MENGAPA MENJADI BAIK ITU SULIT ?
Bismillah,
Sering sekali kita dapati diri kita merasa berat untuk beramal kebaikan. Padahal kita telah mengetahui kebaikan amal tersebut. Dan juga sering didapati jiwa kita berat untuk meninggalkan apa yang Alloh subhanahu wata’ala larang. Padahal kita telah tahu keburukan dan bahayanya. Baik bahaya di dunia yang disegerakan ini, maupun bahaya nanti di hari akhir.
Banyak juga saudara-saudara kita yang mungkin juga termasuk kita senidiri, merasa bahwa sholat yang dilakukan tak berfaedah apa-apa baginya. Sehingga ia menyoal, bagiamana kebenaran ayat bahwa sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Nyatanya, tetap saja perbuatan keji dan mungkar dilakukan.
Sering sekali kita dapati diri kita merasa berat untuk beramal kebaikan. Padahal kita telah mengetahui kebaikan amal tersebut. Dan juga sering didapati jiwa kita berat untuk meninggalkan apa yang Alloh subhanahu wata’ala larang. Padahal kita telah tahu keburukan dan bahayanya. Baik bahaya di dunia yang disegerakan ini, maupun bahaya nanti di hari akhir.
Banyak juga saudara-saudara kita yang mungkin juga termasuk kita senidiri, merasa bahwa sholat yang dilakukan tak berfaedah apa-apa baginya. Sehingga ia menyoal, bagiamana kebenaran ayat bahwa sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Nyatanya, tetap saja perbuatan keji dan mungkar dilakukan.
Bila kita menyadari tentu kita menilai bahwa dua hal ini sangat membahayakan. Lalu bagaimana kita bisa menepisnya?
Pertama perlu diketahui,
bahwa hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Namun ia terjadi karena
adanya sebab-sebab. Diantara sebabnya ialah memperturutkan nafsu.
Tatkala seseorang tak lagi memiliki sikap menahan diri dari segala
keburukan yang membawanya menuju takwa, sehingga ia akan melihat yang
haram itu haram. Tatkala itulah ia akan mudah menuruti nafsu.
Seseorang apabila mau bercermin
meliahat dirinya sendiri, melihat bahwa dirinya bukan sekedar jasad yang
kan mati dan musnah dimakan tanah. Namun ia melhat bahwa kelak ia akan
kembali kepada Alloh azza wajalla meski selama apapun ia kan hidup di
dunia ini, tentu ia akan mampu mengalahkan nafsunya, bahkan ia akan
kuasa atas nafsunya.
Di antara sebabnya juga ialah
karena setan menjadikan kemaksiatan seperti ini dipandang remeh dan
kecil belaka oleh seseorang. Hati seseorang dibutakan oleh setan dari
bisa melihat besar dan hebatnya maksiat. Sedangkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah mengingatkan dengan sabda beliau:
“Hati-hatilah kalian dari hal
meremehkan dosa-dosa. Sungguh, permisalannya ialah seperti suatu kaum
yang mendatangi suatu tempat lalu ia ambil sedahan kayu darinya, dan
datang ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu darinya,
lalu ia datang lagi ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu
saja darinya. Lalu tak ia sangka ia telah mengumpulkan kayu bakar yang
banyak sekali yang mampu mengobarkan api yang menjilat-jilat” (Musnad
Ahmad, 6/367(3817)
Demikianlah keadaan kemaksiatan
yang diremehkan. Di mana seseorang melihatnya sangat remeh sehingga ia
tetap ada padanya. Akhirnya iapun menjadi suatu dosa di antara dosa-dosa
besar.
Oleh karenanya, sebagian ahli ilmu dari kalangan salaf kita yang sholih mengatakan:
”Sesungguhnya terus-menerus di
dalam dosa-dosa kecil menjadikannya dosa besar, dan sesungguhnya
istighfar dari dosa-dosa besarlah yang akan menghapuskannya.”
Oleh karenanya juga, kita
nasihatkan kepada diri-diri kita, segeralah muhasabah, lihatlah siapa
dirimu di hadapan Robbul ‘alamin azza wajalla Dzaz Yang Maha Besar!.
Kedua, tentunya tak
seorang msulim pun yang mengingkari kebenaran ayat al-Qur’an tentang
bahwa sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa ada yang
menyoal kebenarannya?
Masalahnya bukan pada ayatnya.
Sebab semua ayat al-Qur’an benar. Namun masalahnya ialah pada sholatnya.
Berapa banyak orang yang sholat namun tidak mendapatkan apa-apa dari
sholatnya? Berapa banyak orang yang merasa telah sholat padahal sungguh
senadainya ia tahu apa yang telah ia lakukan tidak layak disebt sholat.
Sebab ia sholat hanya gerakan-gerakan badan. Ia sholat hanya sekedar
“menyempat-nyempatkan” menunaikan kewajiban. Sementara hati, jiwa dan
kekhusyuanya entah ke mana perginya. Bagaimana sholat yang dilakukan
bermanfaat baginya?
Benarlah yang disabdakan oleh
Rosululloh shollaallohu alaihi wasallam, yang artinya: “Sungguh,
seseorang telah melakukan sholat, dan ia tidak mendapati faedah dari
sholatnya selain sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau
seperdelapannya, atau sepertujuhnya…” Perowi Hadits ini mengatakan:
“Demikian seterusnya sampai habis bilangan disebutkan oleh beliau”. (HR.
Musnad Ahmad 4/319 (18899).
Jadi bisa jadi yang tepat ialah
bukan menyoal kebenaran ayat yang pasti benar, namun tanyakan sejauh
mana sholat yang kita lakukan telah mengantarkan kita menggapai
faedah-faedahnya? Sebab berapa besar faedah sholat yang kita harapkan,
sesuai dengan sebaik apa kualitas sholat yang kita lakukan. Sesuai
sebesar apa kekhusyu’an hati kita yang kita hadirkan.
Yang penting juga, bahwa hati
akan mudah khusyu’ apabila bersih dari racun-racun yang mencemarinya.
Ialah kemaksiatan dan dosa-dosa. Bisa jadi karena hati ini belum bersih
dari noda dosa, sehingga berat diajak khusyu’ tunduk di hadapan-Nya,
meski dipaksa. Naudzubillahi min dzalik.
Allohumma, ya Alloh,
anugerahkanlah kepada hamba lisan yang banyak berdzikir, dan hati yang
khusyu’ serta doa yang Engkau kabulkan. Amin.
Sumber : http://alghoyami.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar