apakah wajib mandi ketika akan sholat?

Keluarnya mani dengan unsur disengaja (dengan syahwat) seperti berbuat homoseks, onani, free seks dan yang semisalnya adalah harom dan wajib baginya untuk mandi sebagaimana mandi junub, dan ini adalah kesepakatan ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah di dalam “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 197): “Aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu (tentang wajibnya mandi bagi orang yang keluar maninya karena syahwat)”, dengan dalil hadits Ali bin Abi Tholib: “Jika engkau mengeluarkan air (mani), maka mandilah”. (Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Irwa’ul Gholil” (Juz 1/Hal. 162).

5.2 Apakah kafir bagi orang yang melakukan homoseks?

Untuk mengatakan kafir tidaknya orang yang melakukan homoseks maka perlu adanya rincian. Apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut karena syahwat semata (dengan tanpa diyakini sebagai suatu yang boleh) atau orang yang memang bodoh (tidah tahu sama sekali hukumnya) maka mereka tidak bisa dikafirkan, namun mereka hanya terjatuh pada perbuatan dari dosa-dosa yang besar. Namun apabila mereka yang melakukan homoseks berkeyakinan bahwa homoseks adalah boleh dan hujjah telah sampai kepada mereka maka tidak diragukan lagi atas kekafirannya. Dan telah ada ijma’ para ulama tentang kafirnya orang-orang yang membolehkan perkara yang telah jelas-jelas keharomannya. (Lihat “Nawaqidul Islam”).



5.3 Apakah orang yang sudah kecanduan liwath (gay) boleh menemui atau ber-ikhtilath dengan wanita yang non mahrom?

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa apabila seseorang telah kecanduan dengan liwath maka ia tidak akan memiliki daya ketertarikan terhadap wanita dan bahkan tidak lagi bersyahwat terhadap wanita dan ini mayoritasnya terjadi pada “waria”. Dan masalah ini ahli ilmu berbeda pendapat tentang boleh tidaknya waria menemui, memandang atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat tidak bolehnya mereka memandang, bertemu atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom mereka, dengan hujjah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak melarang waria untuk masuk menemui istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha: “Ada seorang mukhannats yang biasa masuk menemui istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang (istri-istri Nabi membiarkannya karena disangka) termasuk laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Maka suatu ketikai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah, sementara mukhannats ini berada di sisi sebagian istri beliau dalam keadaan ia sedang menceritakan sifat seorang wanita. “Wanita itu bila menghadap, ia menghadap dengan empat (lekukan pada bagian perutnya) dan bila membelakang, ia membelakang dengan delapan (setiap masing-masing bagian pinggang terdiri empat dan dari belakang tanpak seperti delapan)”, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku telah menyangka orang ini tidak mengetahui perkara wanita sedeteil seperti itu. Jangan (sekali-kali terulang) ia masuk menemui kalian”. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “(Setelah kejadian itu) Istri-istri Nabi berhijab darinya”. (HR. Muslim no. 2181).

Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163), “Fathul Bari” (Juz 9/Hal. 404)]. Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang merdu, mereka memacari tangan dan kaki mereka seperti halnya wanita, dan berlagak seperti lagaknya wanita. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].

Disini kami bukan berarti menyapakan sama persis mukhannats yang disebutkan dalam hadits dengan waria atau penggemar liwath, hanya saja di sini kami mengambil hukum, bagaimana tidak, mukhannats di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa dikatakan masih ringan (kecil) sudah dilarang menemui wanita yang bukan mahrom, lalu bagaimana dengan waria atau penggemar (pecandu) liwath yang begitu mengerikan? Tentu lebih utama lagi untuk di larang. Wallahu a’lam.

Kisah yang serupa dengan kisah di atas juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhori (no. 4324) dan Muslim (14/163) dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, tentang dilarangnya mukhannats menemui wanita yang bukan mahrom.

Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:

Adapun bagi orang yang berpenampilan dan berperilaku seperti lawan jenis seperti waria atau yang semisalnya maka telah Allah dan Rasul-Nya haromkan, berkata Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:

لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834).

Al-Imam Ath-Thabari Rahimahullah mendefenisikan perktaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah juga menjelaskan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun dalam bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita, namun untuk wanita ditambah dengan hijab. Tercelanya laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan pembawaannya dari kecilnya (asal penciptaannya) maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tidak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh (menyerupai) dengan lawan jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridha dengan keadaannya yang demikian.”

Al-Hafidz Rahimahullah juga menegaskan: Hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya. Namun bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan”. [“Fathul Bari” (Juz 10/Hal. 345)].



Para ulama telah membagi mukhannats terdiri dari dua macam.

Pertama: Hal itu memang merupakan tabiatnya bukan ia bersengaja atau memberat-beratkan dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats menemui para wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/ pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui gambaran bentuk-bentuk tubuh wanita dan beliau tidak mengingkari sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.



Kedua: Mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita (dan ini terjadi pada para waria di zaman ini), mengikuti gerak-gerik dan penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka dan berpakaian dengan pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.

Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya ketika yang pertama kalinya, wallahu a’lam”. [“Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164].

Dari keterangan yang telah lewat maka yang benar adalah apa yang dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, yaitu mukhannats jenis pertama tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, namun hendaknya ia terus-menerus berusaha semaksimalnya untuk meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya dan dan memohon pertolongan kepada Alloh agar mengubah tingkahnya.

Adapun mengenai larangan tasyabbuh terhadap wanita juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini hasan dengan syarat Muslim. [Lihat “Al-Jami’ush Shahih” (Juz 3/Hal. 92) dalam “Kitabun-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijaldan” dalam “Kitabul-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal” (Juz 4/Hal. 314)].

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata “Syarhu Riyadhish Shalihin” (Juz 4/Hal. 288): “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dan perempuan di mana masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita dalam penciptaan, watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula berbeda dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dalam qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah dalam apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita atau wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa saja di antara laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita, berarti ia mendapatkan laknat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki”.

Dari hadits yang telah lewat terdapat faedah, diantaranya:





PERBEDAAN MUKHANNATS, MUTARAJJILAH DAN KHUNTSA


Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya. [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163, “Fathul Bariy” (Juz 9/Hal. 404)].

Al-Mutarajjilah yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, dalam bicara, dan semisalnya. Bukan penyerupaan dalam IQ (kecerdasan) dan ilmu. Karena menyerupai laki-laki dalam masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa IQ Aisyah Radhiallahu ‘anha seperti laki-laki. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].

Khuntsa yang dalam “Qamus Arab Al-Munjid” dimaknakan sebagai banci, waria, atau wandu. Istilah waria ini, secara medis sering disebut sebagai hermafrodit.

Adapun khunsa maka dia terdiri dari dua jenis:

Pertama: Khuntsa musykilah. Istilah ini dipahami adalah seseorang yang memiliki kelamin ganda [memiliki penis (dzakar) dan vagina (farji) sekaligus pada bagian luarnya] namun masih diragukan keberadaannya. (Lihat pembahasan ini dalam kitab Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhahullah- yang berjudul “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” pada “Pashlu Miiraatsil Khuntsaa Al-Musykili”).

Untuk menentukan jenis ini, patokannya adalah:

Secara fisik: Dilihat pada bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, ia dihukumi sebagai laki-laki.

Secara Tabiat: Apabila tanda-tanda masa baligh-nya tampak lebih dulu yang tabiat wanita seperti menstruasi, haid, istihadhah, dan yang lainnya, maka dia dihukum sebagai wanita. Namun apabila tanda-tanda masa baligh-nya lebih dulu tampak tabiat laki-laki maka dia dihukumi laki-laki.

Faedah:

Berkata Al-Imam Ibnu Mundzir –Rahimahullah- di dalam “Al-Ijma’” (Hal, 85 no. 327): Telah sepakat ulama bahwasanya khuntsa dia mendapat warisan dilihat dari kencingnya, jika dia itu kencingnya dari (saluran) kencingnya laki-laki maka dia mendapatkan warisan seperti laki-laki, dan bila dia kencingnya dari saluran kencingnya perempuan maka dia mendapatkan warisan seperti wairasan untuk perempuan”.

Berkata Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhullah- di dalam “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” (hal. 314): “Karena sesungguhnya keluarnya kencing termasuk paling umumnya tanda-tanda (untuk mengetahui jenisnya), karena tanda-tanda itu ada pada anak kecil, yang dewasa dan yang tua, dan seluruh tanda-tanda hanya di dapati setelah dewasa, contohnya tumbuhnya jenggot, keluarnya mani, haid dan hamil, oleh karena itu kencing termasuk paling kuatnya sebagai tanda (untuk menentukan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan).

Kedua: Khuntsa ghairu musykilah, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki namun menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya (yaitu mukhannats) atau dia sebagai perempuan yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, cara bicara (yaitu Al-Mutarajjilah).

Bagaimana dengan seorang khuntsa musykilah (berkelamin ganda) apabila kelamin yang satunya (penis) dimasukan ke dalam kelamin yang lainnya (vagina) wajibkah ia mandi?

Yang pertama-tama yang perlu ditinjau adalah apabila dua khitan bertemu (masuknya ujung penis ke dalam vagina) maka wajib mandi, baik mani keluar ataukah tidak keluar tetap wajib mandi, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. [Lihat “Al-Majmu’” (Juz 2/Hal. 149) dan “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 204)].

Adapun seorang khuntsa apabila ia memasukan kelamin yang satunya (penis) ke dalam kelamin yang lain (vagina), maka ia wajib mandi dengan syarat apabila kedua kelaminnya tersebut berfungsi (kedua-duannya bisa mengeluarkan air kencing). Dan ini adalah pendapat Al-Imam Al-Mawardi –Rahimahullah-.


WARIA ADALAH TERMASUK DOSA BESAR

Al-Imam Adz-Dzahabi Rahimahullahu dalam “Al-Kabair” hal. 145) memasukkan perbuatan tasyabbuh yang semisal waria (yang dimaksudkan waria di sini adalah seperti Khuntsa ghairu musykilah) termasuk sebagai salah satu perbuatan dosa besar.

Adapun hukuman bagi orang yang menjadi waria adalah mereka diusir dari rumah-rumah dan daerah tempat ia bermukim atau tidak bergaul dengan mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qari [“‘Aunul Ma’bud”, (Juz 13/Hal. 189)]. telah lewat haditsnya juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang menyerupai laki-laki (mutarajjilah).

Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas memberikan penjelasan: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah)”. (HR. Al-Bukhari no. 5886).

Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:

Dari faedah tersebut merupakan bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau menerima orang yang pernah terjatuh dalam maskiat seperti gay (liwath) walaupun orang tersebut sudah menyatakan taubatnya, siang dan malam berlinang air mata, hidupnya diwarnai dengan penyesalan dan kesedihan namun tetap diusir dan pengusiran yang dilakukan ini tidak hanya terjadi pada orang awam namun justru dilakukan oleh orang yang katanya memiliki ilmu. Dan lebih mengerikan lagi setelah mengusirnya diakhiri dengan dibuka aibnya di tempat berkumpulnya kaum muslimin. Wallahul musta’an.

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya mukhannats ada tiga makna:

Pertama: Sebagaimana telah disebutkan pada hadits yang telah lewat, yaitu mukhannats tersebut disangka termasuk laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia meiliki syahwat namun terselubung.

Kedua: Ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?

Ketiga: Tampak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats ini bahwa dia mencermati tubuh dan aurat wanita dengan apa yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dalam hadits selain riwayat Muslim bahwa mukhannats ini menggambarkan wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya, Wallahu a’lam”. (Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164).

Dosakah bagi fa’il homoseks mengeluarkan mani maf’ul bih-nya dengan tanganya (atau istimna’/mansturbasi)?

Telah dimaklumi bahwa istimna’ adalah upaya seseorang mengeluarkan maninya dari alat kelaminnya dengan menggunakan tangan atau yang semisalnya, dan ini telah jelas keharomannya, dan tentu lebih harom lagi apabila ada orang lain yang mengeluarkan maninya (bukan istrinya), dalam hadits telah jelas larangan melihat aurat orang lain, lantas bagaimana kiranya apabila dipegang dan kemudian dipaksakan supaya air maninya tertumpahkan, tentu lebih utama lagi untuk dilarang (baca; harom). Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.

Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.

Maka lebih jelasnya berikut ini kami kutipkan fatwa-fatwa para ulama kita tentang haromnya istimna’:



Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya Tentang Onani:

Saya seorang pelajar muslim saya terjerat oleh kabiasaan onani (masturbasi). Saya terkalahkan oleh hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak lagi mengulanginya. Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukan onani kembali. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima? Haruskah saya menqadha shalat? Lantas, apa hukum onani? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video”.

Beliau menjawab:

Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7). Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh syahwat.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan pengaruh syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara: berpuasa bagi yang tidak mampu menikah, dan menikah bagi yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan pengaruh syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.

Wajib bagimu untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula kamu harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwatmu, sebagaimana yang sebutkan sebutkan bahwa kamu menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim semestinya menutup pintu-pintu kejelekan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada dirimu, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi kamu wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepadamu.

Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagimu. Perbuatan dosa yang kamu lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah kamu kerjakan. Jika kamu mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu kamu melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –kamu berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang kamu kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang telah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. (“Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan” IV 273-274)].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:

Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani)?”

Beliau menjawab: “Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).

Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.

Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.

Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.

Penelitian yang benarpun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Adabahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada pikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan. (“Asilah Muhimmah Ajaba ‘Alaiha Ibnu Utsaimin” (hal. 9) disadur dari “Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”).

Samahatu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya:

Ada seseorang yang berkata; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya?”

Beliau menjawab:

Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).

Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.

Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas; dan tidak diragukan lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.

Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan disaat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.

Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajibanmu, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya.

Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.

Didalam hadits ini beliau tidak mengatakan: “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”

Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu:

Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.

Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan. Maka hendaklah kalian wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh didalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.

Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya: “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah”. [“Fatawa Syaikh Bin Baz” yang dimuat di “Majalah Al-Buhuts” (edisi 26 hal 129-130), disadur dari “Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”].



Dosakah bagi fa’il homoseks melakukan oral kepada maf’ul bih-nya?

Tentang masalah ini diharomkannya karena keumuman larangan melihat aurat sesama jenis apalagi sampai memasukan penis- maf’ul-nya kedalam mulut, Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.

Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.

Adapun seorang istri yang memasukan penis suaminya ke dalam mulutnya ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Boleh, dan ini adalah pendapat yang disandarkan ke Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah-.

Pendapat Kedua: Harom, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Saudi Arabia mereka mengharamkan perbuatan ini, ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa berikut:

Apa hukum oral seks?

Jawab:

Dan dalam “Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany” karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi (hal. 197) (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany Rahimahullah ditanya sebagai berikut: “Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?” Beliau menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa Nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah diketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim -dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan”.



TANGGAPAN DARI YANG TEGAK DIANTARA DUA KHILAF

Sebagian orang ada yang bertanya-tanya tentang masalah ini, dengan melontarkan beberapa pertanyaan: Kalau diharomkannya karena madzy, dan telah kita ketahui kalau madzi itu najis, maka bagaimana kalau seseorang yang melakukannya menjaga jangan sampai madzy tertumpahkan dalam mulut (tidak sampai ditumpahkan dalam mulut), apakah juga harom? Anggaplah benar kalau madzy itu akan mengakibatkan penyakit apabila masuk pada mulut atau tertelan lalu bagaimana kalau ia masuk ke dalam rahim, bukankah (kalau benar itu membawa penyakit) akan memberikan dua kerugian sekaligus, pada si wanita, juga pada janin yang ada di dalam rahim akan terkena penyakit pula? Juga dimaklumi kalau tindakan menyamakan (tasyyabbuh) sebagai suatu perkara yang harom, namun demikian juga apabila menyerupakannya dengan perilaku binatang, benarkah binatang melakukan ‘oral seks’?, jika sekadar kalau binatang yang jantan menjilat alat kelamin hewan betina ini benar, namun yang betina memasukan alat kelamin jantan ke dalam mulutnya adalah mustahil? Adakah binatang yang melakukannya? Kalau anjing jantan yang mencium alat kelamin betina memang benar ada, namun apakah yang anjing betina ada yang menghisap (memasukan) kelamin jantan ke mulutnya? Disisi lain binatang seperti kera yang jantan juga sanggup melihat alat kelamin betina dan memegangnya. Maka dari itu adakah melihat alat kelamin (farji) wanita harom? Dan bagaimana kalau memegangnya apakah juga harom? Bukankah ini keserupaan dengan kera?

Dari pertanyaan tersebut menjadikan kami untuk tidak bisa mengatakan bahwa oral sex itu harom atau mubah, karena ada dalil yang membuat kami untuk tegak diantara dua khilaf, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: “Dahulu Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, sementara istrinya memakai kain (menutupi qubul dan duburnya-pent).” Juga hadits dari Aisyah: “Dahulu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannku (memakai kain untuk menutupi qubul dan dubur-pent), kemudian aku memakainya, lalu beliau bercumbu denganku sedangkan aku dalam keadaan haid” dan juga dipertegas dengan perkataan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

«اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ».

“Kerjakanlah oleh kalian segala sesuatu kecuali jima’”. (HR. Muslim dari Anas bin Malik). Ditambah lagi keterangan dari Al-Imam An-Nawawi –Rahimahullah-: Adapun bermesraan pada anggota tubuh selain antara pusar dan lutut, adalah halal hukumnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin”. (“Al-Majmu’” Juz 1/Hal. 366)].

Dari hadits-hadits dan penjelasan tersebut pengecualiannya hanya antara pusar dan lutut masuk di dalamnya qubul dan dubur, ditambah lagi tentang larangan pada dubur ada hadits khusus yang menunjukkan keharoman jima’ pada dubur (anal sex). Adapun tentang masalah oral sex maka “tidak adanya dalil” yang jelas tentang larangannya, juga tidak ada hukum lain yang menyertainya, padahal dalam masalah fiqih dalam Islmi telah ada kaidah syar’iyah “Bahwa suatu hukum ada, karena bersama (yang lain) dan tidak ada, karena berdiri sendiri (tidak bersama yang lain).”

Yang membuat kami untuk tetap tegak diantara dua khilaf, karena jika kami memililih pendapat bahwa oral sex adalah boleh, maka kami tidak tahu apakah ada ulama dari ahlussunnah yang menyatakan demikian? Walaupun telah ada dari sebagian ikhwah menyampaikan kepada kami bahwa Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah- berpendapat boleh, namun mengingat kami masih simpangsiur apakah benar Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahomahullah- berpendapat demikian? Dan dari mana sumber fatwanya jika pendapat itu benar pendapatnya?.



Apakah orang yang melakukan oral sex wajib mandi ketika akan sholat?

Al-Imam Asy-Syafi’i –Rahimahullah- dalam kitab “Al-Umm” berkata: Kalau seandainya alat kelamin laki-laki dimasukan ke dalam mulut (oral sex), atau di telinga, ketiak, atau kedua pantat seorang wanita (bukan pada dubur- pent) dan tidak keluar mani maka tidak wajib mandi.

Dari keterangan tersebut Al-Imam Asy-Syafi’i memberikan isyarat tentang masalah oral sex, hanya saja tidak beliau terangkan tentang hokum oral sex.

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG AMRAD (LAKI-LAKI; REMAJA/PEMUDA) YANG TIDAK BERJENGGOT?

Faishol bin ‘Abduh Qo’id Al-Hasyidi berkata dalam “Fitnatun Nadzor”: (Laki-laki) yang memandang laki-laki lain yang tidak berjenggot dengan pandangan karena syahwat adalah pintu yang kejelekan (yang dikhawatirkan akan menjurus kepada perbuatan liwath-pen), para ulama telah meberikan peringatan tentangnya dari zaman ke zaman. Al-Imam An-Nawawi –Rahimahullah- berkata: Sesungguhnya memandang pemuda tampan yang mencukur jenggotnya atau yang tidak tumbuh jenggotnya sama sekali dan memotong kumisnya adalah pandangan yang harom. Baik dengan syahwat atau dengan tanpa syahwat, atau merasa aman dari fitnah atau tidak merasa aman dari fitnah tetap harom, dan ini berdasarkan mazhab yang benar yang dipilih oleh ulama. Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama yang lainya –yang tidak terhitung jumlahnya- telah mengharamkannya. Dengan dalil perktaan Alloh –Ta’la-:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ [النور : 30]

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk menundukan pandangan-pandangann mereka” (An-Nuur: 30). Dan karena amrad (anak mudah yang tidak berjenggot) itu seperti wanita. Bahkan sebagian mereka atau kebanyakannya lebih cakap (tampan) dari pada wanita, mereka juga memungkinkan sebab-sebab fitnah yang tidak ada pada wanita, sehingga pengharaman mereka itu lebih utama. Oleh sebab itu perktaan ulama salaf tentang menjauh dari mereka terlalu banyak untuk di bilang, bahkan para ulama menamakan mereka busuk (al-antar) karena keadaan mereka yang dianggap kotor dalam syari’at.

Adapun memndang kepada mereka ketika jual beli, atau pengobatan, pengajaran dan lain-lain dari yang memang diperlukan maka boleh karena darurat. Akan tetapi tetap membatasi pandangan sesuai dengan keperluannya, dan tidak boleh memandang terus-menerus selain darurat. Bahkan pula seorang murid hanyalah dibolehkan memandang ketika diperlukan saja. Dan diharomkan kepada siapa saja dan pada keadaan bagaimana saja memandang dengan syahwat kepada setiap orang, baik laki-lakiataupun perempuan, apakah perempuan tersebut mahrom ataukah bukan mahrom. Hingga sahabat-sahabat kami mengatakan Diharomkan memnandang kepada mahromnya dengan syahwat seperti kepada anaknya atau ibunya. Wallahu a’lam. [“At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Qur’an” (hal. 73-74)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Diharomkan memandang dengan syahwat kepada wanita dan amrad dan barang siapa menganggapnya boleh memandangnya dengan syahwat maka dia kafir berdasarkan ijma’ [“Al-Ikhtiyaraat” (hal. 200)]. Sebagian ulama mengatakan: Takutlah memandang anak-anak raja karena fitnah mereka seperti fitnah gadis-gadis [Walaa Taqrabul Fawaahisy” (hal. 115)]. Dan berkata Al-Hasan bin Dzakwan: Janganlah kalian duduk-duduk dengan anak-anak hartawan karena paras-paras mereka bagaikan gadis sehingga mereka lebih besar fitnahnya daripada gadis [“Walaa Taqrabul Fawaahisy” (hal. 115)]. Sebagian tabi’in mengatakan: Tidaklah saya labih takutkan atas seorang pemuda yang giat beribadah dari binatang buas yang menunggunya daripada seorang amrad yang duudk bersamanya. Dan dikatakan pula: Jangan sekali-kali seseorang bermalam dengan amrad di satu tempat, dan diharomkan hal itu karena di samakan dengan wanita. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Tidaklah seseorang berduaan dengan wanita melainkan syaithan yang pihak ketiga.” Sedangan amrad banyak yang lebih cakap daripada wanita, sehingga fitnahnya lebih dahsyat. Dan ucapan para salaf tentang menjauhi dan memperingatkan dari mereka terlalu banyak untuk dibatasai [“Mawaridul Zham’an” (Juz 5/Hal. 127)].











BAB VI

TAUBAT PARA HOMOSEKS



Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang pernah melakukan dosa, baik itu dosa kecil ataupun dosa besar, dan bahkan setiap orang yang melakukan dosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Al-Imam An-Nawawy Rahimahullah dalam “Riyadhus Sholihin Bab Taubat” berkata: “Taubat itu wajib bagi setiap [orang yang berbuat] dosa”.

Hal ini berdasarkan perintahnya Allah kepada kaum mukminah agar mereka menjaga kehormatan mereka, kemudian Allah –Ta’ala- memerintahkan untuk benar-benar bertaubat, Allah –Ta’ala- berkata dalam surat An-Nuur ayat 31:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا».

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya orang-orang yang berbuat dosa pada siang hari bertaubat, juga Allah membentangkan tangannya pada siang hari, supaya bertaubat orang-orang yang berbuat dosa pada waktu malam hari. Allah akan terus membentangkan tangan-Nya sampai matahari terbit dari barat”.

Juga Allah –Ta’ala- tegaskan dalam Al-Qur’an pada surat Huud ayat 3:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِير.

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”.

Mengingat kita belum mendapatkan tentang sirah (perjalan hidup) orang-orang yang terdahulu yang pernah melakukan homoseks kemudian ada keterangan bahwa mereka bertaubat, maka dari sini bagi yang melakukan homoseks agar seharusnya benar-benar dan bersungguh-sungguh dengan kesungguhan yang paling puncaknya kesungguhan untuk bertaubat kepada Allah dan memohon kepada Allah –Ta’ala- kekuatan iman dan tekad. Sebagai penghibur dan kabar gembira Allah –Ta’ala- berkata dalam surat At-Tahrim ayat 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

6.1 INGIN TAUBAT DARI HOMOSEKS?

Penanya : Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Aku adalah seorang pemuda berusia 21 tahun. Semenjak usiaku 8 tahun, aku telah diuji dengan perbuatan liwath (gay). Hal itu terjadi karena ayahku disibukkan (dengan urusannya sehingga lalai) dari memberikan pendidikan yang baik kepadaku. Dan aku sekarang menjalani kehidupan yang penuh derita karena perbuatan liwath tersebut. Sekarangpun aku menyesali perbuatan itu, hingga rasa penyesalanku sampai pada tingkatan aku memikirkan untuk melakukan bunuh diri. Wal ‘iyaadzubillah. Dan yang menambah derita dan azab yang aku rasakan, keluargaku menghendaki aku untuk segera menikah.

Maka dari itu, aku mengharap dari engkau yang mulia, agar memberikan bimbingan kepadaku supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Dan agar engkau memberikan obat menurut syar’i yang menyembuhkan aku dari masalahku ini sehingga aku bisa melepaskan diri dari kehidupan yang penuh azab, yang selama ini aku jalani karena melakukan perbuatan liwath (gay).

Samahatusy Syaikh Ibnu Bazz –Rahimahullah- menjawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh.

’Amma ba’du: Aku memohon kepada Allah, agar Allah memberikan penjagaan kepadamu dari hal-hal yang telah engkau sebutkan.

Tidak diragukan lagi, bahwa apa yang telah engkau sebutkan, berupa perbuatan liwath (gay) yang engkau lakukan, itu merupakan dosa yang besar. Akan tetapi, solusi untukmu bisa lepas dari perbuatan liwath tersebut adalah hal yang mudah. Al-Hamdulillah.

Solusi itu adalah bersegeralah kamu untuk melakukan taubat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Taubat yang sebenar-benarnya yaitu dengan menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah dilakukan pada waktu yang lampau dan besegera meninggalkan perbuatan dosa/maksiat tersebut. Taubat yang sebanar-benarnya juga harus dengan tekad yang benar untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan berteman dengan orang-orang yang shalih, menjauh dari perkara-perkara yang bisa menjadi perantara untuk melakukan dosa itu kembali, dan bersegeralah engkau untuk menikah.

Dan aku berikan kabar gembira dengan kebaikan, keberuntungan dan kesudahan yang terpuji jika kamu benar dalam taubat yang kamu lakukan. Hal ini sebagaimana perkataan Allah -Ta’ala-:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian mendapatkan keberuntungan”.

Dan perkataan Allah ‘azza wa jalla dalam surat At Tahrim:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang sebenar- benarnya”.

Dan perkataan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam: “Taubat yang benar itu menggugurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya”.

Dan perkataan beliau Shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa “.

Dan semoga Allah memberikan taufiq kepadamu, meperbaiki hati dan amalanmu, serta semoga Allah mengaruniakan kepadamu taubat yang sebenar-benarnya taubat dan teman-teman yang shalih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. (“Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz”).

6.2 PENANGGULANGAN HOMOSEKS

Diantara upaya penanggulangan homoseks adalah:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain.”

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُغَيَّرَهُ بِيَدِهِ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَان.

“Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya; bila ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan kalau juga tidak mampu maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”.







BAB VII

SEBAB UTAMA ADANYA HOMOSEKS DAN FREE SEX

Tidak diragukan lagi bahwa sebab utama seseorang terjatuh dalam kemaksiatan seperti homoseks dan free sex adalah karena beberapa faktor, diantaranya:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.

“Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyeruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku”.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –Rahimahullah- berkata dalam “Taisîr Al-Karîmirrahmān” (hal. 400): “Kebanyakan hawa nafsu itu menyuruh pengekornya kepada kejahatan, yaitu kekejian dan seluruh perbuatan dosa”.

Dan hukuman yang di segerakan bagi pengekor hawa nafsu adalah sebagaimana perkatan Allah “Azza wa jalla- dalam surat Al-Mukminun ayat 55 sampai 56:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ (56).

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan pada mereka (menunjukkan bahwa) Kami bersegera memeberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”.

Allah –‘Azza wa jalla- juga berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 18:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا.

“Barangsiapa menhendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami kehendaki baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Ali Imran ayat 196 sampai 197:

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ (196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197).

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam,dan Jahannam itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ.

“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 16:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا.

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-A’raf ayat 176:

وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan mereka memperturutkan hawa nafsunya, maka perumpamaanya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya mengulurkan lidahnya. Dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga)”.

Ibnu Muqfi’ berkata sebagaimana dalam “Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an” (Juz 16/Hal. 166): Sesungguhnya hawa nafsu itu hina, Jika kamu ikut, maka kamu menjadi hina.

Orang yang senang dengan melakukan maksiat (homoseks, free sex, dan semisalnya) maka itu merupakan buah dari hawa nafsu yang akan melahirkan kehinaan dan kehinaan tidak akan lenyap kecuali dengan cara kembali kepada agama dan berpegang teguh dengannya, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Jika kalian berjual beli dengan system ‘ienah, kalian tersibukkan dengan ternak dan ladang kalian dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian”. [HR. Abu dawud (no. 3462) dan di shahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Ash-Shahihah” (no. 11)].

Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah- berkata dalam “Ad-Da’ wad-Dawa’” (hal. 94): “Kemaksiatan akan mewariskan kehinaan, karena kemuliaan itu hanya dapat diraih dengan ketaatan kepada Allah”.

Orang yang menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan yang hina seperti homoseks maka dia telah lalai dan telah lupa terhadap peringatan Rabbnya dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu kedalam kebinasaan”.

Sebagaimana telah lewat keterangan tentang akibat dari berbuat homoseks khususnya dan maksiat pada umumnya yang telah menjerumuskan kepada kebinasaan dan mengakibatkan banyak korban. Diantara pula ratap tangis para pengekor hawa nafsu adalah perkataan Allah –‘Azza wa jalla- dalam surat As-Sajdah ayat 12:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ.

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya dihadapan Rabbnya. (Mereka berkata): “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikan kami (kedunia). Kami akan mengerjakan amal shalih. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Az-Zukhruf ayat 77:

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ.

“Mereka menyeru: “Hai Malik, biarlah Rabbmu membunuh kami saja, “Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”.

Allah –‘Azza wa Jalla- berkata dalam surat Ghafir ayat 47:

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ.

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka. Orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu mengidandarkan kami sebagian api neraka?”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” (Juz 4/hal. 84): “Orang yang lemah yaitu para pengikut akan berkata kepada orang yang sombong yaitu pembesar dan tokohnya: “Kami di dunia mentaati seruanmu berupa kekufuran dan kesesatan, maka dapatkah kamu mengambil siksaan Allah ini sekalipun hanya sedikit.”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim” Juz 3/Hal. 540: “Allah akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan disiksa sesuai dengan kezhalimannya.”

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Mulk ayat 6 sampai10:

وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (6) إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ (7) تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (8) قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ (9) وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10).

“Dan orang-orang yang kufur kepada Rabbnya, (mereka memperoleh) azab jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang mereka menggelagak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalam sekumpulan (orang-orang yang kufur), penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar ada, Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun” Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penhuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Ahzab ayat 66 sampai 67:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67).

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan ke dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus)”.




BAB VI

RENTETAN SEJARAH HOMOSEKS



Berikut ini kami paparkan rentetan sejarah homoseks menurut sejarahwan dari kalangan Barat yang notabene-nya dari kaum kafir, bahwa homoseks memiliki rentetan sejarah, yaitu:

A. Masa Prasejarah (8000-5000 SM)

Gua Val Camonica di Itali, memiliki gambar-gambar tentang hubungan gay di masa prasejarah. Menurut para ahli hal ini terjadi karena pada masa itu, jabatan keluarga belum sejelas saat ini, bahkan balum ada bahasa untuk kata ‘ayah’. Seorang wanita bukan sebuah obyek sex seperti saat ini, mereka sangat menghormati wanita, karena dianggapnya ‘Creators of life‘.

B. Sumerian (4000-2000 SM)

Bangsa Sumeria tercatat dalam sejarah memiliki jabatan Imam yang harus gay, karena si imam tidak boleh berhubungan dengan wanita. Mereka menyebut imamnya Assinu, dalam terjemahannya berarti pria yang memiliki rahim.

C. Sodom Gomora “Kaum Nabi Luth” (3000 SM)

Kisah kota gay yang paling terkenal karena ada dalam kitab suci Al-Qur’an.Kota terbesar di dunia pada masa itu, dengan kebudayaan teknologi yang paling maju dalam irigasi dan pertanian, tiba-tiba hilang dari peradaban karena bencana alam.Kota ini dalam catatan sejarah suka sekali membeli budak, terutama budak anak laki-laki. Dalam budaya mereka, pendudukkota ini suka sekali menangkap seorang musafir, atau orang asing bagi mereka (biasanya pria muda), dengan tuduhan mata-mata kemudian dihukum dengan dipermainkan dan diperkosa beramai-ramai di depan umum (De Abrahamo, 1996)

D. Mesir (1500 SM)

Ratu Hatsepsut menggusur Fira’un yang berkuasa dengan marah tanpa diketahui sebabnya, kemudian sang Ratu memerintah sendiri negeri itu, dan menjuluki dirinya ‘Son of the Son‘. Padahal sang Ratu memang memiliki kuasa lebih tinggi dari Firaun yang hanya bertugas memerintah dan mengatur rakyat. Kenapa Ratu begitu marah dan menjuluki dirinya ‘anak lelaki dari anak lelaki’? Menurut cerita, Ratu Hatsepsut cemburu pada Firaun yang gay dan tidak menyukai wanita, sehingga ia marah dan melakukan hal tersebut. Tahun 1380 SM, masih di Mesir muncul seorang raja yang tidak jelas kelaminnya, bernama Akhnaton (mungkin banci pada masa kini). Pada masa pemerintahannya, ia mengharuskan rakyat Mesir hanya menyembah dewa yang memiliki dua kelamin yaituAlton.

E. Yunani (700-600 SM)

Masa kejayaan gay dan homoseksual terjadi di peradaban ini. Awalnya Yunani terkenal dengan para pahlawannya yang sangat perkasa, cerita-cerita legendaris tentang peperangan dan dewa perang muncul di jaman ini. Prajurit Yunani-lah yang pertama kali menggunakan tombak dan perisai dalam peperangan. Sejarah mengatakanPersia terus mengalami kekalahan melawan Yunani walaupun tentaraPersia berjumlah 10 kali lipat dari tentara Yunani. Di kerajaan para dewa ini intelektual dan kekuatan dipuja-puja. Seni dan filsafat lahir dari mereka, yang menjadi ibu segala pengetahuan yang kita pelajari di sekolah. Peradaban gay Yunani menciptakan tempat-tempat pria untuk “merawat dan mempercantik diri”, seperti Salon, Barber, Sauna, dan Gymnasium. Budaya mencukur kumis dan jenggot serta memotong rambut pendek, ditemukan para gay untuk mempercantik dirinya. Bila melihat hasil-hasil karya seni mereka dalam patung dan lukisan, kita akan melihat bagaimana mereka lebih memuja lekuk tubuh pria daripada tubuh wanita.

F. Roma (520 M)

Romawi adalah pewaris dari kebudayaan Yunani yang juga mencatat kebudayaan gay. Kaisar Nero yang diktator, memiliki seorang kekasih pria. Namun di akhir kejayaan kekaisaran romawi setelah masa Konstantin yang mengubah Romawi menjadi kerajaan Kristen,homoseksual dan gay dilarang. Mengakibatkan Uskup dariRhodes, dan Uskup dari Diaspolis dihukum mati karena tuntutan tersebut. Sejak saat itu (520) budaya Kekristenan telah mengakhiri kebudayaan gay, sebuah hubungan sex harus dalam koridor perkawinan yang direstui gereja.



TANGGAPAN:

Berbicara tentang masalah prasejarah merupakan suatu masalah yang sudah dikenal dikalangan orang-orang yang terpelajar khususnya, yang masa prasejarah tersebut juga dikenal dengan masa-masa dimana manusia belum mengenal tulisan. Dimana juga dikatakan (sebagaimana dalam rentetan sejarah homoseks di atas) di zaman itu: “Jabatan keluarga belum sejelas saat ini, bahkan belum ada bahasa untuk kata ‘ayah’”.

Apakah benar demikian? Terus bagaimana dengan bapak manusia (Adam ‘Alaihis salam) yang Alloh ciptakan, kemudian di susul dengan isterinya Hawa, dan dia mengetahui bahwa Hawa adalah wanita dan kemudian diperistri oleh Adam? Juga kemudian diajarkan tentang apa yang ada di muka bumi kepada Abul Basyar Adam dan istrinya?

Apakah benar bahwa sebelum kaum Luth sudah ada yang melakukan homoseks sebagaimana yang termaktub dalam rentetan sejarah tersebut? Bagi orang yang pernah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an pasti akan mengingkari kalau di zaman sebelum Nabi Luth (atau zaman prasejarah) sudah ada yang melakukan homoseks, karena dengan tegas Alloh kisahkan tentang nabi-Nya Luth –‘Alaihis salam dalamsurat Al-Ankabut ayat 28:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kalian telah melakukan fahisy yang belum pernah seorang pun melakukannya sebelum kalian di alam ini.”

Ini menunjukkan batilnya teori-teori yang menjelaskan masa-masa prasejarah, ditambah lagi bukti kebatilannya, Alloh tidak menindir masalah prasejarah dalam Al-Qur’an juga dalam hadits juga tidak ada kisah yang menjelaskannya melalui rentetan jalur (sanad), apalagi tentang manusia purba. sekadar contoh tentang batilnya mcerita masa-masa prasejarah adalah teori evolusi yang di kemukakan oleh anak cucunya kera Charles Darwin –La’anahullah-, dalam “The Origin of Species” Darwin menjelaskan: “Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama…Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan fosil”.

Teori Darwin sama sekali tidak didasarkan pada penemuan ilmiah yang nyata sebagaimana yang diakuinya, jadi ini hanya sekadar “dugaan dan khayalan”. Di samping itu, sebagaimana yang diakui Darwindalam satu bab panjang berjudul “Difficulties of the Theory (Kesulitan-Kesulitan Teori Ini)” dalam buku “The Origin of Species” di mana ia mengatakan: “…Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di manapun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya?… Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah yang tidak terhitung?… Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya.”

Ini menunjukkan bukti terkuat bahwa: Allah tidak menciptakan makhluk hidup melalui proses evolusi! Allah Ta’ala berkata dalam Al-A’laa ayat 1 sampai 3:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى (3).

“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.

Semoga dengan tulisan yang ringkas ini sebagai sebab adanya keinginan untuk kita beramal sholih, merealisasikan perintah dan meninggalkan larangan walaupun pahit rasanya, betapa indahnya perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim –Rahimahullah- dalam “Al-Fawa’id” (hal. 152): Ciri khas orang yang sehat akalnya adalah orang yang bersabar dengan penderitaan sesaat, dengan itu akan membuahkan kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Membolak-balikan hati, semoga Allah –ta’ala- memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa yang paling keji ini, dan semoga Allah –ta’ala- memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur berbuat agar bersegera untuk kembali kepada syari’at Allah –‘Azza wa jalla. Wallahu ta’ala a’lam.


وصلى لله على محمد واله وصحبه وسلم والحمد لله رب العالمين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar