Facebook

Selasa, 06 September 2011

Film Islami, Virus Berkedok Agama

Tak henti-hentinya dan tak lelah-lelahnya, musuh-musuh Islam terus berjuang untuk memerangi kaum muslimin, baik berupa perang fisik seperti serangan mereka kepada saudara-saudara kita di Maluku beberapa tahun lalu, Palesthina, Afghanistan, Iraq, Libanon dan lain sebagainya dengan penuh kebiadaban dan kebrutalan –semoga Allah menghancurkan mereka semua-.

Dan peperangan jenis lainnya yang mereka selalu eksis melancarkannya adalah ghozwul fikr (perang pemikiran) berupa virus syubhat dan syahwat.

Contoh virus syubhat dan syahwat dapat kita temukan secara mudah dalam tubuh Jaringan Iblis Liberal yang tanpa malu menyebarkan kekufuran seperti menolak hukum Allah, menghujat sunnah Nabi, membela Nabi palsu dan sebagainya.



Adapun contoh syahwat seperti pemikiran mereka tentang kebebasan wanita, anti jilbab, membela pornografi/pornoaksi dan lain sebagainya. Maka sadarlah dan waspadalah wahai kaum muslimin dari makar mereka!!

Di antara virus syubhat yang berbahaya adalah film-film berkedok agama yang sekarang laris manis di dunia Televisi, salah satunya adalah film para Nabi dan sahabat yang biasanya muncul pada bulan-bulan Mulia. Bagaimana pandangan Islam tentangnya? Marilah kita ikuti kajian berikut.

Sejarah Film Nabi

Hampir tak bisa dipungkiri lagi bahwa peletak dasar pertama dunia film adalah kaum Yahudi dan Nashrani. Nah, tatkala mereka melihat celah keuntungan yang besar dalam dunia film berbau agama, maka mereka mengerahkan segala upaya untuk membuat berbagai acara yang berbau agama, terutama kisah-kisah para Nabi yang tercatat dalam Taurat dan Injil. Oleh karenanya, kisah Nabi Musa dan Isa biasanya mendapatkan porsi yang lebih banyak dari lainnya[1].

Adapun film tentang Nabi Muhammad, sampai detik ini belum diketahui adanya. Hanya saja, pada tahun 1926 M seorang sutradara bernama Yusuf Wahbi pernah berencana menfilmkan Nabi Muhammad yang akan dilakoni oleh salah seorang berbangsa Turki bernama Widad Arfi, tetapi ide ini ditentang secara keras oleh Azhar, bahkan sang pemain diancam akan dicabut identitas kenegaraannya bila dia tetap nekat melanjutkan programnya.

Saat itu, belum ada yang mengetahui kalau ternyata Widad Arfi adalah seorang yang beragama Yahudi sebagaimana terbukti setelah itu. Namun al-hamdulillah, ide tersebut tidak berjalan dan tidak diketahui kelanjutannya.[2]

Setelah itu, sebuah produsen film Arab mengeluarkan sebuah film berjudul “Muhammad Rasulullah” yang dilakoni oleh beberapa aktor dari berbagai bangsa; Libia, Kuwait, Maghrib dan Bahrain. Film inipun direncanakan akan keluar dengan dua puluh bahasa Negara dunia, termasuk bahasa Arab. Namun, film inipun diingkari secara keras oleh para ulama dunia sehingga keluarlah ketetapan Para ulama dalam rapat Robithoh Alam Islami di Mekkah tentang haramnya film tersebut dan melarang peredarannya.[3]

Sorotan Sekilas

Ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan sebagai pengantar pembahasan ini:

Bila kita perhatikan secara umum, dunia film adalah dunia hiburan. Jadi, biasanya tujuan pemirsa menyaksikan film adalah untuk sekedar hiburan, mengisi waktu luang dan senda gurau bukan untuk mengambil pelajaran.

Bila kita perhatikan para pemain film, kebanyakan mereka bukanlah orang-orang yang shalih, bertaqwa dan berakhlak baik. Jika seorang diantara mereka berperan sebagai orang shalih, itu hanyalah karena pekerjaan dan untuk mendapatkan uang, setelah itu dia akan kembali kepada wajah aslinya.

Hampir tidak ada perselisihan pendapat bahwa tujuan utama dunia film adalah untuk meraup uang dengan memenuhi kepuasaan para pemirsa. Kalau demikian, maka mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyenangkan pemirsa.

Biasanya, mayoritas sejarawan kurang perhatian tentang keotentikan sejarah, apalagi sebagian pengekor hawa nasfu yang ingin menyebarkan virus dalam sejarah dengan menyebarkan kisah-kisah dusta dan merendahkan sejarah yang shohih[4].

Dampak Negatif Film Nabi

Tidak diragukan lagi bahwa film Nabi siapapun hukumnya adalah haram. Apapun alasan masalahatnya, harus diakui bahwa kerusakannya jauh lebih besar dan banyak, di antaranya:

Film Nabi akan menjurus kepada kedustaan terhadap mereka, sebab bagaimanapun jelinya maka pasti akan ada tambahan dan pengurangan. Hal ini berarti menjurus kepada kedustaan kepada mereka yang merupakan kedustaan kepada Allah.

Anggaplah bahwa film akan menampilkan kisah-kisah yang shohih saja dan bersih dari kedustaan, lantas bagaimana cara menfilmkan Nabi Adam dan Hawa yang memakan dari pohon? Pohon apakah itu? Bagaimana menfilmkan Nabi Musa yang sedang bermunajat kepada Allah? Bagaimana menfilmkan Nabi Yusuf ketika sedang dirayu oleh istri Raja Mesir? Bagaimana menfilmkan para Nabi yang dijuluki para kaumnya dengan gila dan penyihir?!

Film Nabi akan menjurus kepada pengkultusan kepada mereka dengan berlalunya waktu sehingga kejadian kaum Nabi Nuh dengan orang-orang shalih akan kembali berulang.

Film Nabi akan merendahkan kemulian dan kehormatan mereka, sehingga lunturlah keimanan dan penghormatan kepada mereka.

Bila kita amati para pemain yang akan berperan sebagai Nabi, kebanyakan mereka bukanlah orang yang shalih. Maka ini akan sangat merendahkan kedudukan Nabi dan ajang untuk permainan dan olok-olok.

Film Nabi akan membuka celah perdebatan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin, bahkan di kalangan sesama ahli kitab, padahal kita sangat membutuhkan keamanan dan tertutupnya pintu fitnah.

Kesimpulannya, para Nabi dan rasul adalah manusia yang terjaga dari aib dan kejelekan, sedangkan menfilmkan mereka merupakan pelecehan kepada mereka, maka marilah kita biarkan mereka tetap berwibawa dan terhormnat seperti semula.[5]

Ketetapan dan Fatwa Ulama

Para ulama masa kini telah bersepakat tentang haramnya film para Nabi, khususnya Nabi kita Muhammad. Adapun pendapat yang membolehkan dengan alasan sebagai pelajaran kepada para pemirsa maka ini adalah pendapat yang tidak dianggap. Di antaranya adalah fatwa ulama Lajnah Daimah Saudi Arabia no. 4723 Tanggal 11/7/1402 H, keputusan Majma’ Fiqih di Mekkah no. 6, keputusan Hai’ah Kibar Ulama di Thoif no. 107 Tanggal 2/11/1403, fatwa Lajnah Fatwa Mesir[6] dan lain sebagainya.

Pengganti Yang Shohih

Cukuplah bagi kita kisah-kisah Nabi yang shohih dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai pelajaran yang bermanfaat. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf: 111)”

Kesimpulan

Dengan keterangan di atas, maka dengan penuh kemantapan kita menyimpulkan haramnya film Nabi, baik dalam adegan panggung maupun film layar. Maka wajib bagi kita, khusunya kepada pemerintah untuk melarangnya secara keras. Kita memohon kepada agar menjadikan dalam hati kita pengaguangan terhadap para Nabi dan kecintaan kepada mereka.

Daftar Referensi

1. Ahkamu Fanni Tamtsil fil Fiqih Islami, karya Muhammad bin Musa ad-Daali, cet Maktabah Ar-Rusyd, KSA, cet pertama tahun 1429 H.
2. Abhas Hai’ah Kibar Ulama, kumpulan Amanah Aa’mah Li Hai’ah Kibar Ulama, cet Ri’asah A’mah lil Buhuts wal Ifta’, cet ketiga 1428 H.
[1] Shurothul Adyan fi Sinema hlm. 32.
[2] Tarikh Sinema fi Mesir hlm. 199.
[3] Fatawa Ibnu Baz 1/413.
[4] Abhats Haiah Kibar Ulama 3/294-295.
[5]Ahkam Fanni Tamtsil hlm. 181-185.
[6] Majalah Al-Azhar edisi Rojab 1374 H


Sumber: Catatan facebook Al Fawaid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar