Facebook

Sabtu, 09 Juli 2011

Menjauhi Pelaku Ghibah

Penulis: Fadlilatu As Syaikh Al Allamah Al Faqih Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Bazz Soal : Aku mempunyai seorang teman. Kalau dia berbicara, seringkali perkataannya membicarakan tentang aib-aib orang lain sehingga menjatuhkan kehormatan mereka. Aku sudah menasehatinya agar tidak lagi membicarakan aib-aib orang lain, akan tetapi nasehat yang aku berikan tidak bermanfa’at baginya. Dan yang nampak darinya, bahwa perkara membicarakan aib-aib/kejelekan orang lain itu sudah menjadi kebiasaan/karakter yang melekat pada dirinya. Walaupun terkadang dia membicarakan aib-aib orang lain itu untuk tujuan/niat yang dianggapnya baik. Dengan keadaannya yang seperti ini, maka apakah diperbolehkan untuk menjauhkan diri darinya ? Jawaban Syaikh bin Bazz : Perkataan yang ditujukan untuk membicarakan aib-aib kaum muslimin dengan menyebutkan apa-apa yang tidak mereka sukai (sehingga hal itu bisa menjatuhkan kehormatan mereka di hadapan orang lain), maka hal ini adalah perbuatan kemunkaran yang sangat besar. Perkara ini termasuk perbuatan ghibah yang diharamkan, bahkan termasuk dari dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala (artinya) : “janganlah sebagian kalian menggunjing/mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati ? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Al Hujurat : 12) Dan berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu’anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau telah bersabda (yang artinya) :” Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu“. Beliau bersabda:”(Ghibah adalah) kamu menceritakan tentang saudaramu dengan apa – apa yang tidak dia sukai“. Dikatakan kepada beliau :”Wahai Rasulullah, bagaimana jika yang aku katakan tentang saudaraku itu memang ada padanya ?” Beliau menjawab : “Jika apa yang kamu katakan itu memang ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah mengghibahinya. Dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah berdusta atasnya“. Dan telah shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau di mi’rajkan oleh Allah, beliau melewati suatu kaum yang mempunyai kuku dari tembaga. Dengan kuku dari tembaga itu mereka melukai wajah-wajah dan dada-dada mereka. Maka nabi bertanya : “Wahai Jibril, siapakah mereka ?”Maka Jibril menjawab :”Mereka adalah orang-orang yang telah memakan daging-daging manusia dan telah menginjak-injak/menjatuhkan kehormatan mereka “. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari jalan shahabat Anas radliallahu’anhu). Dan telah dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu’anhu secara marfu : “Sesungguhnya termasuk dari dosa-dosa besar yaitu seorang yang menjatuhkan kehormatan seorang muslim (dengan membicarakan aibnya) tanpa alasan yang haq “. Dan wajib bagi engkau, demikian pula wajib bagi kaum muslimin yang lain untuk menjauhi/meninggalkan majelisnya orang-orang yang mengghibahi kaum muslimin. Bersamaan dengan itu, engkau nasehati orang yang berbuat ghibah itu dan engkau ingkari perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya ) : “Barang siapa diantara kalian yang melihat suatu perbuatan munkar, maka hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu (mengubah kemungkaran dengan mengingkari dalam hati ) adalah selemah-lemahnya iman “. ( Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya) Maka jika engkau telah memberinya nasehat agar dia meninggalkan perbuatan ghibahnya, akan tetapi dia masih dalam perbuatan itu, maka tinggalkanlah majelis-majelisnya. Karena yang demikian itu termasuk kesempurnaan dalam mengingkari perbuatan munkar (perbuatan ghibah yang dilakukannya). Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan taufiq kepada mereka untuk menjalankan apa-apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan bagi mereka di dunia dan di akhirat. (Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz ’, Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid) Sumber : Buletin Dakwah Al-Atsary, Semarang Edisi 13/1427H. URL sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=298 This entry was posted on Wednesday, March 2

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah? Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6) Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
 يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
 “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566) Dalam hadits shahih disebutkan:
 إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
 “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

 2. Dijaganya hak perempuan yatim.
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
 “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3).

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, Wahai anak saudariku. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya.

Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

 Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
 وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
 “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444) Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
 أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

 3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah. 
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
 “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
 وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
 “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

 Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.” Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat:
فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317).

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

 4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan. 
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
 “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

 5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan. 
 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
 “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

 Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
 “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

 Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579).
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
 يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
 “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Makaka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
 Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
 وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
 “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
 “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

 Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
(“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.

” Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.
” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173) Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
 “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8.Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21) 9.

Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
 “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

 Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16) Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
 “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16).  Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote: 1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha. 2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)

Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah? Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6) Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita. 1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1) Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566) Dalam hadits shahih disebutkan: إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299) 2. Dijaganya hak perempuan yatim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا “Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3) Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127) Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain: وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ “Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127) Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444) Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127) Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ. “Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447) 3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3) Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan: وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.” Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317) Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam. 4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4) 5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7) Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579) Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63) Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat: يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11) Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160) 6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173) 7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19) Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.” Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173) Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58) 8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21) 9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23) Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16) Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23) Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16) Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Footnote: 1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha. 2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. (Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Niswah, hal. 80-85. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=617)

Bertaqwalah kepada Allah سبحانه وتعالى Semampumu

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah Soal: Saya seorang wanita muda yang sedang bingung. Saya hidup dengan keluarga saya yang berpemahaman aneh dan menyimpang. Saya pernah memakai hijâb, namun saya mendapat penentangan yang keras dan ejekan dari keluarga saya, hingga pada batas dimana mereka memukuli dan melarang saya untuk keluar dari rumah. Mereka memaksa saya untuk melepaskan hijab saya, dan hanya memakai pakaian yang longgar dan panjang, namun tetap menampakkan wajah saya. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya meninggalkan rumah meskipun banyak orang fajir (berada dimana-mana -pent.)? Jawab: Pertanyaan ini mengandung dua permasalahan utama. Pertama, keluarga yang melakukan tindakan buruk seperti itu kepada wanita muda ini boleh jadi karena dua alasan: jahil akan kebenaran atau arogan untuk mengikuti kebenaran. Hal ini merupakan perbuatan yang sangat tercela dan tidak mau patuh. Mereka tidak berhak berbuat demikian (kepada wanita muda ini -pent.). Memakai hijab bukanlah suatu aib bukan pula suatu perbuatan yang buruk. Manusia memiliki kebebasan dalam batas-batas syari’ah. Jika mereka tidak mengetahui bahwa memakai hijab adalah wâjib atas wanita, maka mereka harus diberitahu. Mereka harus diberitahu bahwa memakai hijab adalah wajib menurut Al-Qur’an and As-Sunnah. Akan tetapi, jika mereka mengetahui namun arogan untuk menerima kebenaran, maka perbuatan maksiat mereka jauh lebih besar lagi, sebagaimana kata seorang penyair, “Jika kamu tidak tahu, maka itu adalah musibah yang besar. Tetapi, jika kamu tahu, maka itu adalah musibah yang jauh lebih besar.” Kedua, mengenai wanita muda ini. Kami katakan kepadanya bahwa wajib atasnya untuk ta’at dan takut kepada Allah semampunya. Jika ia mampu untuk memakai hijab tanpa ada peringatan (yaitu perlakuan buruk -pent.) dari keluarganya, maka ia harus memakainya. Adapun, jika mereka memukuli dan memaksanya untuk melepaskan hijabnya, maka tidak ada dosa atasnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang kâfir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl 16:106) Dalam ayat yang lain, “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Al-Ahzaab 33:5) Bertaqwalah kepada Allah dengan segala upaya menurut kesanggupanmu. Jika keluargamu tidak memahami hikmah di balik kewajiban berhijab, maka katakanlah kepada mereka: Wajib atas setiap mu’min untuk tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dia memahami atau pun tidak memahami hikmah di balik perintah tersebut, karena ketundukan itu sendiri merupakan suatu hikmah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzaab 33:36) Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang keadaan wanita yang sedang haidh, mengapa ia harus mengqadha puasa, bukan shalatnya, beliau menjawab, “Kami mengalami haidh di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami diperintahkan untuk mengqadha puasa kami, kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat kami.” Karena itu, beliau menganggap perintah sebagai hikmah itu sendiri. Bahkan, hikmah di balik kewajiban berhijab sangatlah jelas karena seorang wanita yang memperlihatkan kecantikannya adalah sumber fitnah. Manakala terjadi fitnah, dosa dan maksiat pun terjadi. Bila dosa dan kemaksiatan menyebar, maka artinya akan datang kerusakan dan kebinasaan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Fataawa al-Mar’ah (Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/womensissues/hijaab/0000206_25.htm untuk http://akhwat.web.id) This entry was posted on Monday, April 21st, 2008 at 9

Bolehkan Wanita Mengucapkan Salam kepada Kaum Lelaki?

Oleh: Ummu ‘Abdillâh Al-Wâdi’iyyah hafizhahallâh Al-Imam Muslim rahimahullâh berkata (1/498): Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku membacakan kepada Malik dari Abu Nadhr, bahwa Abu Murrah maula Ummu Hâni’ binti Abu Thalib mengabarkan kepadanya bahwa dia telah mendengar Ummu Hani’ binti Abi Thalib berkata: ذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الفتح؛ فوجدته يغتسل، وفاطمة ابنته تستره بثوبٍ قالت: فسلَّمت. فقال: ((مَنْ هَذِهِ؟)) فقلت: أمُّ هَانئٍ بنت أبي طَالب… الحديث. “Saya menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun penaklukan kota Makkah. Saya mendapati beliau sedang mandi dan Fathimah putri beliau menutupi beliau. Saya pun mengucapkan salâm kepada beliau. Beliau bertanya: ‘Siapa ini?’ Saya menjawab: ‘Ummu Hani’ binti Abi Thalib… dst.” Mengucapkan salam kepada laki-laki adalah boleh, apabila aman dari fitnah. (Sumber: نصيحتي للنساء (Nasehatku untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, bab Menyebarkan Salam, sub bab Apakah wanita mengucapkan salam kepada kaum lelaki?, hal. 267, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo)

Apakah Sah Shalat Wanita dengan Memakai Niqab dan Kaos Tangan?

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah wanita boleh melakukan shalat dalam keadaan memakai kaos tangan tanpa ada laki-laki yang bukan mahramnya hadir di sisinya? Maka beliau menjawab: Kaos tangan adalah pakaian tangan dan wanita haram memakainya ketika ihram, karena Nabi -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: لا تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلا تَلْبَسُ الْقَفَازِيْنَ “Wanita yang ihram tidak memakai niqab (tutup muka) dan tidak memakai kaos tangan.” Maka wanita diharamkan memakai kaos tangan ini ketika dalam ihram. Tetapi ketika ia tidak ihram atau shalat dan di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya maka yang lebih utama dia melepaskannya dari tangannya supaya dia dapat menyentuhkan langsung kedua tangannya di tempat shalat. Sepantasnya pula ketika di sekitarnya adalah laki-laki agar dia menutup wajahnya dari mereka, lalu ketika dia sujud hendaknya membuka wajahnya karena seseorang sujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya seperti pakaian dan kerudung wanita dimakruhkan kecuali karena ada hajat. Dalilnya adalah perkataan Anas bin Malik -radhiyallâhu ‘anhu-: كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمْكِنَ جَبْهَتُهُ مِنَ الأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ “Kami shalat bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sangat panas. Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah, maka ia membentangkan pakaiannya lalu sujud di atasnya.” Perkataan: “Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah”, menunjukkan bahwa hal ini tidak dilakukan kecuali darurat. (Dinukil dari فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم المرأة المسلمة في شؤون دينها ودنياها (Wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan Fatwa tentang Wanita I), hal. 157-158, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1 Muharram 1427H/Februari 2006M, untuk http://akhwat.web.id) This entry was posted on Friday, May 23rd, 2

Tutuplah Aib Saudaramu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah Saudariku muslimah… Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”. Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.” Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain. Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1 Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua: Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ “Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19) Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3. Saudariku muslimah… Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ … “Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699) Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4. Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi: يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ “Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581) Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata: مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ “Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7 Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Catatan kaki: 1 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/291). 2 Baik seseorang yang disebarkan kejelekannya itu benar-benar terjatuh dalam perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yang tidak benar. 3 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/293), Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied (hal. 120), Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah, (hal. 312). 4 Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (hal. 390-391). 5 Yakni lisannya menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dalam hatinya. 6 Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia. (Tuhfatul Ahwadzi) 7 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032 8 Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tentang ditutupnya aib si hamba di hari kiamat, ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aibnya dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang yang ada di mauqif (padang mahsyar). Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghisab aibnya dan tidak menyebut aibnya tersebut.” Namun kata Al-Qadhi, sisi yang pertama lebih nampak karena adanya hadits lain.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/360) Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ … “Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=458

Hukum Berjabat Tangan dengan Selain Mahram

Penulis: Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain : 1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menegaskan : إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”. Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”. 2. Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu : لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ “Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HSR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226) Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123). Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”. Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”. 3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda : إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ “Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HSR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain. Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.) Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”. 4. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata : وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ “Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan“. Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”. Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”. Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi. Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=AnNisa&article=89&page_order=4 This entry was posted on Monday, July 6th, 2009 at 6:01 am and is filed under Akhlak & Adab, Muslimah. You can follow any responses to this entry

Sebelum Anda Melangkah

Terkadang ketika seseorang sudah ingin menikah banyak hal yang tidak ia perhatikan sebelum memutuskan untuk maju dalam sebuah proses mengkhitbah atau melamar. Apalagi jika seseorang belum terlalu mengenal calon yang ada di hadapannya. Yang saya maksud di sini adalah seorang harus benar-benar berusaha untuk mencari tahu informasi yang cukup tentang calonnya. Sehingga ketika ia memutuskan untuk maju atau mundur di atas kejelasan dari informasi yang benar. Dalam perkara ini manusia terbagi tiga kelompok : 1. Kelompok yang berlebih-lebihan, sehingga menerjang yang haram dengan dalih ingin mengenal lebih jauh tentang calonnya. Sehingga terjatuhlah dia kepada perkara yang haram, seperti pacaran, jalan bareng, berduaan dan perkara yang haram lainnya. Yang itu semua bukanlah jalan menuju untuk seseorang mengenal calonnya. 2. Kelompok yang meremehkan, hal ini kebanyakan didasari karena ketidaktahuan dalam masalah ini sehingga banyak yang dikemudian hari yang menyesal. Baik karena masalah fisiknya atau agamanya. 3. Kelompok yang ketiga yang berada di tengah-tengah, yang mereka terbimbing dengan ilmu, tidak berlebihan dan juga tidak meremehkan. Mereka berusaha mencari tahu tentang agama, sifat, tabiat dan akhlaq calonnya dengan cara-cara yang dibolehkan secara syar’i. Dan tidak “melewatkan” untuk melihat (nadhor) calonnya sebelum melamar. Di antaranya perkara-perkara yang perlu diperhatikan sebelum anda melangkah adalah seperti apa yang akan saya sebutkan di bawah ini. Pertama : Pastikan anda benar-benar tahu tentang agama dan fisik akhwat yang ingin anda lamar supaya anda tidak menyesal di kemudian hari. Agama adalah perkara yang sangat penting ketika seseorang ingin memilih pasangan hidupnya. Maka seseorang harus benar-benar mencari tahu tentang agamanya, apakah agamanya benar-benar baik, sejauh mana dia melaksanakan perkara-perkara yang Allah wajibkan seperti shalat lima waktu, puasa dan kewajiban yang lainnya. Atau sejauh mana dia semangat dalam menutut ilmu, ke mana ia belajar menuntut ilmu, sudah berapa lama ia mengenal dakwah yang haq ini (salafi -ed), dan seterusnya dari hal-hal yang dapat kita gunakan untuk menyimpulkan baik dan tidaknya agama dan manhaj seseorang. Begitu juga tentang wajah atau fisiknya, sudahkah anda mengutus orang yang anda percaya untuk melihatnya atau sudahkah anda melihatnya (nadhor). Dan hal-hal yang lain yang anda harus perhatikan. Terutama kebenaran informasi yang anda dapatkan dan sumber informasi yang memberikan informasi kepada anda. Tanyakan kepada sumber infomasi atau wasilah anda, maaf umm (sesama akhwat) atau maaf akh (sesama ikhwan) antm mengenalnya sudah berapa lama, kenalnya atau ketemunya hanya sebatas di tempat ta’lim atau lebih dari itu, tanyakan lagi apakah anda pernah tinggal satu pondok atau satu rumah atau kos-kosan dengannya dan pertanyaan – pertanyaan yang lainnya. Yang mana dari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, anda akan mengetahui sejauh mana pemberi informasi atau comblang mengenalnya. Ketika si pemberi informasi mengatakan orangnya baik agamanya dan anda tahu dia mengenal calon anda hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim dan moment-moment tertentu maka anda bisa menilai kualitas kebenaran penilainnya tentang calon anda, dan begitu seterusnya. Tentu berbeda ketika ada dua sumber informasi misalnya, keduanya sama-sama baru dua tahun mengenalnya, akan tetapi yang satu hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim dan moment-moment tertentu dan yang satunya lagi pernah hidup bersamanya di satu pondok yang dari bangun hingga mau tidur ia bertemu dengannya. Tentu kualitas dan sejauh mana kebenaran penilaian keduanyanya berbeda, walaupun sama-sama mengatakan baik agamanya. Kalau ternyata sumber informasi yang pertama yang hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim mengatakan baik agamanya akan tetapi sumber informasi yang satu yang pernah hidup sepondok dengannya mengatakan tidak baik akhlaqnya. Maka anda bisa membandingkan mana yang lebih mendekati kebenaran dari kedua sumber informasi tersebut. Perhatikalah hal ini wahai saudaraku. Termasuk juga tentang keilmuan dan pemahaman agama sumber informasi anda. Karena pemahaman agama seseorang mempengaruhi cara menilai seseorang. Barakallahu fikum. Ada sebuah kisah yang menarik yang terkait dengan apa yang saya utarakan, semoga menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Ada seorang akhwat yang “menggugat” comblangnya yang bergelar LC dari Madinah (1) karena si akhwat merasa informasi yang didapatkan tentang baiknya agama suaminya ketika proses dulu tidak sesuai dengan kenyataan. Wallahu ta’ala a’lam tentang apa sebenarnya permasalahannya, kemungkinan masalahnya adalah di antara apa yang telah saya utarakan di atas. Inti yang ingin saya utarakan di sini adalah ketika seseorang ingin maju atau mundur dalam sebuah proses benar-benar di atas kejelasan informasi yang cukup tentang agama dan fisiknya. Kedua : Teliti kembali kebenaran informasi yang anda dapatkan. Aku teringat seorang suami yang mengeluh kepada istrinya tentang banyak informasi yang tak sesuai ketika dalam proses mereka berdua. Istrinya menjawab, dulu ketika wasilahnya ditanya, afwan umm ikhwannya tanya apa, wasilahnya menjawab (karena merasa sangat kenal dengannya), “Sudah gampang biar nanti saya yang ngasih tahu informasi tentang anti (kamu).” Kesalahan dari seorang wasilah (comblang) dengan tidak mengecek lagi kebenaran informasi yang ia sampaikan terkadang sangat fatal akibatnya. Tergantung sebesar apa informasi yang ia sampaikan menjadi sebab maju atau mundurnya seseorang dalam sebuah proses. Kalau seseorang tidak mengecek dan meneliti kembali informasi yang ia dapatkan, maka kesalahan wasilahnya akan berimbas buruk kepadanya. Tapi harus diingat dengan cara yang baik atau dari jalan yang lain. Karena setiap wasilah (perantara/comblang) mempunyai aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda. Mereka membantu seseorang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan jangan lupa di antara akhlak yang baik adalah kita mengetahui kebaikan dan membalas kebaikan orang yang berbuat baik kepada kita - ya Allah mudahkanlah kami untuk mebalas kebaikkan orang yang berbuat baik kepada kami – Amin. Ketiga : Jangan lupa untuk meminta pertimbangan kepada orang yang berilmu (musyawarah) tentang hal ini, terkhusus ilmu yang berkaitan dengan apa yang kita bahas di dalam tema ini. Mungkin anda melihat sesuatu tentang calon anda, baik itu yang sifatnya penilaian yang baik atau sebaliknya. Atau mungkin anda menilai sebaiknya tetap meneruskan proses yang sedang anda jalani atau malah sebaliknya. Atau anda merasa sampai di sini saja prosesnya karena mendapatkan ganjalan di tengah jalan dan dari perkara-perkara yang semisalnya. Tetapi justru setelah anda meminta pertimbangan orang yang memiliki ilmu dalam masalah ini anda mendapatkan jawaban, saran atau solusi yang menyelisihi kesimpulan anda untuk maju atau mundur, meneruskan atau cukup sampai di sini saja. Perhatiakanlah hal ini wahai saudaraku. Itulah keutamaan orang yang berilmu bisa melihat apa yang tidak kita lihat disebabkan ilmunya. Sehingga ia bisa memberikan pengarahan yang baik kepada anda. Ketimbang anda tidak meminta pertimbangan kepada orang yang berilmu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Qs. Asy-Syura : 38) Keempat : Berdoa kepada Allah. Berdoa kepada Allah adalah sebuah ibadah yang sangat agung, sebab yang besar seseorang meraih apa yang ia inginkan. Allah Ta’aala berfirman : وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ “ Dan apabila hamba – hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Qs. al-Baqarah : 186) وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “ Dan Rabbmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Qs. al-Mukmin : 60) Maka jangan lupakan berdoa, agar Allah memberi kemudahan kepada urusan kita. Kelima : Jangan lupa shalat istikharah, kita serahkan urusannya sama Allah dengan disertai usaha yang maksimal Kebutuhan kita kepada Allah sangatlah besar di antaranya dengan melaksanakan shalat istikharah. Ketika seorang hamba melakukannya menunjukkan kepercayaannya yang kuat kepada Allah, dan keterkaitan hatinya dengan apa yang ada di sisi-Nya serta ridha dengan segala keputusan-Nya. Dari Jabir Radiyallahu ‘anhu menuturkan : “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah di dalam segala urusan kami, sebagaimana mengajari kami surat di dalam al-Qur’an, yaitu beliau bersabda : ‘Bila salah seorang di antara kalian mempunyai urusan maka shalatlah dua rakaat, lalu berdoalah : ‘Ya Allah, saya meminta dengan ilmu yang ada pada-Mu, pilihan yang terbaik bagiku, saya minta ditetapkannya urusanku ini, sesuai kehendak-Mu, saya memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkaulah yang menetapkan sedang saya tidak bisa menetapkan. Engkau yang tahu sedang saya tidak tahu, Engkaulah yang Maha Tahu, tentang perkara-perkara ghaib. Wahai Allah, bila menurut-Mu urusan ini baik bagi diriku, agamaku, penghidupanku, dan juga baik akibat-akibatnya, (dalam riwayat lain disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka tetapkanlah hal itu untukku. Namun, bila menurut-Mu urusan ini jelek bagi diriku, agamaku, penghidupanku, dan juga jelek akibat-akibatnya, (dalam riwayat lain disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka jauhkanlah hal itu dariku dan jauhkanlah aku dari hal itu. Tetapkanlah selalu kebaikkan untukku apapun keadaannya, lalu jadikanlah aku ridha kepadanya. Setelah membaca doa itu hendaklah ia menyebutkan keperluannya.’” (HR. Bukhari). Itulah di antara perkara yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin melanjutkan proses yang sedang ia jalani. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua. wa’allahu a’lam bis shawwab footnote : (1) Bukan ustadz kita. Istri comblang itu sendiri yang pernah bilang sama seorang akhwat, kemudian akhwatnya cerita sama istri ana.

Sebelum Anda Melangkah

Terkadang ketika seseorang sudah ingin menikah banyak hal yang tidak ia perhatikan sebelum memutuskan untuk maju dalam sebuah proses mengkhitbah atau melamar. Apalagi jika seseorang belum terlalu mengenal calon yang ada di hadapannya. Yang saya maksud di sini adalah seorang harus benar-benar berusaha untuk mencari tahu informasi yang cukup tentang calonnya. Sehingga ketika ia memutuskan untuk maju atau mundur di atas kejelasan dari informasi yang benar. Dalam perkara ini manusia terbagi tiga kelompok : 1. Kelompok yang berlebih-lebihan, sehingga menerjang yang haram dengan dalih ingin mengenal lebih jauh tentang calonnya. Sehingga terjatuhlah dia kepada perkara yang haram, seperti pacaran, jalan bareng, berduaan dan perkara yang haram lainnya. Yang itu semua bukanlah jalan menuju untuk seseorang mengenal calonnya. 2. Kelompok yang meremehkan, hal ini kebanyakan didasari karena ketidaktahuan dalam masalah ini sehingga banyak yang dikemudian hari yang menyesal. Baik karena masalah fisiknya atau agamanya. 3. Kelompok yang ketiga yang berada di tengah-tengah, yang mereka terbimbing dengan ilmu, tidak berlebihan dan juga tidak meremehkan. Mereka berusaha mencari tahu tentang agama, sifat, tabiat dan akhlaq calonnya dengan cara-cara yang dibolehkan secara syar’i. Dan tidak “melewatkan” untuk melihat (nadhor) calonnya sebelum melamar. Di antaranya perkara-perkara yang perlu diperhatikan sebelum anda melangkah adalah seperti apa yang akan saya sebutkan di bawah ini. Pertama : Pastikan anda benar-benar tahu tentang agama dan fisik akhwat yang ingin anda lamar supaya anda tidak menyesal di kemudian hari. Agama adalah perkara yang sangat penting ketika seseorang ingin memilih pasangan hidupnya. Maka seseorang harus benar-benar mencari tahu tentang agamanya, apakah agamanya benar-benar baik, sejauh mana dia melaksanakan perkara-perkara yang Allah wajibkan seperti shalat lima waktu, puasa dan kewajiban yang lainnya. Atau sejauh mana dia semangat dalam menutut ilmu, ke mana ia belajar menuntut ilmu, sudah berapa lama ia mengenal dakwah yang haq ini (salafi -ed), dan seterusnya dari hal-hal yang dapat kita gunakan untuk menyimpulkan baik dan tidaknya agama dan manhaj seseorang. Begitu juga tentang wajah atau fisiknya, sudahkah anda mengutus orang yang anda percaya untuk melihatnya atau sudahkah anda melihatnya (nadhor). Dan hal-hal yang lain yang anda harus perhatikan. Terutama kebenaran informasi yang anda dapatkan dan sumber informasi yang memberikan informasi kepada anda. Tanyakan kepada sumber infomasi atau wasilah anda, maaf umm (sesama akhwat) atau maaf akh (sesama ikhwan) antm mengenalnya sudah berapa lama, kenalnya atau ketemunya hanya sebatas di tempat ta’lim atau lebih dari itu, tanyakan lagi apakah anda pernah tinggal satu pondok atau satu rumah atau kos-kosan dengannya dan pertanyaan – pertanyaan yang lainnya. Yang mana dari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, anda akan mengetahui sejauh mana pemberi informasi atau comblang mengenalnya. Ketika si pemberi informasi mengatakan orangnya baik agamanya dan anda tahu dia mengenal calon anda hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim dan moment-moment tertentu maka anda bisa menilai kualitas kebenaran penilainnya tentang calon anda, dan begitu seterusnya. Tentu berbeda ketika ada dua sumber informasi misalnya, keduanya sama-sama baru dua tahun mengenalnya, akan tetapi yang satu hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim dan moment-moment tertentu dan yang satunya lagi pernah hidup bersamanya di satu pondok yang dari bangun hingga mau tidur ia bertemu dengannya. Tentu kualitas dan sejauh mana kebenaran penilaian keduanyanya berbeda, walaupun sama-sama mengatakan baik agamanya. Kalau ternyata sumber informasi yang pertama yang hanya sebatas ketemu di tempat ta’lim mengatakan baik agamanya akan tetapi sumber informasi yang satu yang pernah hidup sepondok dengannya mengatakan tidak baik akhlaqnya. Maka anda bisa membandingkan mana yang lebih mendekati kebenaran dari kedua sumber informasi tersebut. Perhatikalah hal ini wahai saudaraku. Termasuk juga tentang keilmuan dan pemahaman agama sumber informasi anda. Karena pemahaman agama seseorang mempengaruhi cara menilai seseorang. Barakallahu fikum. Ada sebuah kisah yang menarik yang terkait dengan apa yang saya utarakan, semoga menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Ada seorang akhwat yang “menggugat” comblangnya yang bergelar LC dari Madinah (1) karena si akhwat merasa informasi yang didapatkan tentang baiknya agama suaminya ketika proses dulu tidak sesuai dengan kenyataan. Wallahu ta’ala a’lam tentang apa sebenarnya permasalahannya, kemungkinan masalahnya adalah di antara apa yang telah saya utarakan di atas. Inti yang ingin saya utarakan di sini adalah ketika seseorang ingin maju atau mundur dalam sebuah proses benar-benar di atas kejelasan informasi yang cukup tentang agama dan fisiknya. Kedua : Teliti kembali kebenaran informasi yang anda dapatkan. Aku teringat seorang suami yang mengeluh kepada istrinya tentang banyak informasi yang tak sesuai ketika dalam proses mereka berdua. Istrinya menjawab, dulu ketika wasilahnya ditanya, afwan umm ikhwannya tanya apa, wasilahnya menjawab (karena merasa sangat kenal dengannya), “Sudah gampang biar nanti saya yang ngasih tahu informasi tentang anti (kamu).” Kesalahan dari seorang wasilah (comblang) dengan tidak mengecek lagi kebenaran informasi yang ia sampaikan terkadang sangat fatal akibatnya. Tergantung sebesar apa informasi yang ia sampaikan menjadi sebab maju atau mundurnya seseorang dalam sebuah proses. Kalau seseorang tidak mengecek dan meneliti kembali informasi yang ia dapatkan, maka kesalahan wasilahnya akan berimbas buruk kepadanya. Tapi harus diingat dengan cara yang baik atau dari jalan yang lain. Karena setiap wasilah (perantara/comblang) mempunyai aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda. Mereka membantu seseorang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan jangan lupa di antara akhlak yang baik adalah kita mengetahui kebaikan dan membalas kebaikan orang yang berbuat baik kepada kita - ya Allah mudahkanlah kami untuk mebalas kebaikkan orang yang berbuat baik kepada kami – Amin. Ketiga : Jangan lupa untuk meminta pertimbangan kepada orang yang berilmu (musyawarah) tentang hal ini, terkhusus ilmu yang berkaitan dengan apa yang kita bahas di dalam tema ini. Mungkin anda melihat sesuatu tentang calon anda, baik itu yang sifatnya penilaian yang baik atau sebaliknya. Atau mungkin anda menilai sebaiknya tetap meneruskan proses yang sedang anda jalani atau malah sebaliknya. Atau anda merasa sampai di sini saja prosesnya karena mendapatkan ganjalan di tengah jalan dan dari perkara-perkara yang semisalnya. Tetapi justru setelah anda meminta pertimbangan orang yang memiliki ilmu dalam masalah ini anda mendapatkan jawaban, saran atau solusi yang menyelisihi kesimpulan anda untuk maju atau mundur, meneruskan atau cukup sampai di sini saja. Perhatiakanlah hal ini wahai saudaraku. Itulah keutamaan orang yang berilmu bisa melihat apa yang tidak kita lihat disebabkan ilmunya. Sehingga ia bisa memberikan pengarahan yang baik kepada anda. Ketimbang anda tidak meminta pertimbangan kepada orang yang berilmu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Qs. Asy-Syura : 38) Keempat : Berdoa kepada Allah. Berdoa kepada Allah adalah sebuah ibadah yang sangat agung, sebab yang besar seseorang meraih apa yang ia inginkan. Allah Ta’aala berfirman : وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ “ Dan apabila hamba – hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Qs. al-Baqarah : 186) وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ “ Dan Rabbmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Qs. al-Mukmin : 60) Maka jangan lupakan berdoa, agar Allah memberi kemudahan kepada urusan kita. Kelima : Jangan lupa shalat istikharah, kita serahkan urusannya sama Allah dengan disertai usaha yang maksimal Kebutuhan kita kepada Allah sangatlah besar di antaranya dengan melaksanakan shalat istikharah. Ketika seorang hamba melakukannya menunjukkan kepercayaannya yang kuat kepada Allah, dan keterkaitan hatinya dengan apa yang ada di sisi-Nya serta ridha dengan segala keputusan-Nya. Dari Jabir Radiyallahu ‘anhu menuturkan : “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah di dalam segala urusan kami, sebagaimana mengajari kami surat di dalam al-Qur’an, yaitu beliau bersabda : ‘Bila salah seorang di antara kalian mempunyai urusan maka shalatlah dua rakaat, lalu berdoalah : ‘Ya Allah, saya meminta dengan ilmu yang ada pada-Mu, pilihan yang terbaik bagiku, saya minta ditetapkannya urusanku ini, sesuai kehendak-Mu, saya memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkaulah yang menetapkan sedang saya tidak bisa menetapkan. Engkau yang tahu sedang saya tidak tahu, Engkaulah yang Maha Tahu, tentang perkara-perkara ghaib. Wahai Allah, bila menurut-Mu urusan ini baik bagi diriku, agamaku, penghidupanku, dan juga baik akibat-akibatnya, (dalam riwayat lain disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka tetapkanlah hal itu untukku. Namun, bila menurut-Mu urusan ini jelek bagi diriku, agamaku, penghidupanku, dan juga jelek akibat-akibatnya, (dalam riwayat lain disebutkan : di masa sekarang atau di kemudian hari) maka jauhkanlah hal itu dariku dan jauhkanlah aku dari hal itu. Tetapkanlah selalu kebaikkan untukku apapun keadaannya, lalu jadikanlah aku ridha kepadanya. Setelah membaca doa itu hendaklah ia menyebutkan keperluannya.’” (HR. Bukhari). Itulah di antara perkara yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin melanjutkan proses yang sedang ia jalani. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua. wa’allahu a’lam bis shawwab footnote : (1) Bukan ustadz kita. Istri comblang itu sendiri yang pernah bilang sama seorang akhwat, kemudian akhwatnya cerita sama istri ana.

Menikahi Wanita yang Lebih Tua

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai ketua komisi fatwa di Saudi Arabia ditanya, Apa ada usia yang cocok untuk menikah bagi pria dan wanita karena beberapa gadis tidak mau menikah dengan pria yang lebih tua dari mereka? Demikian juga, beberapa pria tidak mau menikah dengan wanita yang lebih tua dari mereka. Kami menanti jawaban Anda dan semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawab beliau rahimahullah, Saya menyarankan agar para gadis tidak menolak menikah dengan seorang pria karena usianya yang sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun lebih tua darinya. Ini bukan alasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi 'Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ketika beliau berusia lima puluh tiga tahun dan ‘Aisyah seorang gadis sembilan tahun. Jadi menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua tidaklah masalah. Tidak masalah pula bagi wanita atau laki-laki yang lebih tua menikahi yang jauh lebih muda darinya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi Khadijah –radhiyallahu ‘anha- ketika dia berumur empat puluh tahun dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua puluh lima tahun, yaitu sebelum wahyu turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berarti Khadijah usianya lima belas tahun lebih tua daripada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi 'Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ketika ‘Aisyah masih kecil (enam atau tujuh tahun), sedangkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia lima puluh tiga tahun. Banyak dari mereka yang berbicara di radio atau televisi mencegah pria dan wanita yang jauh beda usianya untuk menikah. Statement tersebut jelas keliru dan mengatakan hal-hal seperti itu tidak diperbolehkan bagi mereka. Wajib bagi seorang wanita untuk melihat calon suami, dan jika laki-laki tersebut sholeh dan cocok dengannya, ia seharusnya setuju untuk menikah, meskipun laki-laki tadi jauh lebih tua darinya. Demikian pula sebaliknya, seorang pria harus berusaha menemukan seorang wanita yang baik agamanya, meskipun wanita tadi lebih tua darinya, selama wanita tersebut masih muda dan masih subur. Singkatnya, usia seharusnya tidak menjadi alasan dan tidak harus dianggap sesuatu yang memalukan, asalkan pria itu adalah sholeh dan wanitanya juga sholehah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua. [Fatawa Islamiyah, volume 5, Kitab Nikah, halaman 169-170, translatted from: http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd&ID=42]

Menikahi Wanita yang Lebih Tua

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai ketua komisi fatwa di Saudi Arabia ditanya, Apa ada usia yang cocok untuk menikah bagi pria dan wanita karena beberapa gadis tidak mau menikah dengan pria yang lebih tua dari mereka? Demikian juga, beberapa pria tidak mau menikah dengan wanita yang lebih tua dari mereka. Kami menanti jawaban Anda dan semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawab beliau rahimahullah, Saya menyarankan agar para gadis tidak menolak menikah dengan seorang pria karena usianya yang sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun lebih tua darinya. Ini bukan alasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi 'Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ketika beliau berusia lima puluh tiga tahun dan ‘Aisyah seorang gadis sembilan tahun. Jadi menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua tidaklah masalah. Tidak masalah pula bagi wanita atau laki-laki yang lebih tua menikahi yang jauh lebih muda darinya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi Khadijah –radhiyallahu ‘anha- ketika dia berumur empat puluh tahun dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua puluh lima tahun, yaitu sebelum wahyu turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berarti Khadijah usianya lima belas tahun lebih tua daripada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi 'Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ketika ‘Aisyah masih kecil (enam atau tujuh tahun), sedangkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia lima puluh tiga tahun. Banyak dari mereka yang berbicara di radio atau televisi mencegah pria dan wanita yang jauh beda usianya untuk menikah. Statement tersebut jelas keliru dan mengatakan hal-hal seperti itu tidak diperbolehkan bagi mereka. Wajib bagi seorang wanita untuk melihat calon suami, dan jika laki-laki tersebut sholeh dan cocok dengannya, ia seharusnya setuju untuk menikah, meskipun laki-laki tadi jauh lebih tua darinya. Demikian pula sebaliknya, seorang pria harus berusaha menemukan seorang wanita yang baik agamanya, meskipun wanita tadi lebih tua darinya, selama wanita tersebut masih muda dan masih subur. Singkatnya, usia seharusnya tidak menjadi alasan dan tidak harus dianggap sesuatu yang memalukan, asalkan pria itu adalah sholeh dan wanitanya juga sholehah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua. [Fatawa Islamiyah, volume 5, Kitab Nikah, halaman 169-170, translatted from: http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd&ID=42]

Segera Tunaikan Qodho Puasa

Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya'ban. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan penuh kemuliaan, bulan Al Qur'an, yaitu bulan Ramadhan. Di antara amalan yang disunnahkan di bulan Sya'ban adalah memperbanyak puasa sunnah. Namun yang masih memiliki utang puasa selama beberapa hari lebih utama baginya untuk menunaikan qodho puasa karena sempitnya kesempatan untuk menunaikan utang tersebut. Qodho Ramadhan Wajib Ditunaikan Sebagian orang sering menganggap remeh penunaian qodho puasa ini. Sampai-sampai bertahun-tahun utang puasanya menumpuk karena rasa malas untuk menunaikannya, padahal ia mampu. Berbeda halnya jika ia tidak mampu karena mungkin dalam kondisi hamil atau menyusui bertahun-tahun sehingga ia mesti menunaikan utang puasa pada dua atau tiga tahun berikutnya. Yang terakhir memang ada udzur. Namun yang kita permasalahkan adalah yang dalam keadaan sehat dan mampu tunaikan qodho puasa. Qodho puasa tetap wajib ditunaikan berdasarkan firman Allah Ta'ala, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Juga berdasarkan hadits dari 'Aisyah, كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. “Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat." (HR. Muslim no. 335). Oleh karenanya, bagi yang dahulunya haidh atau alasan lainnya dan belum melunasi utang puasanya sampai saat ini selama bertahun-tahun, maka segeralah tunaikan. Jangan sampai menunda-nunda. Mengakhirkan Qodho Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm. Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah pernah diajukan pertanyaan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?” Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya." (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347, Mawqi’ Al Ifta’) Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: (1) Bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sho’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya (atau hingga bertahun-tahun karena ia terhalang hamil dan menyusui), maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja di saat ia mampu. Qodho Ramadhan Tidak Mesti Berturut-turut Sebagaimana disebutkan dalam Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah (terbitan kementrian agama Kuwait), menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama), tidak disyaratkan berturut-turut ketika menunaikan qodho puasa. Alasannya karena keumuman ayat, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ " ... maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain". Jadi boleh saja mengqodho sebagian puasa di bulan Syawal, sebagiannya lagi di bulan Dzulhijjah, dan sebagiannya sebelum Ramadhan yaitu di bulan Rajab dan Sya'ban. Artinya, ada keluasan dalam hal ini. Segera Tunaikan Qodho' Puasa Jangan sampai menunda-nunda lagi. Yang mampu dilakukan saat ini, segeralah dilakukan apalagi itu kebaikan. Allah Ta'ala berfirman, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61) Wallahu waliyyut taufiq. Shubuh hari di Panggang-Gunung Kidul, 3 Sya'ban 1432 H (05/07/2011) www.rumaysho.com

Selasa, 05 Juli 2011

Mari, Shalat Berjama’ah!

Para pembaca rahimakumulloh, shalat lima waktu merupakan salah satu syi’ar Islam yang sangat agung lagi mulia. Bahkan termasuk salah satu rukun dari rukun Islam yang lima. Begitu tinggi kedudukan shalat dalam Islam sehingga ketika Allah ‘azza wa jalla menurunkan perintah shalat tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Turunnya perintah shalat lima waktu tidak melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salaam, akan tetapi disampaikan secara langsung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Sidratil Muntaha dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Semua ini menunjukkan tingginya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam. Para pembaca rahimakumulloh, bagi kita kaum lelaki diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, bahkan perintah agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43) Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Banyak dari kalangan para ulama yang berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah.” (Tafsir Ibnu Katsir) Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Saya tidak memberi keringanan bagi orang yang mampu untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah untuk meninggalkannya tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnul Mundzir.” (Tafsir Al-Qurthubi) Al-Imam As-Sa’di rahimahulloh juga mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas: “Maksudnya: Shalatlah bersama orang-orang yang shalat, maka di dalam ayat ini terkandung perintah shalat dengan berjama’ah dan wajibnya.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman) Para pembaca rahimakumulloh, terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum shalat berjama’ah, yang penting untuk dipahami adalah bahwa perintah untuk melaksanakan shalat dengan berjama’ah adalah langsung dari Allah ‘azza wa jalla dan juga telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta kaum kaum muslimin yang mengikuti jejak mereka sampai masa kini. Para ulama yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan) mereka tidak pernah meninggalkannya tanpa ‘udzur dan tetap melaksanakannya secara berjama’ah, karena mereka paham bahwa hukum sunnah untuk dilaksanakan bukan untuk ditinggalkan apalagi sunnah mu’akkadah. Bahkan yang berpendapat sunnah mu’akkadah juga menyatakan: “Barangsiapa yang terbiasa meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at), maka wajib baginya untuk dikenai hukuman.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi) Oleh karena itu, mari! kita tingkatkan semangat untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, karena itu merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita bisa meraih keutamaan-keutamannya dan terhindar dari ancaman-ancaman bagi yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur. Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di Masjid Berikut ini beberapa keutamaan bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah lima waktu di masjid, diantaranya: 1. Mendapat naungan dari Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ … “Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun ‘alaihi) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid’ dalam hadits di atas adalah seorang muslim yang sangat cinta terhadap masjid-masjid dan senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya. (Lihat Al-Minhaj) 2. Mendapat jaminan dari Allah ‘azza wa jalla di dunia dan di akhirat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْحَنَّةَ “Seseorang yang pergi ke masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah sampai Allah mewafatkannya dan memasukkannya ke dalam Al-Jannah (surga).” (H.R. Abu Dawud no. 2494) 3. Terhapusnya dosa-dosa dan terangkatnya beberapa derajat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat dengannya berapa derajat? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan susah (sulit), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, karena demikian itulah yang dinamakan Ribath.” (H.R. Muslim no. 251) 4. Mendapat balasan seperti haji Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ المُحْرِمِ “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang berihram.” (H.R. Abu Dawud no. 554) 5. Mendapat cahaya sempurna pada hari kiamat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (H.R. Abu Dawud no. 561) 6. Disediakan baginya Al-Jannah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ غَدَا إِِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي اْلجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ “Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi atau petang, Allah ‘azza wa jalla akan menyediakan tempat baginya di Al-Jannah (Surga, red) setiap ia pergi di waktu pagi maupun petang.” (Muttafaqun ‘alaihi) 7. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً “Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan memperoleh dua puluh lima derajat (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh)”. (Muttafaqun ‘alaihi) Ancaman Terhadap Orang Yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya mengancam orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dijadikan dalil bagi yang berpendapat wajibnya shalat berjama’ah. Diantara ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah: 1. Hatinya tertutup dari rahmat Allah ‘azza wa jalla Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah atau (jika tidak) pasti Allah ‘azza wa jalla benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai.” (H.R. Ibnu Majah no. 794) 2. Enggan shalat berjama’ah menyerupai perbuatan orang-orang munafik Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa diantara sifat-sifat orang munafik adalah enggan melaksanakan shalat berjama’ah, sebagaimana dalam sabdanya: “Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh, red) dan isya’.” (H.R. Al-Bukhari no. 657) 3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjama’ah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintahkan untuk dikumandangkan adzan, lalu aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (H.R. Al-Bukhari no. 644) Begitu kerasnya ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang enggan melaksanakan shalat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim tidak menghadiri shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Para pembaca rahimakumulloh, ketahuilah bahwa yang diperintahkan untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki saja. Sehingga tidak selayaknya bagi seorang muslim laki-laki yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla meremehkan perihal shalat berjama’ah di masjid. Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk mendatangi masjid-masjid (dalam rangka melaksanakan shalat berjama’ah), akan tetapi shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad) Al-Imam Al-’Azhim Abadi rahimahulloh menjelaskan kalimat وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌُ لَهُنَّ “Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” Maksudnya shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik daripada shalat mereka di masjid jika mereka mengetahuinya. Namun karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka meminta untuk pergi ke masjid dan meyakini bahwa pahalanya lebih besar. Mengapa shalat mereka di rumahnya lebih utama? Karena yang demikian lebih aman dari fitnah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud) Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati saudara-saudara kita yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh saudara-saudara kita yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin. Wallahu a’lam bish shawab. Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/mari-shalat-berjama’ah