Facebook

Sabtu, 28 April 2012

Berkenalan dengan Suku Mandar

Rumah adat Mandar, disebut dengan nama "Boyang"
Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya.

Perahu Sandeq, Perahu bercadik khas Mandar
Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membangun identitasnya. Mencari penghidupan di laut (sebagai nelayan) bukanlah pekerjaan sembarangan bagi orang Mandar. Mereka tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di laut. Oleh karenanya, benar apa yang dikatakan Chistian Pelras dalam bukunya yang berjudul ”Manusia Bugis” (2006), bahwa orang-orang Mandar merupakan pelaut ulung. Mereka sulit hilang dan tersesat di lautan.

Interaksi masyarakat Mandar dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu: berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang). Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Sedangkan Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.
Perahu khas Mandar ini terbuat dari kayu, sehingga sekilas terkesan rapuh. Namun jika membaca sejarahnya, akan diketahui bahwa perahu yang terkesan rapuh itu mampu dengan lincah mengarungi lautan luas. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter, dan di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Untuk berlayar, perahu tradisional ini mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong Sandeq hingga berkecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kapal, dan bodi-bodi.

Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat Sandeq dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan, khususnya untuk mengejar kawanan ikan tuna yang sedang bermigrasi. Oleh karenanya, perahu yang dibuat harus bisa melaju cepat. Perahu ini juga digunakan para nelayan untuk memasang perangkap (rumpon) pada musim ikan terbang bertelur (motangnga).



Suku Mandar adalah suku asli di Sulawesi Barat, populasinya di provinsi ini mencapai (49,15%) atau sekitar 570.000 jiwa dari total populasi 1.158.000 (2010) disusul Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya (19,15%). Selain itu populasi mandar yg cukup besar juga terdapat di sulawesi selatan yaitu 6,1% dari total populasi 8.032.551 jiwa atau sekitar 490.000 jiwa, Jumlah yang signifikan juga terdapat di Kalimantan Selatan (khususnya kotabaru) dan Kalimantan Timur, namun statistiknya sulit dilacak karena suku mandar sering diidentikkan atau dikelompokkan kedalam rumpun suku bugis setelah keluar dari Pulau Sulawesi.

Asal-usul kesatuan Lita atau Tana Mandar,di jelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tujuh Hulu Sungai) dan Pitu Ba, Bana Binanga (Tujuh Muara Sungai), adalah Negara Wilayah (Kesatuan) Mandar. Orang -orang dari wilayah permukiman itu, merasa bersaudara semuanya. Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang (Leluhur), yaitu Ulu Sa’ dan yang bernama  Tokombong di Wura, (Laki-laki) dan Towisse di Tallang (Perempuan). Mereka itu di sebut juga To-Manurung di Langi'.

Suku Mandar selama ini di kenal  sangat kuat dengan budayanya.Mereka menjunjung tinggi  tradisi, bahasa dan adat istiadatnya. Filosofi hidup mereka berbeda dengan suku Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya yang berdekatan dengan lingkungan kehidupan mereka di Sulawesi. Suku Mandar di kenal teguh dengan prinsip hidupnya.Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang Taik sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Bau Piapi, Ikan Tuna masak khas Mandar
Suku Mandar adalah pemeluk agama Islam. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.Adapun mereka yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencarian hidup yang amat penting. Dalam hal ini orang Mandar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut. Orang Mandar  terkenal sebagai suku-bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Perahu-perahu layar mereka telah mengarungi perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Filipina untuk berdagang.Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang Mandar,  akibat kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah lampau itu. Sebelum Perang Dunia ke-II, daerah Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus bahan makanan, yang mengekspor beras dan jagung ke tempat-tempat lain di Indonesia. Adapun kerajinan rumah-tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar.

Kali ini kami berkunjung ke Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Dimana terdapat pusat tenun sutra tradisonal Suku Mandar. Setiap masyarakat Desa Pambusuang rata-rata membuat Tenunan Sutra Mandar di rumah mereka masing-masing. 
Nama alat tenun tradisionil yang digunakan adalah Parewa Tandayang,
sebuah alat tenun yang terbuat dari kayu, bambu, sa'be (benang dalam
bahasa mandar) dan suliang (sebagai pengganti jarum). Semua pengerjaan
dilakukan dengan sangat tradisionil, tidak menggunakan mesin, hanya
menggunakan tangan.Proses pengerjaan 1 sarung kurang lebih 1 minggu, ukuran 1 buah sarung
adalah 3 meter.
 Kain-kain tersebut akan dipasarkan dengan harga Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah) sampai Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per kain. Mereka biasanya memasarkan kain tersebut di luar wilayah Mandar. Seperti mamuju, bugis, makasar, sampai ke pulau Jawa.
Sutera Mandar, Salah satu sutera terbaik sulawesi
Walau dengan alat yang tradisonal, mereka dapat menghasilkan Sutra tenun yang sangat bagus. Di tengah-tengah modernisasi seperti sekarang ini, mereka tetap melestarikan adat mereka dengan baik, dan menghasilkan hasil yang istimewa.
sarung yang berwarna biru akan di jual dengan harga 300 ribu rupiah
(sutra india), dan kain merah sutra asli dengan motif bunga sambar dijual dgn harga 400 ribu rupiah.



dengan editing yg dianggap perlu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar