Facebook

Selasa, 06 September 2011

Berwisata Sehabis Lebaran

Biasanya musim lebaran juga identik dengan musim wisata, umumnya banyak orang ke gunung atau ke pantai. Bolehkah hal tersebut?.

Hukum asal bepergian semacam ini adalah diperbolehkan asalkan sekedar untuk refreshing agar tidak bosan menghadapi beban dan tuntutan hidup yang menumpuk. Kegiatan semacam ini tak ubahnya istirahat sebentar dari berbagai aktivitas agar jiwa dan badan kembali energik dan fresh.
Inilah maksud Syeikh Ibnu Utsaimin ketika menjelaskan firman Allah,
أَمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ

Yang artinya, “Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah” (QS an Naml:60).
Beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bolehnya jalan-jalan di taman dan mencari kesenangan dengannya karena Allah berfirman ‘kebun-kebun yang berpemandangan indah’. Seorang itu tidaklah dicela ketika mengatakan, ‘Aku akan melihat-lihat kebun dan taman yang Allah ciptakan dari air hujan yang Dia turunkan’. Kita tidak boleh mengatakan bahwa ini adalah kegiatan yang sia-sia. Jika kita tidak memberi kesempatan badan untuk refreshing maka akan ada kejemuan dengan rutinitas yang ada. Akhirnya, kita tidak bisa beraktivitas dengan baik” (Tafsir Surat an Naml, kaset no 11 side B).
Namun jika motivasi wisata atau melancong adalah karena menikmati betapa indahnya kehidupan dunia ini dan karena adanya kecenderungan hati kepada dunia serta merasakan nikmatnya hidup di dunia maka wisata dengan tujuan semacam ini itu tercela. Ini dikarenakan menganggap baik suatu yang kurang bernilai yaitu dunia dengan meninggalkan yang lebih baik yaitu akherat.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Melihat-lihat pepohonan, sungai dan bunga-bunga jika karena motivasi penilaian betapa indahnya dunia, kekuasaan dan harta benda maka ini adalah suatu yang tercela mengingat firman Allah.
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ
Yang artinya, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya” (QS Thoha:131)” [Majmu Fatawa 15/417].
Oleh karena itu, ketika seorang muslim mengadakan kegiatan wisata hendaknya dia berniat untukrefreshing, mengembalikan semangat untuk beraktivitas serta untuk memikirkan makhluk ciptaan Allah dan kemahakuasaan Allah. Sehingga benarlah firman Allah tentang orang-orang yang beriman,
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا
Yang artinya, “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (QS Ali Imron:191).
Demikian pula, seorang wisatawan muslim tidak boleh melupakan hak-hak Allah saat berwisata semisal mengerjakan shalat dan amar makruf nahi munkar.
Wisata sebagaimana di atas diperbolehkan asalkan dilakukan di negeri kaum muslimin sehingga seorang muslim memungkinkan untuk melakukan syiar agama dan menerapkan prinsip cinta dan benci karena Allah di samping tidak menjerumuskan dirinya dan keluarganya dalam kemaksiatan.

Terkait dengan situs purbakala, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.
1. Diperbolehkan mengunjungi berbagai museum untuk melihat peninggalan orang-orang terdahulu dan mengambil pelajaran dengan kesudahan hidup mereka setelah mereka diberi kesempatan hidup sekian lama masanya dan diberi kekuatan fisik yang luar biasa.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا
Yang artinya, “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS al Hajj:46).
Sedangkan mengunjungi museum karena memuliakan orang-orang kafir masa silam dan kagum dengan peradaban mereka maka ini merupakan hal yang terlarang.
2. Diperbolehkan melakukan penggalian dan penelitian situs-situs purbakala jika itu sekedar penelitian ilmiah untuk mengetahui berbagai hal sejarah negara kita di masa silam dengan catatan tidak ada unsur pengagungan terhadap situs tersebut baik situs tersebut berasal dari masa Islam ataupun masa pra-Islam.
Juga tidak diperbolehkan membangga-banggakan situs yang berasal dari zaman pra-Islam. Semisal mengatakan bahwa peninggalan tersebut menggambarkan warisan leluhur kita. Kita tidaklah memiliki peradaban kecuali Islam itu sendiri. Kita tidak memiliki kebanggaan kecuali dengan Islam.
Setelah hengkangnya para penjajah kafir dari negeri kaum muslimin, kaum muslimin tidak pernah mendapatkan serangan yang lebih hebat dibandingkan propaganda ini yang jelas-jelas bertolak belakang dengan Islam.
Kaum muslimin diikat dengan sejarah negerinya masing-masing sebelum datangnya Islam. Orang-orang Mesir diikat dengan peradaban Fir’aun, Suriah dengan Finiqiyyah dan Iraq dengan peradaban Asyuriyyah dan seterusnya.
Oleh sebab itu, para peneliti sejarah dari kalangan kaum muslimin wajib mewaspadai hal ini sehingga mereka tidak merusak keislaman mereka tanpa mereka sadari. Sehingga penggalian dan penelitian mereka tetap menjadi penelitian ilmiah yang bermanfaat.
3. Tidak boleh memberikan perhatian yang berlebihan terhadap situs-situs Islam terutama tempat-tempat bersejarah. Misal goa Hira, yang dianggap sebagai tempat kelahiran Nabi, rumah-rumah keluarga Nabi, tempat-tempat yang diyakini pernah disinggahi nabi atau seorang yang dianggap wali yang semua itu boleh jadi benar, boleh jadi pula bohong. Perhatian yang tidak wajar untuk tempat-tempat tersebut merupakan sarana terjadinya berbagai bid’ah dan kesyirikan. Orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa dan orang yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan akan ngalap berkah dengan tempat-tempat tersebut akhirnya berkeyakinan bahwa tempat-tempat tersebut bisa memberi manfaat dan mencegah bahaya dengan sendirinya.
Tidaklah berbagai bid’ah dan kemusyrikan merebak di suatu tempat kecuali disebabkan pengagungan terhadap berbagai benda atau tempat peninggalan seorang nabi atau orang shalih. Boleh jadi pengagungan tersebut berupa membangun kembali bangunan bersejarah yang sudah hancur, merenovasinya atau sekedar memperlancar transportasi menuju tempat tersebut.
Sungguh tepat apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika beliau mengetahui banyak orang yang mendatangi pohon bersejarah. Itulah pohon yang dibawahnya terjadi baiatur ridwan. Ketika ada gejala demikian, beliau memerintahkan agar pohon tersebut dipotong (Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhah dalam al Bida’ wan Nahyu ‘anha hal 42-43).
 Catatan Akhir
Sangat jelas di pantai banyak hal yang maksiat, mulai dari pakaian minim, ikhtilat wanita dan lelaki dan sebagainya, karena itu hindarilah!.

Palembang, 5 Syawal 1432 H/ 4 September 2011 Jam 00. 00.45 .WIB
Tukang Herbal, Cari Ilmu, n Advokat (0811195824)

sukpandiar idris advokat assalafy.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar