Facebook

Sabtu, 28 April 2012

Berkenalan dengan Suku Mandar

Rumah adat Mandar, disebut dengan nama "Boyang"
Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya.

Perahu Sandeq, Perahu bercadik khas Mandar
Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membangun identitasnya. Mencari penghidupan di laut (sebagai nelayan) bukanlah pekerjaan sembarangan bagi orang Mandar. Mereka tahu betul bagaimana beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di laut. Oleh karenanya, benar apa yang dikatakan Chistian Pelras dalam bukunya yang berjudul ”Manusia Bugis” (2006), bahwa orang-orang Mandar merupakan pelaut ulung. Mereka sulit hilang dan tersesat di lautan.

Interaksi masyarakat Mandar dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu: berlayar (paissangang asumombalang), kelautan (paissangang aposasiang), keperahuan (paissangang paalopiang), dan kegaiban (paissangang). Pengejawantahan dari pengetahuan tersebut di antaranya adalah: rumpon atau roppong dan Perahu Sandeq. Rumpon merupakan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang diciptakan oleh para pelaut Mandar. Perangkap ini terbuat dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut. Sedangkan Perahu Sandeq merupakan perahu layar bercadik yang khas Mandar, ramah lingkungan, dan tercepat di kawasan Austronesia.

Hati-hati dari Teman yang Buruk!

Para pembaca, rahimakumullah, sudah merupakan sunnatullah (ketentuan Allah) bahwa manusia diciptakan dalam keadaan ia butuh kepada yang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa ada yang menyertainya dalam kehidupannya.

Islam dengan kesempurnaannya, telah mengatur tata cara dan adab-adab dalam berteman, karena seorang teman sangat berpengaruh terhadap temannya. Dengan bahasa lain, baik buruknya seseorang sangat bergantung pada teman dekatnya. Oleh karena itu, Islam memerintahkan kaum muslimin agar memilih teman yang baik. Dengan berteman dengan orang yang baik, sedikit banyak ia akan terpengaruh dengan kebaikan temannya. Sebaliknya, Islam melarang untuk berteman dengan orang yang jelek.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

« مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً »

“Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya, engkau dapati darinya aroma harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh, dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi berterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.

Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zhalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

Dan (ingatlah) hari ketika itu orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai, kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul! Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkanku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)

‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:

عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ

فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِي 

إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ

وَلاَ تَصْحَبِ اْلأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya

Karena setiap teman (cenderung) meniru temannya

Bila engkau berada pada suatu kaum, maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka

Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina, niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina

Oleh karenanya, perhatikan dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.

Dampak Teman yang Buruk

Ingatlah! Berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya, akan memberikan banyak dampak yang jelek. Diantara yang dapat disebutkan di sini:

1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan Hari Berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang-belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan?” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?” Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku (Allah), pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)

Dengarkanlah kisah Abu Thalib yang wafat di atas kekafiran, karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, “Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallaah. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya untuk melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik (artinya):

Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama. (An-Nisa`:89)

3. Tabiat manusia, mudah terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya, dan juga menurut jalan, serta perilaku temannya. Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaqnya, maka kita jadikan ia sebagai teman; dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru, dan persahabatan itu akan berpengaruh, baik ataupun buruk. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Az-Zuhd, bab ke-45)

Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

« الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ »

Seseorang itu menurut agama teman dekat/shahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat. (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Shahih, lihat Ash-Shahihah no. 927)

4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat, sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.

5. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudharatkanmu.

6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan, sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu, dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurang-ngurangi dalam ketaatan.

7. Berteman dengan orang yang jelek, dapat menyebabkanmu terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih, sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.

8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat, seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

« مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُومُونَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلاَّ قَامُوا عَنْ مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً »

Tidak ada suatu kaum yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majelis tersebut, melainkan mereka akan bangkit dari semisal bangkai keledai[1] dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka. (H.R. Abu Dawud. Shahih, lihat Ash-Shahihah no. 77)

Penutup

Demikian… Semoga ini menjadi peringatan dan semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa berteman dengan orang-orang yang baik agamanya, serta menjauhkan kita dari teman-teman yang jelek. Amin Yaa Mujibas Sa`ilin…

Wallahu a’lam bishshawab.

(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari Kitab Al-Mukhtar lil Hadits fii Syahri Ramadhan, hal. 95-99)

(Disalin dengan sedikit perubahan dan tambahan dari artikel dengan judul yang sama dalam majalah Asy Syariah Vol. IV/No. 43/1429 H/2008)

Source: http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/04/02/hati-hati-dari-teman-yang-buruk/#more-794

Mari, Shalat Berjama’ah!

Para pembaca rahimakumulloh, shalat lima waktu merupakan salah satu syi’ar Islam yang sangat agung lagi mulia. Bahkan termasuk salah satu rukun dari rukun Islam yang lima. Begitu tinggi kedudukan shalat dalam Islam sehingga ketika Allah ‘azza wa jalla menurunkan perintah shalat tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Turunnya perintah shalat lima waktu tidak melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salaam, akan tetapi disampaikan secara langsung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Sidratil Muntaha dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Semua ini menunjukkan tingginya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam.

Para pembaca rahimakumulloh, bagi kita kaum lelaki diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, bahkan perintah agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya):

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Banyak dari kalangan para ulama yang berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Saya tidak memberi keringanan bagi orang yang mampu untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah untuk meninggalkannya tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnul Mundzir.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Al-Imam As-Sa’di rahimahulloh juga mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas: “Maksudnya: Shalatlah bersama orang-orang yang shalat, maka di dalam ayat ini terkandung perintah shalat dengan berjama’ah dan wajibnya.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Para pembaca rahimakumulloh, terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum shalat berjama’ah, yang penting untuk dipahami adalah bahwa perintah untuk melaksanakan shalat dengan berjama’ah adalah langsung dari Allah ‘azza wa jalla dan juga telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta kaum kaum muslimin yang mengikuti jejak mereka sampai masa kini.

Para ulama yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan) mereka tidak pernah meninggalkannya tanpa ‘udzur dan tetap melaksanakannya secara berjama’ah, karena mereka paham bahwa hukum sunnah untuk dilaksanakan bukan untuk ditinggalkan apalagi sunnah mu’akkadah. Bahkan yang berpendapat sunnah mu’akkadah juga menyatakan: “Barangsiapa yang terbiasa meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at), maka wajib baginya untuk dikenai hukuman.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi)

Oleh karena itu, mari! kita tingkatkan semangat untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, karena itu merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita bisa meraih keutamaan-keutamannya dan terhindar dari ancaman-ancaman bagi yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur.

Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di Masjid

Berikut ini beberapa keutamaan bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah lima waktu di masjid, diantaranya:

1. Mendapat naungan dari Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ …

“Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid’ dalam hadits di atas adalah seorang muslim yang sangat cinta terhadap masjid-masjid dan senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya. (Lihat Al-Minhaj)

2. Mendapat jaminan dari Allah ‘azza wa jalla di dunia dan di akhirat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْحَنَّةَ

“Seseorang yang pergi ke masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah sampai Allah mewafatkannya dan memasukkannya ke dalam Al-Jannah (surga).” (H.R. Abu Dawud no. 2494)

3. Terhapusnya dosa-dosa dan terangkatnya beberapa derajat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat dengannya berapa derajat? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan susah (sulit), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, karena demikian itulah yang dinamakan Ribath.” (H.R. Muslim no. 251)

4. Mendapat balasan seperti haji

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ المُحْرِمِ

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang berihram.” (H.R. Abu Dawud no. 554)

5. Mendapat cahaya sempurna pada hari kiamat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (H.R. Abu Dawud no. 561)

6. Disediakan baginya Al-Jannah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَدَا إِِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي اْلجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ

“Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi atau petang, Allah ‘azza wa jalla akan menyediakan tempat baginya di Al-Jannah (Surga, red) setiap ia pergi di waktu pagi maupun petang.” (Muttafaqun ‘alaihi)

7. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

“Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan memperoleh dua puluh lima derajat (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh)”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Ancaman Terhadap Orang Yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya mengancam orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dijadikan dalil bagi yang berpendapat wajibnya shalat berjama’ah. Diantara ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

1. Hatinya tertutup dari rahmat Allah ‘azza wa jalla

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah atau (jika tidak) pasti Allah ‘azza wa jalla benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai.” (H.R. Ibnu Majah no. 794)

2. Enggan shalat berjama’ah menyerupai perbuatan orang-orang munafik

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa diantara sifat-sifat orang munafik adalah enggan melaksanakan shalat berjama’ah, sebagaimana dalam sabdanya:

“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh, red) dan isya’.” (H.R. Al-Bukhari no. 657)

3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjama’ah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintahkan untuk dikumandangkan adzan, lalu aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (H.R. Al-Bukhari no. 644)

Begitu kerasnya ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang enggan melaksanakan shalat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim tidak menghadiri shalat berjama’ah lima waktu di masjid.

Para pembaca rahimakumulloh, ketahuilah bahwa yang diperintahkan untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki saja. Sehingga tidak selayaknya bagi seorang muslim laki-laki yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla meremehkan perihal shalat berjama’ah di masjid.

Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk mendatangi masjid-masjid (dalam rangka melaksanakan shalat berjama’ah), akan tetapi shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

Al-Imam Al-’Azhim Abadi rahimahulloh menjelaskan kalimat

وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌُ لَهُنَّ

“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”

Maksudnya shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik daripada shalat mereka di masjid jika mereka mengetahuinya. Namun karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka meminta untuk pergi ke masjid dan meyakini bahwa pahalanya lebih besar.

Mengapa shalat mereka di rumahnya lebih utama? Karena yang demikian lebih aman dari fitnah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud)

Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati saudara-saudara kita yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh saudara-saudara kita yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Wallahu a’lam bish shawab.

Source: http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/05/09/mari-shalat-berjama’ah/#more-792

Membalas Kebaikan Orang Lain

Para pembaca rahimakumullah, berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkarinya…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya.

Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.

Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)

Berbalas budi -di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat- adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi

Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.

Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pmberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib no. 963)

Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.

Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya,

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” ia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2035, cet. Al-Ma’arif)

Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak

Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Subhanallahu wa Ta’ala jika belum berterima kasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)

Hadits ini mengandung dua pengertian:

1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterima kasih terhadap kebaikan orang, biasanya ia juga mengingkari nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan tidak mensyukuri-Nya.

2. Allah Subhanallahu wa Ta’ala tidak menerima syukur hamba kepada-Nya apabila hamba tersebut tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.

Ini adalah makna ucapan Al-Imam Al-Khatthabi v seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tak terbilang?! Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18)

Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya

Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)

Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mempu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.

Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterima kasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterima kasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, ia akan diancam dengan api neraka.

Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampunan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala), karena aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”

Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)

Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya.

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Terkadang aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas diketahui bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan pergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.

Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Shahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu -yang termasuk orang Anshar-, beliau memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau lebih tua darinya. Anas radhiyallahu ‘anhu menegur Jarir radhiyallahu ‘anhu supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radhiyallahu ‘anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ia (Jarir radhiyallahu ‘anhu) bersumpah akan memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)

Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.

Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi y

Disalin dari artikel dengan judul yang sama dalam majalah Asy-Syari’ah No. 66/VI/1431 H/2010 disertai sedikit perubahan redaksi.

Source: http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/05/09/membalas-kebaikan-orang-lain/#more-790

Peringatan Fadhilatus Syaikh Usamah Al ‘Utaiby Hafidzahullah Tentang Bahaya Facebook

Bismillahirrahmanirrohim Ini adalah pertanyaan tentang bergabung dalam facebook, yang dijawab oleh Fadhilatus Syaikh Usamah Al ‘Utaiby –semoga Allah senantiasa menjaga beliau – :

Kontek pertanyaan : Al Akh sedang menanyakan tentang bergabung dengan jaringan Facebook untuk berdakwah (menyeru ) kepada Al Haq ( kebenaran) Demi Allah Facebook sebagaimana telah diketahui bahwa ia menjadi bahan kontroversi, seperti yang dikatakan dan menjadi tanda tanya seputar itu, dan yang nampak adalah bahwa ia merupakan situs mata-mata untuk memikat banyak para pemuda, dan untuk mengetahui rahasia orang banyak, dan membantu dan mengarahkan sebagian orang-orang muda kepada berbagai fitnah, seperti yang terjadi pada berbagai demonstrasi di Mesir.
 Ini adalah Situs yang dipolitisir dan dikatakan bahwa intelijen yang ada di baliknya adalah intelijen kekafirannya orang-orang kafir , karena itu saya menduga Mossad adalah kepanjangan tangan didalamnya. sehingga saya memperingatkan Anda semua tentang situs ini. Walaupun disana terdapat kolom-kolom atau halaman ikhwah salafiyyin untuk menyebarkan kebenaran dan petunjuk disana, maka saya katakan:
 Ya, jika hal ini ia melakukan untuk meminimalisir kejelekan, maka insyaAllah tidak mengapa hal ini apabila ia menginginkan untuk memasukkan dakwah dan ta’lim. Adapun kalau masuknya dia untuk tujuan bergabung dan untuk saling berkenalan maka hal ini tidak diperbolehkan.
 Maka masuk ke Facebook bisa jadi untuk tujuan berurusan dengan program untuk berkenalan dengan orang lain atau tujuan untuk digunakan sebagai program misalnya, Messenger dan program Alpajulx dan lain-lain untuk berkenalan dan mempelajari orang lain, maka ini tidak boleh, karena situs ini berbahaya dan didalamnya terdapat berbagai fitnah, adapun masuk padanya untuk tujuan dakwah untuk tujuan memberi nasehat orang yang masuk didalamnya untuk meninggalkannya dan agar ia bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam segala urusannya, hal ini Insya Allah tidak mengapa dengan senantiasa selalu memperingatkan dari situs ini, Wallahu a’lam.
 Transkrip : Ummu Dua’ assalafiyyah Alfalestiniyyah Diterjemahkan oleh Al Ustadz Muhammad Rifa’I dari :

http://albaidha.net/vb/showthread.php?t=35605

Teks Asli :

بسم الله الرحمن الرحيم هذا سؤال عن الاشتراك في الفيس بوك يجيب عنه فضيلة الشيخ أسامة العتيبي حفظه الله تعالى. نص السؤال: يسأل الأخ حول الاشتراك في موقع الفيس بوك للدعوة إلى الحق؟ والله الفيس بوك كما هو معلوم أنه مثير للجدل كما يقال وحوله علامات استفهام، ويظهر أنه موقع جاسوسي لأجل احتواء كثير من الشباب، ومعرفة أسرار كثير من الناس، واستخدام وتوجيه بعض الشباب إلى الفتن كما حصل في المظاهرات في مصر، فهذا موقع مُسَيّس وقيل أن الاستخبارات خلفه الاستخبارات الكفرية الكافرة، لذلك وأظن الموساد هو اليد الطولى فيه؛ لذلك أنا أحذركم من هذا الموقع. وإن كان هناك صفحات لإخوة سلفيين ينشرون الحق والهُدى في ذلك فأنا أقول: نعم لو فعل هذا من باب تخفيف الشر فإن شاء الله لا بأس به هذا إذا كان يريد أن يدخل للدعوة والتعليم، أما دخوله لأجل الاشتراك والتعارف فهذا لا يجوز. فدخول الفيس بوك إما أن يكون لأجل التعامل مع البرنامج لأجل التعارف مع الناس ولأجل استخدامه كبرامج مثلاً الماسنجر وبرنامج البايولكس وغيرها لأجل التعارف ومعرفة الناس فهذا لا يجوز؛
 لأن الموقع خطير وفيه فتن، أما دخوله لأجل الدعوة لأجل نصيحة من دخل فيه بأن يتركه وبأن يتقي الله عز وجل في بقية أموره هذا إن شاء الله لا بأس به مع الاستمرار الدائم في التحذير من هذا الموقع والله أعلم.
 تفريغ أم دعاء السلفية الفلسطينية

Sumber: http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1989

Jumat, 20 April 2012

Usai Menyaksikan Jenazah Raja Fahd, Seorang Pendeta Italia Masuk Islam

Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia. Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat.Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.
Image
Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.
Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.
Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.
Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.” Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”
Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta.

Ketika Ilmu dan Harta Bermanfa’at

بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata Alloh ta’ala:

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114)

حدثنا الحميدي قال: حدثنا سفيان قال: حدثني إسماعيل بن أبي خالد على غير ما حدثناه الزهري قال: سمعت قيس بن أبي حازم قال: سمعت عبد الله بن مسعود قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا فسلط على هلكته في الحق، ورجل آتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها).

(Dengan sanadnya) ‘Abdullah bin Mas’ud rodhiallohu ‘anhu berkata, “Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak boleh iri hati kecuali pada dua hal, yaitu seorang laki-laki yang diberi harta oleh Allah lalu harta itu dikuasakan penggunaannya dalam kebenaran, dan seorang laki-laki diberi hikmah oleh Allah di mana ia memutuskan perkara dan mengajar dengannya. (Shohih Al-Bukhory no. 73, 1343، 6722، 6886,7022)

Ibnu Baththol (W449 H) رحمه الله تعالى berkata: “Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hasad yang tercela.” Ibnu Baththol mengatakan pula, “Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“ (Syarh Al Bukhori, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/153)

Selasa, 10 April 2012

Hukum Mengkonsumsi Makanan yang Mengandung Sedikit Alkohol

Bismillah,
Bagaimana hukum mengkonsumsi makanan yang mengandung sedikit alkohol, misalnya tapai dan brem?
Jazakumullahu khairan.

Jawaban
Dalam hal yang ditanyakan di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah memberi suatu ketentuan umum dalam sabdanya,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Tiap sesuatu yang memabukkan adalah khamar dan tiap sesuatu yang memabukkan adalah haram.” [1]
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Segala sesuatu yang memabukkan (bila) banyak, (juga) adalah haram (bila) sedikit.”[2]
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa makanan atau minuman yang memabukkan adalah haram. Bila telah mencapai kadar memabukkan, suatu makanan atau minuman tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan oleh siapapun, walaupun sedikit. Namun, bila suatu makanan atau minuman tidak memabukkan saat dikonsumsi dalam jumlah banyak, hal tersebut tidaklah mengapa.
Oleh karena itu, mengukur kebolehan memakan dua jenis makanan yang disebutkan dalam pertanyaan adalah dengan meneliti sebagai berikut.
Apabila memabukkan bila dikonsumsi, makanan tersebut tidak boleh dikonsumsi karena tergolong sebagai khamar yang diharamkan.
Apabila sama sekali tidak memabukkan bila dikonsumsi dalam jumlah banyak, makanan tersebut boleh dan halal dikonsumsi, walaupun mengandung sedikit kadar alkohol.
Al-Lajnah Ad-Da`imah, yang Syaikh Ibnu Barahimahullah ketuai, pernah ditanya tentang hukum mengonsumsi cuka yang mengandung kadar alkohol sebanyak 6%. Setelah menyebutkan hadits kedua di atas, mereka menjawab, “Apabila cuka tersebut memabukkan (jika dikonsumsi) dengan (kadar) yang banyak, (mengonsumsinya dengan kadar) yang sedikit (juga) adalah haram, dan hukumnya adalah hukum khamar. (Adapun) kalau tidak memabukkan jika dikonsumsi dalam (kadar) yang banyak, tidak ada larangan dalam hal menjual, membeli, dan meminumnya.”[3]
Wallahu A’lam.



[1] Diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dan selainnya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma.

Senin, 09 April 2012

Hukum Imunisasi

Pertanyaan:
Bagaimana hukum vaksinasi atau imunisasi untuk anak-anak, apakah halal atau haram? Karena kami bingung.

Jawaban:
Untuk pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:
Pertama, pengobatan untuk mencegah terjadinya penyakit adalah hal yang diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barang siapa yang makan pagi dengan tujuh butir kurma ‘Ajwah, dia tidak akan dibahayakan oleh racun dan sihir pada hari itu.” (Hadits Sa’d bin Abi Waqqashradhiyallahu ‘anhu  riwayat Al-Bukhary dan Muslim)
Dari hadits di atas, telah jelas bahwa pencegahan terhadap bahaya racun dan sihir adalah dengan memakan kurma ‘Ajwah.
Kedua, penggunaan vaksinasi dan imunisasi, berupa zat yang bermanfaat dan halal, adalah hal yang diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil umum tentang pembolehan untuk berobat.
Ketiga, sebagian efek sementara yang timbul akibat vaksinasi dan imunisasi, berupa panas dan semisalnya adalah hal yang tidak dipermasalahkan selama ada manfaat besar yang terkandung pada vaksinasi dan imunisasi itu. Hal ini sebagaimana khitan pada seseorang, yang membahayakan lantaran rasa sakit dalam proses khitan itu, tetapi tidak dipermasalahkan karena manfaat khitan yang sangat besar.
Keempat, kalau terbukti, berdasarkan ilmu kedokteran, bahwa suatu vaksinasi atau imunisasi memberi bahaya yang lebih besar terhadap anak, seseorang tidak diperbolehkan untuk melakukannya karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqarah: 195]
Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak (diperbolehkan) ada bahaya dan pembahayaan.” (Diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa` Al-Ghalil no. 896)
Wallahu A’lam.
source: www.dzulqarnain.net

Bagaimana hukum USG?

Apakah ada tuntunan dari Rasulullah guna mengetahui bahwa anak yang lahir nanti adalah perempuan atau laki-laki, sebagaimana yang dilakukan para dokter dengan cara USG?
Mohon jawabannya. Jazakallahu khairan wa barakallahu fikum.
Jawaban
Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:
Pertama, keberadaan janin dalam perut ibu, dalam hal rezeki, ajal, keberuntungan, dan kerugian janin tersebut, adalah ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh AllahTa’ala. Demikian pula jenis kelamin janin sebelum berbentuk dengan jelas. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya pengetahuan tentang hari kiamat; Dia pulalah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui segala sesuatu yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa-apa yang akan dia usahakan besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui bumi tempat dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[Luqman: 34]
Kedua, kemajuan teknologi melalui USG (Ultrasonografi) untuk memantau perkembangan janin dalam perut ibu bukanlah hal yang bertentangan dengan ketentuan di atas. Penggunaan alat tersebut tidak terhitung kepada bentuk mengetahui ilmu ghaib, yang merupakan kekhususan Allah Ta’ala, karena tidak ada yang menentukan jenis kelamin janin, kecuali Allah Ta’ala, sedangkan USG tidak akan mampu menyingkap jenis kelamin tersebut sebelum Allah Ta’ala menciptakan bentuk janin tersebut sebagai laki-laki atau perempuan. Selain itu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tidak mungkin menembus kegelapan dalam perut ibu melalui penggunaan suatu alat.
Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum penggunaan USG ini adalah boleh, tetapi sepanjang aurat si perempuan (yang di-USG) tidak tersingkap. Menyingkap aurat adalah hal yang diharamkan sebagaimana yang telah dimaklumi, dan tidak diperbolehkan, kecuali dalam kondisi darurat. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menggunakan USG bila bukan dalam kondisi darurat, seperti hanya untuk mengetahui jenis kelamin janin. Adapun kalau seseorang perlu menggunakan USG pada kondisi darurat, seperti mengontrol kesehatan janin, kemudian kesempatan itu juga digunakan untuk mengetahui jenis kelamin janin, hal tersebut tidaklah mengapa, insya Allah.Wallahu A’lam.
Source: www.dzulqarnain.net