Facebook

Rabu, 31 Agustus 2011

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?


Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?
Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf.Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.”(Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena: 1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus. 2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam. 3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika: 1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63). 2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88) 5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah. Url sumber http://www.asysyariah.com

DALIL-DALIL AL-QUR'AN TENTANG KEWAJIBAN TA'AT KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM


Berkata Imam yang mulia imam Ahlus sunnah Imam Ahmad rahimahullah:

نظرت في المصحف فوجدت طاعة الرسول صلى الله عليه وآله وسلم في ثلاثة وثلاثين موضعا

"Aku melihat mushaf, maka aku mendapati (perintah) ta'at kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam terdapat di 33 tempat."[1],yaitu dalam al-qur'an.



Diantaranya adalah firman Allah:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

"barangsiapa yang taat kepada rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah."

(QS.An-nisaa:80)



Dan firman-Nya:

وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Taatlah kalian kepada rasul semoga kalian dirahmati."

(QS.An-Nuur:56)



Dan firman-Nya Jalla wa'alaa:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

"Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".

(QS.An-Nuur:54)



Dan Allah Azza wajalla berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

"Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

(QS.Ali Imran:32)



Dan ayat-ayat yang masih banyak lagi dari kitabullah Azza wajalla.

Dan telah datang pula perintah dari Allah Azza wajalla untuk mengikuti RAsul-Nya Shallallahu alaihi wasallam berupa perintah untuk menjadikannya sebagai suri tauladan dalam banyak tempat (dalam al-qur'an).

Allah Azza wajalla berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

(QS.Ali Imran:31)



Dan Allah Azza wajalla juga berfirman:

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

(QS.Al-A'raf:158)

Maka kebaikan itu –wahai para pembaca yang kami cintai- setiap kebaikan adalah dengan mengikutinya, dan berhukum dengan syari'at dan sunnahnya, dan kejahatan setiap kejahatan adalah menyelisihi petunjuknya,dan berpaling dari sunnahnya Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam.




(haqqun nabi, Syaikh Abdullah Al-Bukhari)

Alih bahasa: Abu Karimah Askari bin Jamal

http://www.salafybpp.com/aqidah-islam/60-dalil-dalil-al-quran-tentang-kewajiban-taat-kepada-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam.html

MENYENTUH WANITA APAKAH MEMBATALKAN WUDHU ?


Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi’iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta’lim-ta’lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’.


Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
 (Abdullah di Salatiga)



Jawab:
 Masalah batal atau tidaknya wudhu’ seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu’ seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Syaikh Muqbil rahimahullahu ta’ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :

Beliau ditanya: “Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu’, baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?” Maka beliau menjawab: “Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu’jamnya dari Ma’qal bin Yasar radliyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
 Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.

Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.

Mengenai masalah membatalkan wudhu’ atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla :
 Atau kalian menyentuh wanita

Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma.
 Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
 Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’ berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sampai Allah ‘azza wa jalla turunkan:

Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya :
 Berdirilah, kemudian wudhu’ dan shalatlah dua rakaat.

Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu’adz bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan. Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’, karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu’. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu’, dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima’. Wallahul musta’an.

http://www.salafybpp.com/fiqh/70-menyentuh-wanita-apakah-membatalkan-wudhu-.html

Sikap Syar'i Seorang Muslim Terhadap Pemerintahnya


Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pemimpin sangat penting dalam sebuah negara atau pemerintahan. Tidak bisa dibayangkan betapa besarnya mafsadah (kerusakan) yang akan muncul ketika sebuah negara tanpa seorang pemimpin. Karena tabiat dasar manusia adalah suka berbuat zhalim, dan di lain sisi suka menuntut keadilan.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya manusia pasti selalu berbuat zhalim dan pengingkaran.” (Ibrahim: 34)

Apa yang akan terjadi seandainya manusia hidup di muka bumi tanpa seorang pemimpin yang mengatur berbagai urusan mereka? Sungguh keadaan mereka tak beda dengan binatang liar di tengah hutan belantara atau ikan-ikan di lautan. Hukum rimba pun akan menjadi simbol kehidupan mereka; yang kuat akan memangsa dan menindas yang lemah.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Akan terjadi fitnah (kerusakan) jika tidak ada seorang pemimpin yang mengatur urusan manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam kitab as-Sunnah 1/81)

Lihatlah keadaan masyarakat jahiliah sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Gambaran masyarakat yang amburadul. Tidak ada pemimpin yang ditaati serta tidak ada rasa kepercayaan kepada pemimpin dari tiap individu masyarakat. Maka wajar bila yang nampak adalah tindakan kriminalitas di samping kesyirikan tentunya. Pembunuhan dan penyanderaan terjadi di mana-mana. Peperangan besar pun seringkali terjadi karena sesuatu yang remeh.



Kewajiban Taat Kepada Pemerintah

Diantara prinsip penting yang harus diyakini oleh setiap muslim adalah kewajiban taat kepada pemerintah dalam hal yang bukan kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Ulil Amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fiqih, dan selainnya.”(Syarh Shahih Muslim 12/222)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan 1000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….. Lantas beliau berkata: Aku tidak melihat adanya perbedaan diantara mereka tentang perkara-perkara berikut ini: -beliau sebutkan sekian perkara diantaranya kewajiban menaati penguasa.” (Syarh Ushulil I’tiqad Lalikai, 1/194-197)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti  telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena pada perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

“Wajib bagi seorang muslim mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam hal yang disukai atau tak disukai kecuali jika diperintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari)

Tidak menaati penguasa dalam hal kemaksiatan bukan berarti boleh memberontak kepadanya atau tidak menaati seluruh perintahnya (meskipun dalam ketaatan).



Bagaimanakah Menyikapi Pemerintah yang Zhalim?

Jika seseorang telah diangkat sebagai pemimpin umat dan sah sebagai pemegang tampuk kekuasaan, maka wajib bagi seorang muslim selaku rakyat untuk menunaikan hak-hak pemimpin tersebut, walaupun ia sebagai seorang yang zhalim. Diantara hak yang harus ditunaikan itu adalah:



1. Taat kepadanya dalam hal yang bukan kemaksiatan

Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah! Kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (kepada penguasa) yang bertaqwa, akan tetapi yang kami  tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah 2/494)



2. Sabar atas Kezhalimannya

Sabar terhadap kezhaliman penguasa merupakan prinsip dasar Islam yang dibimbingkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan diterapkan oleh salafus shalih (pendahulu terbaik umat ini).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa melihat suatu hal yang tidak disenangi pada penguasanya, maka bersabarlah karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin) sejengkal kemudian mati maka ia mati jahiliah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat, karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akIIan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini, dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hlm. 368)

Suwaid bin Gafalah rahimahullah berkata: “Telah berkata kepadaku Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu: “Wahai Abu Umayyah, mungkin aku tidak bertemu engkau setelah tahun ini, maka jika engkau dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah (Ethiopia) yang cacat hendaknya engkau dengar dan taat padanya, walau ia memukulmu (secara zhalim) tetaplah sabar dan jika ia menginginkan sesuatu yang akan mengurangi agamamu, katakanlah: “Saya dengar dan taat dari jiwaku bukan agamaku”, dan janganlah engkau berpisah dari jama’ah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf. Lihat Aqiidah Ahlil Islam Fiima Yajibu Lil Imam)

Ka’ab Al-Ahbar rahimahullah berkata: “Sultan (penguasa) adalah naungan Allah di bumi. Jika ia beramal ketaatan kepada Allah, baginya ajr (pahala) dan wajib bagi kalian untuk bersyukur. Jika ia berbuat maksiat, baginya dosa dan wajib bagi kalian untuk bersabar. Janganlah kecintaan kalian kepadanya menjerumuskan diri kalian ke dalam kemaksiatan dan jangan pula kebencian kepadanya mendorong kalian keluar dari ketaatan kepadanya.” (Diriwayatkan pula oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya An-Nashihah Lirrā’i  Warrā’iyah)

Sungguh kesabaran terhadap kezhaliman penguasa memiliki andil besar terciptanya keamanan serta terwujudnya kemaslahatan secara merata. Dan hal ini berat dilakukan kecuali bagi orang-orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berjalan di atas ilmu dan bimbingan ulama.



3. Menasehatinya dengan cara yang baik

Tentunya sabar terhadap kezhaliman penguasa tidak menafikan (menghilangkan) adanya nasehat dan teguran padanya. Karena nasehat dan teguran merupakan salah satu hak penguasa yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Selain itu nasehat dan teguran adalah pondasi agama yang dengannya akan kokoh agama ini. Terkhusus nasehat kepada para pemimpin sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Agama ini adalah nasehat;…..(di antaranya) nasehat untuk pemerintah  dan seluruh elemen umat.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Adapun nasehat kepada penguasa maka mempunyai bentuk dan cara penyampaian tersendiri. Mengingat kondisi penguasa tak sama dengan rakyat biasa. Ketika nasehat tersebut disampaikan dengan cara yang tidak tepat atau salah maka mafsadah (efek negatif) yang muncul akan lebih besar dibanding terhadap rakyat biasa. Diantara cara menasehati penguasa yang dibimbingkan dalam Islam adalah:

- Menasehatinya dengan rahasia (tersembunyi)

Menasehati penguasa secara terang-terangan dihadapan khalayak ramai, tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa dengan sebuah nasehat, janganlah menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya dan bersendirian dengannya (berduaan untuk menasehatinya). Jika ia (penguasa tersebut) mau menerima nasehat maka itulah yang diharapkan, kalau tidak (menerima nasehat), maka sungguh ia (penasehat) telah menunaikan kewajibannya terhadap penguasa.” (HR. Ahmad)

Al-’Allamah As-Sindi rahimahullah berkata: “Nasehat terhadap penguasa hendaknya dilakukan secara tersembunyi, tidak terang-terangan dihadapan manusia.” (Hasyiah Al-Musnad)

Termasuk bagian dari nasehat kepada penguasa adalah mengingkari kemungkaran yang ada padanya. Namun semua itu harus dilakukan dengan penuh hikmah, tidak secara terang-terangan  serta tetap menjaga wibawa penguasa tersebut. Demikian pula tidak sepantasnya menyebutkan kemungkaran atau kezhaliman penguasa dihadapan rakyat walaupun dengan dalih nasehat. Baik dalam bentuk ceramah, khutbah jum’at, tabligh akbar, ataupun melalui media cetak seperti majalah, surat kabar, buletin, dan lain-lain.  Apalagi dengan menggelar demonstrasi yang jauh dari bimbingan Islam. Semua itu akan menimbulkan kebencian rakyat kepada penguasanya dan mendorong mereka untuk menentangnya.

- Tidak mengingkari kemungkaran yang ada dengan senjata (memberontak)

Tidak diragukan lagi bahwa mengangkat senjata (memberontak) kepada penguasa yang sah adalah tindakan separatis yang jelas-jelas menyelisihi Al-Qur’an dan as-Sunnah. Apapun alasannya, memberontak terhadap penguasa tidak bisa dibenarkan dalam Islam.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah ketika melihat seorang pemberontak di Kota Bashrah mengatakan: “Betapa kasihannya orang ini. Ia bermaksud mengingkari kemungkaran namun terjatuh pada sesuatu yang lebih mungkar (yaitu pemberontakan)” (Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah. Lihat Aqiidah Ahlil Islam Fiima Yajibu Lil Imam)

Abul Bakhtari rahimahullah berkata: “Dikatakan kepada Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu; tidakkah anda memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar? Beliau menjawab: “Sungguh amar ma’ruf nahi mungkar adalah sebuah amal kebajikan, namun bukan merupakan sunnah (bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) engkau mengangkat senjata kepada pemimpinmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Jami’ Lisyu’abil Iman)

Demikianlah diantara prinsip Islam yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan generasi terbaik umat ini dalam menyikapi penguasa, termasuk yang zhalim di antara mereka. Jika prinsip mulia itu diterapkan oleh semua elemen umat, niscaya akan terwujud persatuan dan kedamaian di seluruh negeri kaum muslimin. Sebaliknya, jika semua elemen umat mengikuti hawa nafsu dan perasaan, jauh dari bimbingan ilmu dan ulama, maka yang muncul adalah kekacauan, persengketaan dan akan berakhir dengan pertumpahan darah di antara kaum muslimin, wal’iyyadzubillah.

Akhir kata, mudah-mudahan hidayah ilahi senantiasa mengiringi kaum muslimin dan pemimpin-pemimpin mereka. Dengan harapan, menjadi satu kekuatan besar yang senantiasa berpijak dan berpihak di atas kebenaran Islam yang di bawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Amin..




http://www.buletin-alilmu.com/sikap-syari-seorang-muslim-terhadap-pemerintahnya

Selasa, 30 Agustus 2011

Terlarangkah Memakai Nisbah As-Salafiy atau Al-Atsariy ???


Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir, Lc



Di zaman kita ini muncul sekelompok manusia yang menyatakan bahwa menggunakan istilah As-Salafiy atau Al-Atsariy diakhir nama mereka atau mengaku dengan lisannya, "Aku adalah salafi", "Kami adalah salafiyyun" adalah perkara yang terlarang.
Si pelarang itu mengajukan "hujjah" bahwa tidak boleh menggunakan istilah seperti itu, sebab itu adalah salah satu bentuk tazkiyah (penyucian diri), atau dikhawatirkan ia tak sesuai pengakuannya, yakni hanya sekedar pengakuan lisan, namun prakteknya menyalahi lisannya.[1]Mereka juga menyatakan bahwa menggunakan istilah "salafiy" akan mengantarkan kepada tafriq(pemecahbelahan) diantara kaum muslimin, atau ia adalah bentuk tashnif (pengelompokan)[2], danhizbiyyah!! [3]
Semua ini adalah alasan-alasan yang bisa kita sanggah dengan mudah –Insya Allah-. Semua ini hanyalah hujjah yang lemah, selemah sarang laba-laba.
Terkadang mereka (si pelarang) membawakan fatwa sebagian ulama, seperti fatwa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan yang menyatakan bahwa tidak perlu memakai nama As-Salafiy atau Al-Atsariy, karena beliau khawatir pengakuan itu tidak sesuai dengan perbuatan dan aqidah seorang muslim.Tapi apakah Syaikh melarang secara mutlak? Tentunya tidak !! Bagi orang yang memiliki aqidah dan manhaj sesuai dengan salaf, maka tak apa baginya untuk menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy.
Karenanya Syaikh Al-Fauzan sendiri pernah berfatwa saat ditanya, "Apakah menggunakan nama As-Salafiy dianggap membuat kelompok (hizbiyyah)?". Syaikh Al-Fauzan -hafizhahullah- menjawab, "Menggunakan nama As-Salafiy –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak boleh baginya menggunakan nama As-Salafiy, sedang ia bukan di atas manhaj Salaf. Maka orang-orang Al-Asy’ariyyah -contohnya- berkata, "Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah". Ini tak benar, karena pemahaman yang mereka pijaki bukanlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Demikian pula orang-orang Mu’tazilah menamai diri mereka dengan Al-Muwahhidin (orang-orang bertauhid).
كل يدعي وصلا لليلى وليلى لا تقر لهم بذاكا
Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Sedang Laila tidak mengakui hal itu bagi mereka
Jadi, orang yang mengaku bahwa ia berada di atas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah akan mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan meninggalkan orang-orang yang menyelisihi (madzhab Ahlus Sunnah.-pent). Adapun jika ia mau mengumpulkan antara "biawak dan ikan paus" –menurut istilah orang-, yakni: mau mengumpulkan hewan daratan dengan hewan laut, maka ini tak mungkin; atau ia mau mengumpulkan antara api dengan air dalam suatu daun timbangan. Maka tak akan bersatu ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan madzhabnya orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Hizbiyyun[4] yang disebut orang dengan "Muslim Masa Kini", yaitu orang yang mau mengumpulkan kesesatan-kesesatan orang-orang di zaman ini bersama manhaj salaf. Maka "Tak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki awalnya". Walhasil, harus ada pembedaan dan penyaringan". [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah 'an As'ilah Al-Manahij Al-Jadidah (hal.36-40) karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy -hafizhahullah-, cet. Darul Minhaj, 1426 H]
Jadi, menamakan diri dengan As-Salafiy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, "tak ada aibnya orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya, dan mengasalkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya menurut kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf, tidak ada, kecuali benar". [Lihat Majmu' Al-Fatawa (4/149)]
  • Adapun syubhat bahwa memakai istilah salaf adalah tazkiyah yang tercela, maka untuk membantah dan menyanggah pernyataan ini ada baiknya kita nukilkan fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah-.
Namun sebelum kita menukil fatwa beliau, maka perlu kami jelaskan bahwa menyatakan diri sebagai salafiy atau atsariy, bukanlah penyucian diri, tapi ia merupakan bentuk tamyiz dan tafriq (pembedaan) jati diri Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah sebagaimana hal boleh bagi kita menyatakan bahwa kita adalah muslim dan mukmin, bahkan boleh kita cantumkan dalam KTP kita. Ini bukan tazkiyah, walapun maknanya muslim adalah orang yang berserah diri, dan mukmin adalah orang beriman.
Kata mukmin dan muslim, jika kita salah pahami, maka boleh saja bermakna tazkiyah. Tapi tentunya tidak demikian, sebab seorang tak boleh men-jazm (memastikan) dirinya sebagai penduduk surga.Maka analogikan juga dengan istilah salafiy dan atsariy. Kata salafiy atau atsariy, jika digunakan sebagaimana kata muslim dan mukmin, bukan untuk men-jazm, maka boleh. Adapun jika tujuannya untuk men-jazm (memastikan) diri sebagai penduduk surga dengan kedua kata itu, maka tentunya tercela. Ini yang perlu kalian pahami agar syubhat itu hilang.
Jadi, istilah salafiy dan atsariy bukanlah tazkiyah. Kalau kita anggap sebagai tazkiyah, maka ia bukan tazkiyah yang tercela sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh bin Baaz dalam fatwanya berikut:
Al-Allamah Syaikh Abdul bin Baz-rahimahullah- pernah ditanya, "Bagaimana pandangan anda tentang orang yang menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy; apakah itu tazkiyah (penyucian diri)?"
Syaikh bin Baz menjawab dalam sebuah ceramah[5] beliau "Haqqul Muslim", "Jika ia benar bahwa ia adalah atsariy atau ia salafiymaka tak mengapa, seperti para salaf dahulu berkata, "fulan salafiy, fulan atsariy". Ini adalah tazkiyah yang harus ada, tazkiyah yang wajib". [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah (38-39), karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy, cet. Darul Minhaj, 1426 H; Irsyad Al-Bariyyah ilaa Syar'iyyah Al-Intisab li As-Salafiyyah wa Dahdusy Syubah Al-Bid'iyyah (hal.21), karya Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy, cet. Darul Atsar, 1421 H; Al-Azhar Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa Ath-Tho'ifah Al-Manshuroh(hal. 27), karya Fauzi Ibnu Abdillah Al-Atsariy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1422]
Fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah- di atas merobohkan ucapan Penulis ketika ia berkata,"Sebenarnya menisbatkan diri kepada kepada julukan-julukan seperti ini (salafi, atsari) bukan termasuk simbol syariat, bukan mengaku semaunya atau hanya klaim. Itu saja tak cukup. Akan tetapi, pengakuan itu butuh kepada realisasi dan bukti amal perbuatan. Merealisasikan sifat-sifatnya yang telah diperintahkan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan tuntutan penisbatan diri kepada julukan-julukan tersebut".[Lihat BSDS (hal.74-75)][6]
Penamaan As-Salafiy, bukan Cuma Syaikh bin Baz yang membolehkannya, bahkan Syaikh Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid sendiri membolehkannya ketika Syaikh Bakr -hafizhahullah- berkata,"Jika dikatakan, As-Salaf atau As-Salafiyyun atau bagi jalan mereka (disebut) As-Salafiyyah, maka itu adalah penisbahan diri kepada As-Salaf Ash-Sholih, yaitu seluruh sahabat -radhiyallahu ‘anhum- lalu orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan, tanpa orang-orang yang diseret oleh al-ahwa’ [7]..Orang-orang yang tegar di atas manhaj kenabian, maka mereka dinisbahkan kepada salaf mereka yang sholih dalam hal itu. Maka dikatakan bagi mereka, "As-Salaf", " As-Salafiyyun". Sedang nisbah kepada mereka adalah "salafi". Berdasarkan hal ini, maka kata "salaf" maksudnya adalah As-Sala Ash-Sholih. Kata ini secara mutlak maksudnya adalah setiap orang yang berjalan dalam meneladani para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- sehingga walau ia berada di zaman kita. Demikianlah halnya; berdasarkan inilah komentar para ulama’. Maka dia (kata As-salaf atau As-Salafiy) merupakan penisbahan diri yang tak memiliki tanda yang keluar konsekuensi Al-Kitab dan As-Sunnah. Dia adalah penisbahan diri yang tak pernah lepas dalam sekejap apapun dari generasi pertama (sahabat), bahkan mereka berasal dari mereka, dan kembali kepada mereka. Adapun orang yang menyelisihi mereka dengan nama atau simbol, maka ia bukan termasuk darinya, sekalipun ia hidup diantara mereka, dan sezaman dengan mereka".[Lihat Hukm Al-Intima' (hal. 46) karya Syaikh Bakr Abu Zaid –harosahullah minal mubtadi'-]
Tidak cukup sampai disini, nahkan Syaikh Bakr Abu Zaid menganjurkan kita agar menjadi salafiy[8]ketika beliau berkata dalam Hilyah Tholib Al-’Ilm (hal.8), "Jadilah salafiy di atas rel".
Sekali lagi, menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya, penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy di akhir nama, atau dalam menyifati seseorang sudah menjadi perkara yang masyhur di kalangan salaf. Kali ini kami akan nukilkan sebagian –bukan semuanya- beberapa tokoh yang dikenal dengan Al-Atsariy atau As-Salafiy.[9]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, "Syu’bah bin Abdullah bin Ali Abu Bakr Ath-Thusiy Al-Atsariy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3421)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, "Al-Husain bin Abdil Malik bin Al-Husain bin Muhammad bin Ali Asy-Syaikh Abu Abdillah Al-Ashbahaniy Al-Khollal Al-Adib An-Nahwiy Al-Bari’ Al-Muhaddits Al-Atsariy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3673)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata, "Muhammad bin Ahmad bin Kholaf bin Biisy Abu Abdillah Al-Abdariy Al-Andalusiy Al-Atsariy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3758)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan orang-orang yang lahir sekitar tahun 593 H, "…dan Az-Zahid Ahmad bin Ali Al-Atsariy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4234)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan murid-murid Ibnul ‘Uwais, "…dan Ash-Sholih Abdul Karim bin Manshur Al-Atsariy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4524)]
  • Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, "Muhammad bin Musa bin Al-Mutsanna Al-Faqih Al-Baghdadiy Al-Atsariy Ad-Dawudiy Azh-Zhohiriy. Dia adalah seorang ahli fiqih yang cerdas; meninggal tahun 385 H".[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/4524)]
  • Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, "Abdur Rahim bin Muhammad bin Ahmad bin Faris Asy-Syaikh Ash-Sholih Abu Muhammad Ibnul Zajjaj Afifuddin Al-Altsiy Al-Baghdadiy Al-Hambaliy Al-Atsariy ;lahir 612 H, dan meninggal tahun 685 H".[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2647)]
  • Al-’Iroqiy berkata tentang dirinya di awal manzhumah alfiyyah-nya,
يقول راجي ربه المقتدر … عبد الرحيم بن الحسين الأثري
"Orang yang berharap kepada Robb-nya Yang Maha Kuasa…
Abdur Rahim bin Al-Husain Al-Atsariy" .[10]
Al-Allamah As-Sakhowiy-rahimahullah- berkata saat menjelaskan makna kata "Al-Atsariy", " Al-Atsariy (dengan men-fathah hamzah-nya dan tsa’-nya) merupakan nisbah kepada atsar. Sedang dia (kata atsar)secara bahasa adalah jejak; menurut istilah (atsar) adalah haditshadits yang marfu’ atau mauquf menurut pendapat yang dijadikan standar".[Lihat Fath Al-Mughits (1/7), cet. Darul Kutub Al-'Ilmiyyah, 1403 H]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Abu Isma’il Al-Harowiy (Penulis Dzammul Kalam),"Dahulu Syaikhul Islam (Al-Harowiy) adalah seorang atsariy sejati; ia biasa mendapatkan celaan dari para ahli kalam".[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (18/506)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata tentang Yusuf bin Muhammad Al-Hauroniy,"Dia adalah syaikh yang mulia, sunniy, atsariy, sholih, qona’ah, dan menjaga kesucian diri".[Lihat Mu'jam Al-Mukhtash bi Al-Muhadditsin (hal.19)]
  • As-Sam’aniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Ansab (1/84), "Al-Atsariy (dengan men-fathah alif-nya dan tsa’nya, diakhirnya ada ro’), nisbah ini kepada atsar, yakni hadits, pencarian hadits, dan pengikutnya. Telah masyhur dengan nisbah seperti ini Abu Bakr Sa’d bin Abdillah Al-Atsariy Ath-Thusiy".
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Ad-Daruquthniy, "Orang ini (yaitu, Ad-Daruquthniy) tak pernah masuk ke dalam ilmu kalam dan jidal, dan tidak pula terjun ke dalamnya, bahkan ia adalah salafiy".[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (16/457)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Bahroniy,"Dia adalah seorang yang taat beragama, orangnya baik lagi salafiy".[Lihat Mu'jam Asy-Syuyukh (2/280)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Sholahuddin Abdur Rahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdiy Asy-Syafi’iy, "Dia adalah seorang salafiy bagus aqidahnya".[LihatTadzkiroh Al-Huffazh (4/1431)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdullah Ibnul Muzhoffar bin Abi Nashr bin Hibatillah, "Dia adalah seorang yang tsiqoh (terpercaya), sholeh, lagi salafiy".[LihatTarikh Al-Islam (1/4236)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Al-Qodhi Abul Hasan Umar bin Ali Al-Qurosyiy Abil Barokat Ad-Dimasyqiy, "Dia adalah seorang yang waro’, sholeh, beragama, lagi salafiy".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4849)]
  • Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdur Rahman bin Al-Khodhir bin Al-Hasan bin Abdan Al-Azdiy, "Dia adalah seorang sunniy, salafiy , lagi atsariy –semoga Allah merahmatinya-".[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4861)]
  • Al-Imam Ash-Shofadiy berkata tentang Al-Imam Tajuddin At-Tibriziy Asy-Syafi’iy, "Dia adalah seorang salafiy , lagi tegas menyatakan kebenaran".[Lihat Al-Wafi fil Wafayat(1/2603)]
  • Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi -rahimahullah- berkata tentang Gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, "Beliau senantiasa di atas hal itu (sibuk dengan ilmu) sebagai generasi penerus yang sholeh lagi salafiy".[Lihat Al-'Uqud Ad-Durriyyah (hal.21)]
Inilah beberapa nukilan dan pernyataan ulama-ulama tentang bolehnya seseorang menamakan diri dengan salafiy atau atsariy, jika pengakuannya sesuai dengan realita dirinya. Adapun jika tak sesuai, maka kami juga tahu bahwa itu tak boleh, seperti pengakuan sebagian hizbiyyun pada hari ini bahwa mereka juga bermanhaj salaf alias salafiy. Walaupun ia malu-malu dan engganmenyebut dirinya sebagai "salafiy".
Seorang menamai dirinya sebagai salafiy, ini bukan berarti ia keluar dari nama yang syar’iy, yaitu Islam. Bahkan nama salafiy adalah Islam itu sendiri, seperti halnya kata " Ahlus Sunnah wal Jama’ah", Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah, Ahlul Atsar (Al-Atsariyyah), Ahlul Hadits, Sunniy, Salaf (salafiyyah/salafiyyun). Semua ini adalah nama-nama bagi seorang yang berada di atas Al-Kitab dan sunnah berdasarkan pemahaman salaf. Sedang orang yang demikian disebut muslim yang hakiki.
Salafiyyun memiliki nama yang banyak, namun nama-nama itu bermuara dalam satu makna, yaitu Islam hakiki, Islam yang belum dinodai oleh bid’ah, Islam yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; diyakini, dan diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy-hafizhahullah-[11]telah menyebutkan beberapa nama bagi Ahlus sunnah setelah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah tidak memiliki nama, dan gelar yang masyhur baginya, selain Islam. Tapi kenapa Ahlus Sunnah memiliki nama-nama, apakah nama-nama itu keluar dari makna dan kandungan Islam.
Menjawab hal ini, Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy-hafizhahullah- berkata, "Tatkala telah muncul bid’ah dalam Islam, kelompok-kelompok sesat berbilang, dan senuanya mengajak kepada bid’ahnya –disamping mereka menisbahkan kepada Islam pada lahiriahnya-, maka para pengikut kebenaran, dan pemilik aqidah yang benar, yang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan ummat di atasnya, tanpa dikotori oleh suatu noda, atau disusupi oleh sesuatu berupa hawa dan bid’ah; ketika itu mereka (Ahlus Sunnah) haruslah dikenal dengan nama-nama yang membedakan mereka dari para pelaku bid’ah, dan penyimpangan dalam aqidah ini. Maka ketika itu muncullah nama-nama mereka yang syar’iy dan bersumber dari Islam. Maka diantara nama mereka: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqoh An-Najiyah, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, dan As-Salaf. Apa yang masyhur berupa nama-nama ini, ini tidaklah menyelisihi sesuatu yang telah lewat penetapannya bahwa mereka (Ahlus Sunnah) tidak memiliki nama dan gelar yang mereka dikenal dengannya, selain Islam, karena nama-nama ini menunjukkan Islam. Namun tatkala orang yang tidak menerapkan Islam dengan sebenarnya dari kalangan ahli bid’ah menisbahkan diri kepada Islam, maka muncullah nama-nama ini untuk membedakan antara orang-orang yang menerapkan Islam dengan benar –dan mereka adalah Ahlus Sunnah-, dan antara orang-orang yang menyimpang darinya. Barang siapa yang yang mau merenungi nama-nama ini (nama-nama Ahlus Sunnah), maka akan nampak baginya bahwa nama-nama itu seluruhnya menunjukkan Islam. Sebagian nama-nama itu tsabit (ada) berdasarkan nash dari Rasul -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan sebgaiannya hanyalah terjadi bagi mereka karena keutamaan mereka menerapkan Islam dengan benar".[Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah min Ahli Al-Ahwa' wal Bida' (1/44-45), cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah ! ]
Adapun fatwa yang dinukil oleh Penulis Beda Salaf Dengan Salafi (hal.14-15) dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- yang berbunyi, "Apabila di tubuh umat ini banyak muncul apa yang disebut hizb, maka kamu jangan bergabung dengan kelompok tersebut. Pada zaman dahulu beberapa kelompok tersebut telah muncul, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Rafidhah. Kemudian pada periode akhir-akhir ini muncul kelompok yang disebut Ikhwaniyyun, Salafiyyun, Tablighiyyun, dan beberapa kelompok yang serupa. Tanggalkanlah semua kelompok ini di sisi kirimu dan ikutilah imam, yaitu apa-apa yang disebutkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
"Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk".
Tidak diragukan lagi bahwa tugas wajib seluruh kaum muslimin adalah menganut madzhab generasi salaf, bukan bergabung kepada hizb tertentu yang disebut salafiyyun. Umat Islam menganut madzhab Salafus Shalih, bukan menganut kelompok yang disebut Salafiyyun. Kenapa? Karena disana ada jalan salaf, dan disana ada hizb yang disebut As-Salafiyyun, yang harus dianut adalah mengikuti jalan generasi salaf".[12]
Jika kita mau merenungi dan memikirkan secara mendalam, serta mendudukkannya pada tempatnya, maka fatwa ini tidak menunjukkan apa yang diinginkan oleh Penulis BSDS bahwa seorang dilarang menyatakan dirinya salafiy, jika ditinjau dari beberapa segi berikut:
  • Siapa yang dimaksudkan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan Salafiyyun yang harus ditanggalkan?
Apakah Salafiyyun adalah mereka yang berada di atas jalannya para salaf, ataukah mereka yang memiliki aqidah dan manhaj yang menyelisihi aqidah dan manhaj salaf, tapi mereka menisbahkan diri kepada salaf secara dengan menamakan dirinya dengan "Salafiyyun" secara dusta dan zholim?
Yang dimaksudkan oleh Syaikh tentunya disini adalah orang-orang yang mengaku sebagaiSalafiyyun secara dusta dan zholim dari kalangan hizbiyyun dan ahli bid’ah.[13] Pada hari ini banyak sekali hizbiyyun yang mau menipu umat dengan beraninya memakai baju Salafiyyah. Tak segan mereka melantik dirinya sebagai salafiyyun, padahal aqidah dan manhajnya menyelisihi manhaj salaf !!
Sebagai contoh, di Kuwait ada perkumpulan yang mengaku sebagai salafiyyun; mereka menamakan dirinya At-Tajammu’ Al-Islamiy As-Salafiy (Perkumpulan Islamiy Salafiy). Apa kerja mereka?! Kerja mereka ini dicatat oleh Majalah Al-Furqon (Edisi 299/10 Jumadil Ula/1425 H= 28 Juni 2004 M). Majalah Al-Furqon memberitakan pekerjaan kelompok yang mengaku salafiy ini pada rubrik "Al-Furqon Al-Mahalli" (hal. 9), " At-Tajammu’ Al-Islamiy As-Salafiy (Perkumpulan Islamiy Salafiy) membantah apa yang ditegaskan oleh Seorang anggota dewan (di Kuwait,-pent), Jamal Al-’Umar karena kritikan-kritikannya kepada Menteri Keadilan, Ahmad Baqir dalam keadaan mereka (Perkumpulan itu) menegaskan bahwa mereka menguatkan dukungannya kepada Baqir. Perkumpulan itu menyatakan dalam liputan berita koran yang dilangsungkan oleh Kholid Sulthon Al-’Isiy, "Yang menyedihkan kami, apa yang dinyatakan oleh Jamal Al-’Umar berupa kata-kata yang tak pantas tentang diri Menteri Ahmad Baqir Al-Abdullah".[14]
Perhatikan sikap perkumpulan yang mengaku dirinya salafiy, mereka menasihati pemerintahnya di depan publik, tentu ini salah dan menyelisihi manhaj salaf dalam menasihati penguasa.[15]
Menasihati penguasa harus dengan secara tersembunyi, halus, ikhlash, dan beradab. Bukan di depan publik !! Perkumpulan seperti inilah yang diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang bersih dari hal seperti itu.
Contoh lain , di sebagian negeri atau tempat ada sebagian hizbiyyun yang membuat partai dalam memecah belah umat, sedangkan mereka mengaku sebagai Salafiyyun. Ini tentunya salah !! Inilah yang diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang jauh dari penyebab perpecahan (baca: partai).
Demikian pula, di Makassar ada kelompok da’wah yang mulai mengaku sebagai Salafiyyun pernah mengadakan demonstrasi dalam menuntut pemerintah setempat. Mereka keluar ke jalan-jalan menuntut sesuatu yang mereka maukan, tanpa malu dan tanpa memperhatikan aqidah dan manhaj salaf dalam bermu’amalah dengan penguasa, serta tidak lagi memperhatikan adab dan akhlak islami.
Apakah mereka ini layak disebut Salafiyyun ? Tentunya tidak !! Karena tak ada seorang yang dikatakan salafiy yang mau melakukan demo, sebab itu adalah jalan da’wahnya kaum Khawarij dan para pejuang demokrasi yang jauh dari tuntunan Allah -Ta’ala-.[16] Kelompok seperti inilah yang diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang bersih dari hal seperti itu.
Lebih dari itu, ada diantara mereka menceburkan diri ke dalam kancah politik dengan memberikan dukungan kepada salah satu kandidat dalam PILGUB sebagai "Tim Sukses".[17] Kelompok seperti inilah yang diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang bersih dari hal seperti itu.
Jadi Syaikh Al-Utsaimin pada dasarnya tidaklah mengingkari orang-orang yang mengaku sebagai Salafiyyun, jika manhaj dan aqidah mereka sesuai tuntunan salaf. Adapun jika menyelisihi manhaj dan aqidah salaf, maka ini adalah salafiy gadungan yang diingkari oleh beliau!!
  • Anggaplah –tapi ini jauh kemungkinannya- bahwa Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah-mengingkari secara mutlak semua orang-orang yang menamai dirinya sebagai Salafiyyun atau menisbahkan diri kepada Salaf, maka kita tidak begitu saja menerima fatwa beliau, sebab ada ulama’-ulama’ yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat. Kemudian mengingkari penggunaan istilah salaf merupakan pengingkaran atas salaf yang sudah lama memakai dan menggunakan istilah tersebut bagi para Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy-rahimahullah- berkata saat mengingkari sebagian orang yang melarang penisbahan diri kepada Salafiy"Akan tetapi disana ada orang yangmengaku berilmu mengingkari penisbahan ini (yaitu, salafiyyah/salafiyyun) dengan menyangka bahwa hal itu tak ada dasarnya seraya berkata, "Tak boleh seorang muslim berkata, ("Saya adalah salafiy")". Seakan orang ini berkata, "Tidak boleh seorang muslim berkata, ("Aku adalah orang yang mengikuti As-Salaf Ash-Sholih dalam perkara yang mereka di atasnya berupa aqidah, ibadah, dan suluk")".
Tidak ragu lagi bahwa pengingkaran seperti ini –andaikan pengingkarnya sadar- maka mengharuskan ia berlepas diri dari Islam yang benar yang telah dipijaki oleh Salaf kita yang sholih –utamanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- — sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh hadits yang mutawatir dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terdapat dalam Ash-Shohihain, dan selainnya dari beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, lalu yang berikutnya".[18]
Tidak boleh seorang muslim berlepas diri dari menisbahkan diri kepada As-Salaf Ash-Sholih. Andaikan ia berlepas diri dari penisbahan lain, maka tak mungkin bagi seorang ulama’ menisbahkannya kepada kepada kekafiran atau kefasiqan…Adapun orang yang dinisbahkan kepada As-Salaf Ash-Sholih, maka sungguh ia telah menisbahkan diri kepada kepada sesuatu yang ma’shum –secara umum-.
Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyebutkan tanda-tanda bagi Al-Firqoh An-Najiyah (golongan/kelompok yang selamat)bahwa kelompok ini berpegang teguh dengan sesuatu yang dipijaki oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Barang siapa yang berpegang teguh dengan hal itu, maka ia –dengan yakin- berada di atas petunjuk dari Robb-nya…Tak ragu lagi bahwa penamaan yang jelas, gamblang, membedakan lagi terang kalau kita katakan, "Aku adalah seorang muslim berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, serta manhaj As-Salaf Ash-Sholih"; yaitu Anda katakan dengan ringkas, (" Aku adalah salafiy ")". [Lihat Majalah Al-Asholah (edisi ke-9/15 Sya'ban 1416 H)dan Irsyad Al-Bariyyah (hal.20-21) karya Syaikh Hasan bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy]
  • Tapi yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Utsaimin memaksudkan dengan Salafiyyun disini adalah hizbiyyun, dan ahli bid’ah yang mengaku-aku sebagai salafiy . Apa yang menguatkannya ? Jawab: Ucapan beliau di dalam fatwa di atas yang berbunyi, "Tidak diragukan lagi bahwa tugas wajib seluruh kaum muslimin adalah menganut madzhab generasi salaf, bukan bergabung kepada hizb tertentu yang disebut Salafiyyun. Umat Islam menganut madzhab Salafus Shalih, bukan menganut kelompok yang disebut Salafiyyun. Kenapa? Karena disana ada jalan salaf, dan disana ada hizb yang disebut As-Salafiyyun, yang harus dianut adalah mengikuti jalan generasi salaf". [Lihat BSDS(hal.15)]
  • Tidak mungkin beliau -rahimahullah- melarang kita menisbahkan diri kepada salaf dengan menyebut diri dengan Salafiyyun, sebab beliau adalah orang yang paling paham bahwa Salafiyyun artinya: orang-orang yang menisbahkan diri dalam hal aqidah, ibadah dan suluk kepada generasi salaf; orang-orang yang mau mengikuti Islam yang shohih dan kaffah sebagaimana yang pernah diamalkan dan diyakini oleh generasi salaf. Namun yang beliau larang untuk diikuti adalah para hizbiyyun alias salafiyyun gadunganyang mengaku dan berkedok serta berlindung dengan baju Salafiyyah atau Salafiyyun secara dusta dan zholim !! Fa’tabiruu ya ulil albab.
Jadi, pengakuan seseorang sebagai salafiy bukanlah merupakan bentuk tahazzub (pengelompokan diri) yang tercela alias hizbiyyah. Tapi ia adalah wujud Islam murni yang dahulu diyakini dan diamalkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para salaf sebagaimana akan datang penjelasannya
============
Footnote
=============
[1] Kalau prakteknya sesuai pengakuan lisannya –sebagaimana pada salafiyyun-, maka tentunya boleh. Sebaliknya, ya pikir sendiri.
[2] Padahal Wahdah Islamiyah sendiri telah telah melakukan tashnif (pengelompokan dan penggolongan) terhadap salafiyyun. Karenanya, mereka membagi salafiyyun secara batil menjadi dua: Salafi Yamani, dan Salafi Haraki !!
[3] Diantara orang yang menganggap tidak bolehnya menggunakan istilah salafiy atau atsariy adalah seorang yang melantik dan men-tazkiyah dirinya sebagai "Pengamat Dakwah", ia dilahirkan dengan Muhammad Ihsan Zainuddin, dan Penulis majhul risalah "Silsilah Pembelaan Ulama dan Du’at". Demikian pula jama’ah yang ia bela, yakni Wahdah Islamiyah juga berpandangan sama. [LihatGerakan Salafi Modern di Indonesia, oleh Muhammad Ihsan Zainuddin. Tulisan ini dimuat di website resmi WI]
[4] Benar sekali apa yang dinyatakan oleh beliau !! Tak mungkin Ahlus Sunnah (baca: Salafiyyun) akan bergabung dengan Khawarij, yaitu orang-orang senang memberontak kepada pemerintahnya, baik berupa demo, celaan terhadap pemerintah, perlawanan bersenjata di hadapan penguasa. Tak mungkin Salafiyyun akan bersatu dengan Tabligh yang gandrung sufiyyah, atau HTI, YWI, At-Turots dan IM yang senang mencela pemerintah, dan mendemo mereka.
[5] Direkam dalam sebuah kaset ketika beliau menyampaikan ceramah di Tho’if, tertanggal 16/1/1413 H.
[6] Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan semua yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan kemampuan mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafi, yah harus beramal. Memang harus beramal sesuai tuntutan manhaj dan aqidah salaf. Siapa yang tak beramal, kalian wahai hizbiyyun, atau kah salafiyyun yang difitnah??Nampaknya Penulis buta karena sikap salafiyyun yang selalu mengingkari dan menasihati ummat dari bahaya penyimpangan para ahli bid’ah khususnya, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, dan Salman, Cs. Apakah mengingkari kemungkaran dianggap dosa, dan kejahatan salafiyyun ??! Sebagaimana yang dikatakan oleh Penulis dalam BSDS (hal.75)
[7] Faedah : Jika dikatakan al-ahwa’, maka yang dimaksud adalah bid’ah. Karenanya, ahli bid’ah biasa disebut ahlul ahwa’.
[8] Wahai Penulis dan orang-orang yang tertipu dengannya, ketika Syaikh Bakr menganjurkan kita jadi salafi, berarti disana ada kelompok lain yang bukan salafi. Nah, apakah Syaikh Bakr dalam kondisi seperti ini tidak dikatakan men-tashnif !! Fa’tabiru ya ulil abshor
[9] Ketika ulama-ulama itu menggunakan istilah As-Salafiy atau Al-Atsariy, maka tak ada diantara mereka yang menyalahkannya. Bahkan istilah itu terus digunakan sampai zaman Al-Imam Adz-Dzahabi dan seterusnya. Tapi anehnya, muncul sekelompok manusia yang mengusung pemikiran ganjil mengingkari pemakaian istilah itu, walaupun digunakan dengan benar.
[10] Lihat Fathul Mughits (1/6)
[11] Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/39), cet. Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah !
[12] Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits ke-28)
[13] Semisal Al-Ikhwanul Muslimin, dan semodelnya, serta sebagian ahli bid’ah lainnya.
[14] Ucapan At-Tajammu’ Al-Islamiy As-Salafiy (Perkumpulan Islamiy Salafiy) ini dimuat olehMajalah Al-Furqon dalam rubrik Al-Furqon Al-Mahalli !! Ini menunjukkan penyimpangan manhaj Ihya’ At-Turots Al-Islamiy, sebab dalam rubrik itu mereka gunakan untuk menasihati pemerintah, menyebutkan aibnya, menjelekkan pemerintah Kuwait, tempat terbitnya Majalah Al-Furqon. Apakah ini manhaj salaf ?!, bukan ini adalah manhaj Khawarij !! Selain itu, kami pernah membaca kurang lebih 10 atau 11 Majalah Al-Furqon terbitan Ihya’ At-Turots Kuwait, maka kami tak dapati dari majalah-majalah itu selain celaan, dan "nasihat" kepada pemerintah Kuwait di depan dalam rubrikAl-Furqon Al-Mahalli. Inikah jalan salaf?!
[15] Adapun yang dituduhkan oleh WI bahwa salafiyyun pernah demonstrasi di Senayan, ketika masa Laskar Jihad, maka ini kami jawab:
  • Tidak semua salafiyyun ketika itu ikut, bahkan ada yang mengingkarinya, sebab mereka tahu bahwa itu adalah kemungkaran yang menyalahi manhaj salaf. Alhamdulillah, Penulis diantara yang tak setuju dan tak hadir sebagaimana halnya ustadz-ustadz lain, seperti Al-Ustadz Ibnu Yunus, Al-Ustadz Mustamin, dan lainnya.
  • Para ustadz yang sempat terjatuh dalam kesalahan itu telah rujuk dan bertobat. Sedang ini adalah salafiyyun, saat salah dan sadar, mereka segera rujuk.
  • Rujuknya para salafiyyun telah dipublikasikan lewat internet, buku terjemahan, dan majelis-majelis mereka. Walillahilhamdu.
  • Demikian pula semua penyelisihan dalam peristiwa Ambon mereka telah rujuk darinya.
[16] Tentang hukum demonstrasi, Anda bisa lihat pada pembahasan sebelum ketika kami membantah ceramah Al-Ustadz Jahada Mangka, Lc., dan tulisan Al-Ustadz Abul Miqdad Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. Yang pernah dimuat di majalah Islamy dengan judul “Fenomena Tashnif Di Tengah Para Pejuang Da’wah".
[17] Seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh dan pemuka Wahdah Islamiyah saat terjadinya PILGUB di Sulsel. Terlibatnya mereka sebagai Tim Sukses dalam acara pesta demokrasi telah mengambil andil dalam memecah belah umat, bahkan itu merupakan bentuk ketidaktaatan kepada pemerintah yang menjabat saat itu. Padahal andai kita boleh masuk dalam pemilu, maka sebenarnya kita harus memilih dan mempertahankan pemerintah yang berkuasa, dalam hal itu GUBERNUR yang menjabat, sebagai bentuk ketaatan kita kepada pemerintah muslim. لكن اجعل لعل عند الثريا
[18] HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2509, 3451, & 6065), Muslim dalam Shohih-nya (2533)
Sumber: almakassari.com