Facebook

Senin, 29 Agustus 2011

Berhari Raya-lah Bersama Pemerintah


asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas berkata:
“Asalnya sholat jum’at dan ‘iedain (sholat 2 hari raya, iedul fitri & adha) adalah tidak berbilang (yakni dilakukan pada hari yang sama, pent), para salaf telah menjelaskan tentang sholatnya di belakang para umaro’ (penguasa).”
Perkataan salafush shålih tentang wajibnya berhari-raya bersama imam
Hasan al-Bashri berkata tentang umaro’ :
في الأمراء هم يلون من أمورنا خمساً : الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود. والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر )) ا.هـ )
“Mereka mengatur urusan kita pada 5 perkara : sholat jum’at, sholat jama’ah, sholat ‘Ied, perang (jihad), dan hukum had. Demi Allah, tidak akan lurus agama ini kecuali dengan adanya mereka, walaupun mereka aniaya dan dzolim. Demi Allah, Allah memperbaiki melalui mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak, karena sesungguhnya ta’at kepada mereka -demi Allah- adalah kebaikan, dan menyelisihi mereka adalah kekufuran.”
[lihat "Adab al-Hasan al-Bashri" karya Ibnul Jauzi (hal. 121), dan lihat "Jami'ul 'Ulum wal Hikam" karya Ibnu Rojab (2/117)], dll]
Perkataan beliau “adalah kekufuran” (لكفر) maksudnya adalah : Kufur yang tidak sampai murtad (كفر دون كفر : kufrun duuna kufrin)
- Dan al-Lalika’i asy-Syafi’iy juga meriwayatkan (1/161) dalam I’tiqod al-Imam Ahmad bin Hambal yang diriwayatkan oleh Abdus bin Malik al-Aththor, bahwa ia (Ahmad) berkata :
وصلاة الجمعة خلفه وخلف من ولي جائزة، تامة ركعتين، من أعاداهما فهو مبدع، تارك للآثار، مخالف للسنة، وليس له من فضل الجمعة شيء إذا لم ير الصلاة خلف الأئمة من كانوا برهم وفاجرهم. فالسنة أن تصلي معهم ركعتين، من أعادهما فهو مبتدع وتدين بأنها تامة، ولا يكن في صدرك من ذلك شك )) ا هـ.
“dan sholat jum’at dibelakangnya (pemimpin) dan di belakang orang yang diwakilkan, 2 roka’at secara sempurna, barangsiapa yang mengulang sholat (yakni setelah sholat bersama imam, pent) maka ia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), menginggalkan atsar, menyelisihi sunnah!
Dan tidak ada baginya keutamaan sholat jum’at sama sekali jika ia tidak berpendapat untuk sholat di belakang para imam walaupun mereka (imam) itu baik atau fajir. Dan yang sunnah adalah engkau sholat bersama mereka 2 roka’at, barang siapa yang mengulangi maka ia adalah mubtadi’, dan engkau meyakini bahwa sholat tersebut adalah sempurna (sah, pent) dan jangan ada keraguan pada hatimu dalam masalah itu.”
[Riwayat ini juga ada pada Ushulus Sunnah oleh al-Imam Ahmad, hal. 68. Tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabiih, pent]
- Dan Harb meriwayatkan adanya ijma’ ‘ulama dalam masalah ini, dalam kitab al-Masa’il yang masyhur yang tertulis padanya :
هذه مذاهب أهل العلم وأصحاب الأثر، وأهل السنة المتمسكين بها، المقتدي بهم إلي يومنا هذا، وأدركت من أدركت من علماء أهلrفيها، من لدن أصحاب النبي الحجاز والشام وغيرهم عليها. فمن خالف شيئاً من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مخالف مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق
“ini adalah madzhab para ‘ulama dan ash-habul atsar (pengikut atsar); dan ahlus sunnah berpegang teguh padanya (pada masalah ini, pent), mengikuti mereka dalam masalah ini, mulai dari zaman shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang.
Dan aku mendapati orang-orang yang kutemui dari para ‘ulama ahlul Hijaz, Syam, dan lain-lain berada di atas madzhab ini. Maka barang siapa yang menyelisihi sesuatu dari madzhab ini atau mencelanya atau menjelekkan orang yang mengucapkannya, maka ia adalah orang yang menyimpang, mubtadi’, keluar dari al-Jama’ah, menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang haq.”
- Ia (Harb) berkata :
وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ
“dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka.
dan diantara perkataan mereka : “….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….”
[Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
Ahmad (bin Hanbal) berkata dalam riwayatnya:
يصوم مع الامام وجماعة المسلمين فى الصحو والغيم قال أحمد يد الله على الجماعة
“Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.”
[Majmu al-Fatawa (25/117)]
Al-Ajurri (W. 360 H) berkata dalam kitabnya asy-Syari’ah (1/371) :
وقد ذكرت من التحذير من مذاهب الخوارج ما فيه بلاغ لمن عصمه الله تعالي عن مذاهب الخوارج ولم ير رأيهم فصبر على جور الأئمة … ودعا للولاة بالصلاح وحج معهم وجاهد معهم كل عدو للمسلمين فصلي خلفهم الجمعة والعيدين. فمن كان هذا وصفه، كان على الصراط المستقيم – إن شاء الله – )) ا هـ.
”Sungguh aku telah menyebutkan tahdzir terhadap madzhab khowarij yang pada tahdzir tersebut terdapat khobar bagi orang yang dijauhkan oleh Allah dari madzhab khowarij dan tidak berpendapat dengan pendapat mereka, maka mereka bersabar terhadap kedzoliman para imam…… dan mendoakan kebaikan untuk penguasa. Dan menunaikan haji, jihad melawan musuh kaum muslimin, sholat jum’at dan sholat dua ied bersama mereka. Barang siapa yang sifatnya seperti ini berarti ia berada diatas jalan yang lurus, insyaAllah.”
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafiy berkata dalam Syarh Aqidah ath-Thohawiyyah (hal. 376) :
وقد دلت نصوص الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة أن ولي الأمر وإمام الصلاة والحاكم وأمير الحرب وعامل الصدقة – : يطاع في مواضع الاجتهاد وليس عليه أن يطيع أتباعه في موارد الاجتهاد بل عليهم طاعته في ذلك وترك رأيهم لرأيه فإن مصلحة الجماعة والإئتلاف ومفسدة الفرقة والإختلاف أعظم من أمر المسائل الجزئية ولهذا لم يجز للحكام أن ينقض بعضهم حكم بعض والصواب المقطوع به صحة صلاة بعض هؤلاء خلف بعض
Nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ salaful ummah telah menunjukkan bahwa pemimpin, imam sholat, hakim, pemimpin pasukan perang dan ‘amil zakat ditaati dalam masalah-masalah ijtihad, dan bukan ia (pemimpin atau imam, dst) yang mentaati pengikutnya dalam masalah ijtihad.
Bahkan wajib bagi pengikutnya untuk mentaatinya dalam masalah itu dan meninggalkan pendapat mereka masing-masing untuk mengikuti pendapat pemimpin. Karena maslahat dari berjama’ah dan persatuan; dan mafsadat dari perpecahan dan ikhtilaf, lebih besar daripada masalah-masalah juz-iyyah.
Oleh karena itu tidak boleh bagi para hakim untuk saling membatalkan keputusan masing-masing. Yang pasti kebenarannya, masing-masing sah untuk sholat bermakmum kepada yang lain.
- Diriwayatkan dari Abu Yusuf : bahwa ketika ia berhaji bersama Harun Ar-Rasyid. Lalu sang khalifah berbekam, dan difatwakan oleh Imam Malik bahwa ia tak perlu berwudhu. Beliaupun sholat mengimami orang banyak. Ada yang bertanya kepada Abu Yusuf :
أصليت خلفه ؟
“Apakah anda sholat bermakmum kepadanya?”
Beliau menjawab :
سبحان الله ! أمير المؤمنين
“Subhanallah, (dia itu) Amirul Mukminin!”
Yang beliau maksudkan , meninggalkan shalat bermakmum kepada para pemimpin itu perbuatan bid’ah.
Dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori bahwa Rosullullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطأوا فلكم وعليهم
” Mereka (para imam) sholat mengimami kalian, jika mereka benar, maka pahalanya untuk kalian dan untuk mereka. Dan jika mereka salah maka pahalanya untukmu dan dosanya bagi mereka.”
Hadist ini merupakan nash yang shohih lagi shorih (tegas) yang menunjukkan bahwa jika imam itu salah maka ia yang menanggung dosanya, makmum tidak menanggung dosanya. Dan seorang mujtahid paling jauh ia meninggalkan yang wajib karena ia meyakininya bahwa itu tidak wajib. Atau melakukan yang terlarang karena ia meyakini bahwa itu tidak terlarang.
Dan tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyelisihi hadits yang tegas dan shohih ini setelah sampai kepadanya. Dan hadits ini merupakan hujjah bagi orang-orang madzhab Hanafi, Syafi’i atau Hambali yang berpendapat bahwasanya jika seorang imam meninggalkan apa yang diyakini makmum sebagai suatu kewajiban, maka tidak sah bagi makmum untuk mengikutinya!! Karena berjamaah dan bersatu serta meninggalkan khilaf yang akan menyebabkan kerusakan merupakan hal yang wajib untuk dijaga.”
- Berkata Imam ash-Shabuni dalam Aqidatus Salaf ash-Habul Hadits hal. 102 :
“Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum’at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama’ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. mereka berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat.”
- Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
ثم هم مع هذه الأصول يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر على ما توجبه الشريعة ، ويرون إقامة الحج والجهاد والأعياد مع الأمراء أبراراً كانوا أو فجاراً . ويحافظون على الجماعات ويدينون بالنصيحة للأمة ويعتقدون معنى قوله – صلى الله عليه وسلم – : ” المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً “
“Dan mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) dengan ushul ini memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum’at, dan sholat ‘ied bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama’ah dan mereka beragama dengan menegakkan nasehat untuk umat, dan mereka meyakini sabda Rasulullah :
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً
“Seorang mu’min dengan mu’min lainnya ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”
(al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Taimiyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan :
ما يثبت من الحكم لا يختلف الحال فيه بين الذي يؤتم به فى رؤية الهلال مجتهدا مصيبا كان أو مخطئا أو مفرطا فانه اذا لم يظهر الهلال ويشتهر بحيث يتحرى الناس فيه وقد ثبت فى الصحيح ان النبى قال فى الأئمة يصلون لكم فان اصابوا فلكم ولهم وان اخطأوا فلكم وعليهم فخطؤه وتفريطه عليه لا على المسلمين الذين لم يفرطوا ولم يخطئوا
“Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum, tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal, baik dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Karena apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahih (shohih al-Bukhori, ed) bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam :
يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطأوا فلكم وعليهم
“Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.”
Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka (dosanya) bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.”
(Majmu’ Fatawa, 25/206)
Pernyataan Syaikhul Islam di atas (Majmu’ Fatawa, 25/206) merupakan kesimpulan beliau dari pertanyaan yang ditanyakan kepada beliau tentang penduduk kota yang melihat hilal namun hakim tidak menetapkan dengan ru’yah mereka, apakah mereka berpuasa pada tanggal 9 yang dzohir (yang ditetapkan hakim, pent) yang sebenarnya tanggal 10 (berdasarkan ru’yah mereka)? Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar tentang masalah ini dengan kemungkinan-kemungkinannya dengan sebuah pembahasan yang bagus sekali. Bagi yang ingin tau silahkan merujuk ke Majmu’ Fatawa (25/202).
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (25/205) berkata :
وقد روى ان رجلين فى زمن عمر بن الخطاب رضى الله عنه رأيا هلال شوال فأفطر احدهما ولم يفطر الآخر فلما بلغ ذلك عمر قال للذى افطر لولا صاحبك لأوجعتك ضربا
Telah diriwayatkan bahwa pada zaman ‘Umar bin al-Khoththob radhiyallahu ‘anhu ada 2 orang yang melihat hilal syawwal, maka salah seorang dari mereka berbuka dan yang seorang lagi tidak berbuka. Ketika khabar tersebut sampai ke ‘Umar, ia berkata kepada orang yang berbuka : “kalau bukan karena temanmu, tentu aku sudah memukulmu.”
Dan masalah sholat 2 ‘ied bersama ini juga difatwakan oleh kebanyakan ‘ulama zaman sekarang seperti : asy-Syaikh al-Albani (sebagaimana dalam fatwa beliau yang telah kami bawakan sebelumnya), Abdul ‘Aziz bin Baz, Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin, Sholeh Fauzan, Abdur Rozzaq Afifi, Abdus Salam Barjas, Ibrohim ar-Ruhaili, dan lain-lain.
Wallahu A’lam bish Showaab.
Daftar Pustaka
- Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, Hibbatullah bin al-Hasan al-Lalika’i. al-Maktabah asy-Syamilah v.1.
- Mu’amalatul Hukkam fi Dhou’il Kitab Was Sunnah, asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas
- Ushulus Sunnah, al-Imam Ahmad bin Hambal, Tahqiq al-Walid Muhammad Nabiih.
- Majmu’ al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. al-Maktabah asy-Syamilah v.1.
- Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman ash-Shobuni.
- Al-Aqidah al-Wasithiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Syarh Aqidah ath-Thohawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi.
- Artikel “Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar Kebersamaan Umat Islam” oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi.
Fatwa-Fatwa Seputar Berhari Raya Dengan Pemerintah
Oleh: Ustadz Armen Halim Naro (dengan sedikit perubahan dan penambahan)
Fatwa Lajnah Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftwa
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Iedul Adha ?
Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Iedul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa?
Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin ?
Jawaban
Para ulama sepakat bahwa Mathla’ Hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya.
Ada dua pendapat :
Pertama
Diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya Mathla berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.
Kedua
Diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias
Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta’ala.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah”
[Al-Baqarah : 185]
FirmanNya.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Artinya :Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah : Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia”
[Al-Baqarah : 189]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.”
(HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080).
Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dalam mengambil istidlal dengannya.
Kesimpulannya, Permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh untuk mengambil hilal yang bukan mathla mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.
Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya.
Tertanda : Wakil Ketua : Abdur Razzaq Afifi. Anngota ; Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani.
[Fatawa Ramadhan 1/117]
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya:
Tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?
Jawaban
Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar.
Sesungguhnya di dalam Sunnah (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
[Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya]1
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah telah bersabda,
الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون
“(Idul) Fithri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih”
[Diriwayatkan oleh Tirmidzi]
Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan imam kaum muslimin
[Majmu Fatawa (25/202)]
Fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillaah bin Baz
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya :
Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.”
(HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080).
Sampai akhir hadits.
Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari.
Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa ?
Jawaban
Jika anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون
“Artinya : Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”
Akan tetapi jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari.
Wallahu Waliyyut Taufiq
[Fatawa Ramadhan 1/145]
Beliau juga ditanya :
Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya ?
Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi ?
Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, red), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan ?
Begitu juga denan permasalahan masuknya bulan Syawal, yaitu hari ‘Ied. Bagaimana hukumnya jika dua negara berselisih?
Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum muslimin.
Jawaban
Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون
“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”
Wa Billahi Taufiq
[Fatawa Ramadhan 1/112]
Fatwa asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullåh
Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an.
[Tamamul Minnah, hal. 398]
Beliau ketika mensyarahkan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
[HR. at-Tirmidzi no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224]
Beliau berkata:
FIQIH HADITS
At-Tirmidzi berkata :
“dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).”
Ash-Shon’ani berkata dalam Subulus Salam (2/27) :
“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedul Fithri atau pun berkurban”.
Ibnul Qayyim menyebutkan makna hadits ini dalam Tahdzibus Sunan (3/214):
“Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata:
‘Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan dengan mengukur tempat-tempat terbitnya (cara hisab), boleh baginya berpuasa dan beriedul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya’.
Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya hilal sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”.
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata dalam kitabnya Hasyiyah ‘ala Sunan Ibni Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan at-Tirmidzi :
“Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha, pent) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam.
Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”
Aku (al-Albani) katakan :
“Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq yang melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr/berkurban (yakni, sudah ‘iedul Adha, pent), lalu ‘Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata :
النَحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ, وَالفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”2
Aku (al-Albani) katakan : Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.
Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!
Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.
Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina.
Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka!
Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin.
Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
[Terjemahan dari fiqih hadits no. 224 dalam as-Silsilah ash-Shohihah oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah-, http://tholib.wordpress.com]
Fatwa asy-Syaikh al-’Utsaimin rahimahullåh
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya,
“Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah Al-Haramain (Makkah dan Madinah –pent)?
Maka beliau menjawab,
Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.
Sebagai contoh: Apabila hilal telah nampak di Kota Makkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Makkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih cepat daripada Makkah sehingga hari Arafah (di Makkah) adalah hari kesepuluh bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa karena hari tersebut adalah hari raya.
Demikian pula sebaliknya, jika di suatu negeri ru’yahnya lebih lambat daripada Makkah maka tanggal sembilan di Makkah merupakan tanggal delapan bagi mereka. Maka mereka berpuasa pada hari ke sembilan (menurut negeri mereka) bersamaan dengan tanggal sepuluh di Makkah. Ini merupakan pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اذا رايتموه فصوموا و اذا رايتموه فافطروا
“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”
(Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Kitab Ash-Shaum, Bab Hal Yuqal Ramadhan (1900) dan Muslim di Kitab Ash-Shiyam, Bab Wujubus Shaum (20)(1081)).
Orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian.
(Fatawa Ahkamis Shiam no. 405)
sumber: ulamasunnah
Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhåhullåh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya :
Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan ? Bagaimana permasalahan ini. Jika terjadi perbedaan pada dua negara?
Jawaban
Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.
[Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 3/124]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dikutip Dari Fatwa-Fatwa Seputar Hari Raya Dengan Pemerintah, Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah, Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km 8, Selokaton Gondangrejo - Solo; dikutip darialmanhaj.or.id]
Catatan Kaki
  1. lafazhnya at-Tirmidzi, lihat no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224 
  2. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari jalan
    Abu Hanifah, Ia berkata:
    Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.).
    ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
    “Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!”
    Masruq berkata:
    “Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedul Adha).”
    Maka Aisyah pun berkata:
    النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
    “Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).”
    (Syaikh al-Albani berkata : ‘sanad ini jayyid’, lihat ash-Shohihah no. 224, pent)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar