Facebook

Jumat, 02 September 2011

Jejak Peradaban Islam di Afrika Barat


Wilayah sub-Sahara Afrika Barat pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam. Di wilayah yang dikenal dengan sebutan Bilad al-Sudan itu sempat berdiri dinasti-dinasti Islam. Bahkan, di kawasan Afrika Barat juga pernah berdiri perguruan tinggi berkelas dunia bernama Universitas Sankore.
Prof A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West Africa, mengungkapkan, Islam mencapai wilayah Savannah (Afrika Barat) pada abad ke-8 M. “Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dya’ogo dari Kerajaan Tekur pada awal 850 M,’’ ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu.
Fakta itu terungkap dari catatan sejarawan dan penjelajah Muslim di era keemasan Islam, seperti Al-Khwarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida, Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati, Ibnu al Mukhtar, dan Abd al-Rahman al-Sa’di.
Margari Hill, sejarawan dari Stanford University, menjelaskan, Islam menyebar di Afrika Barat secara bertahap dan kompleks. Ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu adalah tahap penahanan, pembauran, dan reformasi.
Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. Pada tahap kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal. Pada tahap ketiga, Muslim Afrika ditekan melakukan reformasi untuk menyingkirkan kebiasaan mencampur tradisi lokal dan Syariah sehingga umat Islam menjalankan ajaran Islam secara benar.
Dinasti Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat. Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan Bilad al-Tekur atau “Tanah Muslim Hitam”.
Ajaran Islam, menurut Prof Rahman—mengutip catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947—masuk dan berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan.Ketika Islam telah menyebar, di Kota Timbuktu, Mali, telah berdiri sebuah perguruan tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Pada abad ke-12 , jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang.
Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.
Sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. “Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Alhasil, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Dinasti Islam DI AFRIKA BARAT
● Kerajaan Ghana (830-1235 M)
● Dinasti Za di Gao (11 M –1275 M)
● Dinasti Sayfawa (1075-1846 M)
● Kekaisaran Mali (1230-1600 M)
● Dinasti Keita (1235 –1670 M)
● Kerajaan Songhai (1340–1591 M)
● Kerajaan Bornu (1396-1893 M)
● Kerajaan Baguirmi (1522-1897 M)
● Kerajaan Dendi (1591–1901 M)
● Kesultanan Damagaram (1731–1851 M)
● Kerajaan Fouta Tooro (1776–1861 M)
● Kekhalifahan Sokoto (1804–1903 M)
● Kerajaan Toucouleur (1836–1890 M)
Kekaisaran Ghana
Salah satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian barat. Menurut Prof A Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal Mamalik.
Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan. Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri dan bendahara negara adalah umat Islam.
Al-Bakri pun melukiskan perkembangan Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. “Kota Ghana memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang pintar”.
Dinasti Za
Dinasti Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River—sekarang dikenal sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M. Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 1009-1010 M, Za Kusoy penguasa ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad ke-13 M.
Kekaisaran Mali
Menurut sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). “Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan,” ujar Hill.
Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa (1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu.
Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber, yakni masjid untuk shalat Jumat. Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu.
Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjidagung di Gao (1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja.
Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok.
Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M. Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II, menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di Brasil.
Kekaisaran Songhay
Islam mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 M. Menurut Prof Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada abad ke-13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali.
Namun, pada akhir abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476.
Sunni Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu bergembira setalah Sunni Ali meninggal.
Dinasti Asykiya
Posisinya diganti oleh Sunni Barou. Askia Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan Dinasti Askiya.
Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim. Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang melimpah.
Sultan Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore—universitas Islam pertama di Afrika Barat.
Sama seperti Mansa Musa—Sultan Mali, Askia Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada namanya.
http://senyumislam.wordpress.com/2011/08/04/jejak-peradaban-islam-di-afrika-barat/#more-372

Tidak ada komentar:

Posting Komentar