Facebook

Kamis, 01 September 2011

Fatwa-Fatwa Syaikh Yahya -hafidzohulloh- Atas Pertanyaan Mancanegara


Dikumpulkan oleh :
Sebagian Tholibul Ilmi Darul Hadits
Dammaj
Rekomendasi
Syaikh Yahya -Hafidzahullah-
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله حمدا كثيرا مباركا فيه، وأشهد أن لا إله الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده ورسوله ، أما بعد :
فقد قام بعض إخواننا طلبة العلم الإندونيسيين الأفاضل حفظهم الله ؛ بجمع الأسئلة الواردة من دول شتى حيث ولهم القسط الأكبر من ذلك ، ثم قاموا بترجمتا لقصد تفهيم من يريدون إيصالها إليه فى بلادهم ، فأذنت لهم بذلك ، وأسأل الله أن يجزيهم خيرا.
كتبه
يحيى بن علي الحجوري
فى الثاني من رجب عام 1427 هـ.
بسم الله الرحمن الرحيم
MUQODDIMAH
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه , أما بعد:
Kita bersyukur kepada Allah atas karuniaNya sehingga kita bisa mengeluarkan sebagian terjemah dari Fatwa-Fatwa Syaikh Yahya Atas Pertanyaan Manca Negara dalam bentuk yang sangat sederhana. Hal itu dikarenakan sangat terbatasnya waktu kami dan juga sarana yang memadaiالحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات.
Dan kami lampirkan juga naskah aslinya dalam bahasa Arab agar menjadi pemacu dalam pengembangan bahasa Al Qur’an dan sebagai kritikan dan saran buat kami bila terdapat kekeliruan penerjemahan.
Barangkali pembaca mendapatkan pada naskah asli (bahasa Arab) dan tidak mendapatkan terjemahannya, hal itu kami sengaja karena kami belum mendapatkan waktu untuk menerjemahkannya. Insyaallah kalau kami diberi waktu luang, kami akan menyempurnakannya atau bila ada diantara ikhwan yang bersedia membantu kami, kami sangat berterimakasih kepadanya dan kami ucapkan jazakumullah khoiro.
Dan perlu diketahui bahwa terjemahan ini dan juga naskah aslinya adalah cuplikan dari kitab (الإفتاء على الأسئلة الواردة من دول شتى) yang telah terbit dengan jumlah kira-kira empat ratus halaman. Jadi yang baru kita terjemahkan sekitar seperempatnya. Dan para penerjemah dan penulis yang ikut andil mengambil bagian adalah para tholibul ilmi di Dammaj yang mereka semua sangat sibuk dengan pelajaran mereka dan mereka telah rela meluangkan waktu mereka yang berharga untuk pekerjaan ini -fajazahumullah khoiro-. Mereka adalah : Abu Fairuz, Abdurrahman Mubarak, Fathurrohman, Abdul ‘alim, Hamdani, Abu Najiyah, Abu Hammam, Harits, Imam, Abu Abdillah Utsman , Abul Husain, Ayyub , Muslih, Mukhtar, Abdul Aziz , Ahmad Rifai dan lain-lain.
Demikianlah apa yang bisa kami usahakan, semoga Allah memberkahi dan menerima amalan kami dan memberikan faidah kepada semua.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاأنت أستغفرك وأتوب إليك
Ditulis oleh : Abu Turob bin Hadhor Al Jawi
Dammaj, 2 Rajab 1427 H
بسم الله الرحمن الرحيم
Pendirian Madrasah Khusus Untuk As Salafiyyah
Soal :
Melihat minat kebanyakan kaum muslimin untuk mendaftarkan anak-anak mereka di madrasah yang berada di bawah naungan pemerintah atau madrasah yang didirikan di atas hizbiyah, padahal mata pelajaran yang ada tidak lepas dari hal-hal yang menyelisihi syariat. Berdasarkan hal tersebut, sebagian du’at As Salafiyyah berminat untuk mendirikan madrasah-madrasah Islami yang memadukan ilmu agama sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan materi pelajaran wajib yang disyaratkan oleh pemerintah untuk diajarkan. Apakah hukum mendirikan madrasah-madrasah tersebut bersamaan dengan penyelisihan syari’ah yang terkandung di dalam materi-materi tersebut? Perlu diketahui bahwasanya materi-materi tersebut mungkin diganti dengan materi yang sesuai dengan syariat. Dan juga ijazah yang dikeluarkan oleh pemerintah harus disertai dengan foto pribadi agar pelajar tersebut bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (dan terdapat pula penyelisihan-penyelisihan yang lainnya). Mereka juga beralasan bahwasanya kebanyakan para masyaikh Al Haramain (Mekah dan Madinah), bahkan Asy Syaikh Muqbil sendiri, lulusan Jami’ah Al Islamiyah, yang mana di dalamnya terdapat foto pada ijazah dan yang lainnya?
Jawab :
Pertama-tama, madrasah-madrasah tersebut adalah Islamiyah Insya Allah. Sekalipun di dalamnya terdapat kemaksiatan dan bukanlah madrasah-madrasah kufriyah. Demikian pula madrasah-madrasah pemerintah kecuali kalau mereka itu orang-orang Kristen, atau diketahui dengan pasti kekafiran mereka maka harus dijelaskan kekafiran tersebut. Adapun madrasah-madrasah muslimin adalah madrasah Islami. Hanya saja yang saya ketahui di dalamnya terdapat pengagungan terhadap para filosof dan pemutarbalikan pendidikan yang benar dengan penyampaian hal-hal yang tidak bermanfaat bagi para pelajar dan sia-sia.
Begitu pula terdapat jenis-jenis kemaksiatan seperti gambar makhluk yang bernyawa dan yang lainnya. Barangsiapa yang mendapat kemudahan di negeri tersebut yang lainnya untuk belajar di madrasah yang dia bisa menjauhi kemaksiatan di dalamnya, maka itu adalah yang terbaik dan itu merupakan suatu kebahagiaan. Dia bisa menghafal Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan berada jauh dari kemaksiatan selain dosa kecil dan kesalahan-kesalahan yang tidak mungkin seorang pun untuk bisa luput darinya.
Allah Ta’ala berfirman :
﴿ الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْأِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إلاَّ اللَّمَمَ ﴾ [النجم:32]
“Yaitu orang–orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan perbuatan-perbuatan yang keji, kecuali kesalahan-kesalahan yang kecil. Sesungguhnya Rabbmu maha luas ampunannya” (An Najm 32)
Allah Ta’ala telah berfirman pula :
﴿إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلاً كَرِيمًا﴾ [النساء:31]
“Seandainya kalian menjauhi dosa-dosa yang besar dari antara hal-hal yang kalian dilarang dengannya, niscaya Kami akan menghapus dosa-dosa kalian dan Kami akan masukkan kalian ke tempat yang mulia.”(An Nisa 31)
Barangsiapa yang mendapat kemudahan untuk menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan ini, maka wajib atasnya untuk meninggalkannya. Dan bagi yang belajar di madrasah-madrasah tersebut, kami nasihatkan untuk tidak menggambar makhluk yang bernyawa. Seandainya mereka menolak hal ini, maka hendaknya dia tinggalkan tempat tersebut dan pergi ke tempat yang lain. Begitu juga tidak memakai celana (pantaloon). Seandainya mereka menerima hal tersebut, maka dia belajar di tempat tersebut, dan kalau tidak maka tinggalkanlah. Begitu juga tidak memotong jenggotnya dan tidak berdiri untuk guru ketika datang. Seandainya mereka mau menerima darinya hal tersebut dan jika tidak maka hendaklah dia pergi sambil berusaha keras untuk menimba ilmu dan menjauhi fitnah-fitnah madrasah yang terdapat di dalamnya.
(Al As’ilah Al Indonisiah 2 Romadhon 1424H)
Pendidikan Diniyah Sistem Madrasah
Soal :
Sebagian da’i di negeri kami menegakkan dakwah melalui sistem madrasah (sekolah) dan ditakutkan mereka akan meninggalkan masjid dan ponpes ilmiah. Dan tujuan ditempuhnya sistem ini, adalah sebagai penjagaan terhadap orang awam. ma’had ilmiah, maka orang-orang awam tidak mau menerima dakwah dan tidak akan memasukkan anak-anak mereka ke wadah pendidikan tersebut karena persangkaan mereka bahwa hal tersebut tidak bisa menjamin masa depan anak mereka. Maka apa nasihat Asy Syaikh dalam masalah ini? Dan perlu diketahui bahwa tidak terjadi ikhtilath dalam madrasah tersebut.
Jawab :
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم تسليمًا كثيرًا. أما بعد:
Inti semuanya adalah jauh dari maksiat dan berjalan di atas kitabullah dan sunnah rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam di atas pemahaman salafush sholeh radhiallahu ‘anhum baik dalam dakwah atau kegiatan belajar mengajar atau yang lainnya. Dan selama para da’i belajar Al Qur’an dan As Sunnah serta mengajarkan keduanya meskipun hal tersebut tidak dilakukan di masjid maka hal tersebut boleh. Untuk belajar di salah satu rumah dari rumah-rumah yang ada, atau di salah satu madrasah yang disiapkan untuk pendidikan kitabullah dan sunnah rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Dari segi boleh atau tidaknya maka hal tersebut boleh. Akan tetapi dari segi barokah yang dulu para ulama salaf ridhwanullah ‘alaihim tempuh, maksud saya, barokah yang terdapat dalam toriqoh atau sistem yang ditempuh oleh para ulama salafus sholeh dalam ta’lim.
Memang benar bahwa Ibnul Qoyyim Al Jauziyah seperti yang mereka katakan, beliau dari madrasah Al Jauziyah. Dan ada juga contoh lain dari salaf yang belajar di luar masjid. Hanya saja saya melihat hasil yang banyak dari ta’lim di dalam masjid. Dan dulu ada tiga orang shahabat yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dalam keadaan beliau duduk bersama para shahabat di dalam halaqoh. Adapun salah satu dari mereka, mendapatkan tempat yang luang dan duduk di tempat tersebut. Adapun yang kedua, merasa malu dan duduk di belakang halaqoh. Adapun yang ketiga, berpaling dan berlalu. Maka setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam selesai dari pembicaraannya dengan para shahabat, beliau berkata :
«ألا أنبئكم عن النفر الثلاثة؟ أما أحدهما فأعرض، فأعرض الله عنه، وأما الثاني فاستحى من الله فاستحى الله منه، وأما الثالث فأقبل، فأقبل الله عليه»
“Maukah aku khabarkan kepada kalian tentang ketiga orang tadi? Adapun salah seorang dari mereka berpaling, maka Allah berpaling darinya. Adapun yang kedua, dia malu maka Allah pun malu darinya. Adapun yang ketiga, dia hadapkan dirinya ke tempat ilmu. Maka Allah pun hadapkan diriNya kepadanya.” Al Hadits.
Yang menjadi syahid adalah, bahwa pendidikan yang di lakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat dan para imam di dalam masjid. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
«من غدا إلى المسجد أو راح، أعد الله له نزلاً في الجنة كلما غدا أو راح»
“Barang siapa berangkat di pagi hari atau petang ke masjid, Allah siapkan baginya (hidangan) di surga setiap kali dia berangkat baik di pagi hari atau petang.”
«لأن يغدوَ أحدكم إلى المسجد فيتعلم آية خير له من ناقة، وآيتين خير من ناقتين وأعدادهن من الإبل»
“Sungguh jika salah seorang dari kalian berpagi-pagi berangkat ke masjid untuk belajar satu ayat lebih baik daripada dia memiliki seekor unta, atau belajar dua ayat lebih baik dari dua ekor unta dan bilangan unta yang banyak.”
Saya nasihatkan kepada Ahlu Sunnah baik di negeri Indonesia ataupun yang lainnya, agar mereka benar-benar menekankan ta’lim atau pendidikan di dalam masjid dan mengambil faedah dari jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu (salafus sholeh). Dan juga bahwa orang yang masuk ke masjid untuk sholat kemudian menunggu sholat yang berikutnya, dan dia dalam keadaan berdzikir, maka saat itu dia terhitung dalam keadaan sholat.
Dan di dalam shohihain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata:
«من أتى المسجد لا يريد إلا الصلاة ولا ينهزه إلا الصلاة؛ فإنه يخطو خطوة فترفع له حسنة وأخرى تحط عنه سيئة حتى يدخل المسجد؛ فإذا دخل المسجد كان في الصلاة ما كانت الصلاة هي تحبسه، والملائكة يصلون على أحدكم ما دام في مجلسه الذي صلى فيه ما لم يؤذ فيه، ما لم يحدث فيه»
“Barangsiapa mendatangi masjid, tidaklah dia inginkan kecuali sholat dan tidak ada yang membuat dia datang ke masjid kecuali sholat, maka saat dia melangkah satu langkah ditetapkan bagi dia satu kebaikan. Dan saat dia langkahkan kaki yang lain, maka gugur darinya satu kesalahan, sampai dia masuk ke dalam masjid. Dan kalau dia telah masuk ke dalamnya, maka dia tercatat dalam keadaan sholat, selama sholatnya yang menahan dia untuk tidak pergi. Dan malaikat mendoakan untuk salah seorang di antara kalian yang dalam keadaan demikian, selama dia tidak mengganggu yang lain dan selama dia tidak berhadats.”
Ini adalah ganjaran yang besar bagi siapa yang duduk menunggu sholat. Terlebih lagi kalau dia duduk di majelis ilmu.
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:
«مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. ومن بطأ به عمله فلم يسرع به نسبه»
“Dan demikian pula, tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah mereka membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka. Kecuali Allah akan turunkan kepada mereka sakinah dan rahmatnya meliputi mereka dan para malaikatNya menaungi mereka. Dan barangsiapa yang lambat amalannya maka tidak akan bisa nasabnya mempercepat dia (menolongnya).”
Dan yang dimaksud dengan rumah di sini adalah masjid. Maka dari itu, sudah seharusnnya bagi Ahlu Sunnah untuk mengambil faedah-faedah yang besar ini. Maka mereka datang untuk sholat ke masjid dan duduk untuk ta’lim di dalam masjid dengan membaca dan mempelajari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Dan muroja’ah ilmu ini adalah kebaikan yang banyak. Para ulama mengetahui hasil yang didapati dari hal ini. Dan mereka tahu hasilnya. Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mempersiapkan pasukan di masjid dan sholat di dalam masjid dan i’tikaf di masjid dan ta’lim di masjid. Dan juga penjelasan tentang orang-orang dan berkumpul di masjid ahlul hawa dan ahlul bid’ah wal ahwa’ meskipun dengan syair dilakukan dalam masjid. Dan dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyediakan kursi untuk Hasan bin Tsabit dan beliau berkata : “Celalah mereka dan Jibril bersamamu!” dalam keadaan Hasan di dalam masjid. Dan Ibnu Rowahah juga mencela orang-orang musyrikin di masjid, maka Umar berkata kepadanya. “Engkau lantunkan syair di Haramillah dan di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata: “Biarkan dia! Itu lebih dahsyat bagi mereka dari bidikan panah yang bertubi-tubi”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menegakkan semua yang berkaitan dengan dakwah di masjid. Dari ta’lim dan pengiriman (utusan) pasukan dan pengajaran atau penjelasan atau pendidikan dan yang seterusnya. Ini adalah nasihat untuk saudara-saudara kita semuanya. Kemudian juga bahwa masalah ini (bahwa semua kegiatan berpusat di masjid) telah dimatikan di banyak negara yang ada. Maka kalian janganlah membantu terhadap yang demikian wahai Ahlu Sunnah. Dan terkadang mereka sengaja mengajar di madrasah dan lalai terhadap pengajaran di masjid-masjid dan lalai terhadap barokah hal tersebut dan lupa terhadap atsar yang baik ini. Maka jadilah kalian da’i–da’i untuk menghidupkan As Sunnah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kalian.
(Al As’ilah Al Indonisiah 2 Romadhon 1424H)
Hukum Mengadakan Test Saringan Penerimaan Murid Baru
Soal :
Bagaimana pendapat Asy Syaikh dengan orang yang mengadakan ujian untuk memilih para pelajar yang cerdas dan berkemampuan tanpa yang lainnya (menolak pelajar yang bodoh) dengan alasan bahwa agama ini adalah berat dan ilmu itu adalah mulia. Dan Allah Ta’ala telah berfirman kepada nabiNya shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam:
﴿إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً﴾ [المزمل:5]
“Sesungguhnya Kami akan menimpakan kepadamu ucapan yang berat” (Al Muzammil:5)
Maka tidaklah mampu untuk memikulnya kecuali mereka yang cerdas? Padahal peminat ilmu dien ini sangatlah banyak! Berilah kami fatwa dalam hal ini! Jazaakumullah khairan.
Jawab :
Seyogyanya diberikan rasa optimis kepada mereka yang memiliki kemampuan prima kearah kebaikan. Lihatlah Yahya bin Sa’id Al Qoththon berkata kepada muridnya Musaddad, “Kalau seandainya kami tidak terlalu sibuk sebelumnya, niscaya kami yang mendatangi kalian.” (Tertera dalam biografi Musaddad di kitab At Tahdzib dengan lafadz, “Kalau aku datangi Musaddad di rumahnya dan aku sampaikan kepadanya hadits tentu dia berhak untuk mendapatkan penghormatan tersebut.”)
Dan sebelumnya Umar bin Khottob radhiallahu ‘anhu menyertakan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di dalam kalangan pembesar-pembesar Badr. Mereka menggerutu, “Untuk apa anak sekecil ini disertakan bersama kita, padahal kita juga memiliki anak seusianya?” Maka Umar menyanggah mereka, “Dia itu sebagaimana yang kalian ketahui (maksudnya dari sisi ilmu).”
Kemudian beliau memberikan sebuah pertanyaan yang mereka keliru dalam memberikan jawaban sementara Ibnu Abbas menjawab dengan benar. Sebagaimana cerita tersebut diketahui dan tertera dalam kitab shohih, yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan makna firman Allah Ta’ala:
﴿ إذا جاء نصر الله و الفتح ﴾ إلى آخر السورة
Maka sebagian mereka menjawab, “Kita diperintahkan untuk memperbanyak istighfar.” Dan yang lainnya menjawab selain itu. Adapun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ayat tersebut turun sebagai tanda dekatnya ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.” Kemudian Umar menandaskan, “Aku tidak mengetahui kecuali seperti yang engkau ketahui.” (HR Bukhari dari Ibnu Abbas 4970).
Dan juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,«إنك غلام معلم» “Sesungguhnya engkau pandai dan seorang pendidik.”(HR Ahmad (2/434) dan hadits ini tertera di Ash Shohih Al Musnad 92/24).
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mendo’akan Ibnu Abbas, «اللهم فقه في الدين» “Ya Allah, jadikanlah dia seorang yang faqih di dalam agama.”(HR Bukhari 143 dan Muslim 2477).
Dan beliau mengajarinya perkara-perkara Aqidah sejak dini, “Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan jagalah Allah niscaya enkau dapatkanNya di hadapanmu…” al hadits. (HR At Tirmidzy tertera di Ash Shohih Al Musnad 1/474).
Benar, barangsiapa yang kelihatan memiliki motifasi tinggi dibantu dan didorong. Akan tetapi tidak dengan model seperti ini, tidak dengan model ujian dan test.
Adapun model seperti ini, memilih yang cerdas dengan alasan karena tidak akan mampu memikul agama ini kecuali ini dan itu, dan beranggapan bahwa yang tidak cerdas tidak akan bisa membawanya, ini tidaklah benar dan bahkan perlu dikritik. Bahkan berapa banyak orang yang cerdas, hatinya tidak bersih. Kalian sudah berlelah diri mendidiknya dan mengajarinya, ternyata tiba-tiba dia telah menjadi hizby, sementara yang lain (yang tidak memiliki kecerdasan tinggi) ternyata Allah memberinya taufik untuk menerima Sunnah dan menghadap kepada Allah dengan hatinya untuk mengamalkan kebaikan dan ilmu sehingga memberi manfa’at kepada sekelompok umat.
Allah berfirman:
﴿وَمَا تَوْفِيقِي إلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾ [هود:88]
“Dan tidaklah taufikku kecuali dengan sebab Allah. KepadaNyalah aku kembali dan bertawakal.” (Hud 88)
Benar, taufik itu semata-mata di sisi Allah.
Allah berfirman:
﴿إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ﴾ [القصص:56]
“Sesungguhnya engkau tidaklah mampu memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai. Akan tetapi Allahlah yang menunjuki siapa yang ia kehendaki.” (Al Qoshos:56)
Oleh karena itu, berbaik sangkalah kalian terhadap murid dan anak didik kalian semua. Dan siapa yang meiliki motifasi didorong dan diberi semangat karena barangkali dari salah satu mereka, Allah memberikan manfa’at dengannya. Dan tidak sepantasnya untuk mengadakan ujian dengan alasan ini dan itu. Lihatlah Al A’masy, tersebut dalam biografinya: Ada seorang ahlul hadits melewatinya sewaktu dia sedang mengajari anak-anak kecil, sembari berkomentar, “Bagaimana engkau duduk-duduk bersama anak-anak kecil dan menyibukkan diri mengurusi mereka? Padahal para ulama ahlul hadits sangat membutuhkan tenagamu?” Maka beliau langsung menukas, “Ya miskin, mereka (anak-anak) itulah yang bakal menjaga agama mereka kelak di kemudian hari.” (Dikeluarkan oleh Arromahurmuzi di kitab Al Muhadditsul Fashil (no.65) dengan sanad yang shohih, juga Al Khotib dalam kitab Syarof Ashhabul Hadits (no.125))
Maka Insya Allah, ikhwan kita tidak mengadakan seperti ini. Bahkan mereka memperhatikan sepenuh perhatian terhadap anak didiknya, baik yang besar atau yang kecil semuanya. Dan yang bakal menjadi anak baik akan melewati jalannya. Dan dia kelak yang akan menerima kebaikan dan memberi manfaat dan dialah yang memiliki motifasi tinggi.
Mahmud bin Robi’ telah bisa memahami ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyiramkan air ke mukanya sewaktu umurnya baru lima tahun. Sebagaimana tertera dalam kitab shohih. Begitu pula Ibnu Umar seperti tertera dalam shohihain, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menanyakan tentang pohon yang menyerupai seorang mukmin. Maka terdetik dalam diri Ibnu Umar bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma. Beliau berkata, “Tidaklah mencegahku untuk menjawab kecuali karena aku adalah peserta terkecil di majelis tersebut.” Maka kemudian beliau mengkhabarkan hal itu kepada bapaknya, maka bapaknya berkata, “Kalau engkau menjawab, maka itu lebih aku sukai dari ini dan itu.” (HR Bukhari)
Dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkeliling dari rumah ke rumah gurunya dari kalangan shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’in, untuk mendapatkan faedah ilmu. Bahkan kadang-kadang beliau menunggu keluarnya guru di depan pintu sembari meletakkan tangannya di wajahnya sampai keluar. Kemudian beliau mengambil darinya beberapa maklumat dan beberapa hadits. Shahabat tersebut berkata, “Wahai sepupu Rasulullah! Jikalau engkau mengutus orang untuk memanggil kami, tentu kami penuhi.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Ilmu itu di datangi.” (Hadits tersebut diriwayatkan imam Al Bukhari secara muallaq di dalam kitab Al Ma’rifah wa At Tarikh (1/5) dan di kitab Thobaqot karya Ibnu Sa’d dan di kitab Al Hilyah milik Abu Nu’aim dan lain-lain).
Dari jalan Jarir bin Hazim dari Ya’la bin hakim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam telah meninggal dunia, aku katakan kepada salah seorang anak dari Anshor, “Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, karena mereka hari ini masih banyak.” Maka dia menjawab, “Engkau sungguh aneh sekali wahai Ibnu Abbas! Apa kamu beranggapan bahwa mereka akan membutuhkan kamu sementara di kalangan manusia ada para shahabat Nabi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sebagaimana yang kamu saksikan?” Maka dia enggan untuk melakukan perkara ini, sementara aku mencurahkan sepenuh perhatianku untuk bertanya, sehingga pada suatu kali telah sampai kepadaku bahwa salah seorang shahabat memiliki hadits. Maka aku mendatanginya sewaktu dia sedang istirahat di siang hari. Maka aku pun menunggunya di bawah pintu sembari menjadikan bajuku sebagai alas. Tiupan angin dan debu menerpa wajahku. Sampai ketika shahabat tersebut keluar dan melihatku, dia berkata, “Wahai keponakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam! Kenapa engkau tidak mengutusku untuk mendatangimu?” Aku berkata, “Aku lebih berhak untuk mendatangimu dan bertanya kepadamu.” Sementara temanku Al Anshor tadi masih terus dengan kebiasaannya, sampai suatu saat dia melewati majlisku dan telah berkumpul banyak orang di sekitarku. Maka dia berkata dengan rasa menyesal, “Anak muda ini lebih cerdas dari padaku.” (Sanad atsar ini shohih. Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad (2/367-368), Fasawi (1/542) dan Hakim (3/538). Dan Al Haitsami menukilkannya di Al Majma’ (9/277) dan beliau berkomentar, “Diriwayatkan oleh Ath Thobroni dan semua perowinya dari perowi shohih).
Dalam sebuah atsar pula, dari Ibnu Abas bahwa beliau mengikat kaki Ikrimah (budaknya) dengan tali untuk mengajarinya Al Qur’an, Sunnah dan Faroidh (Atsar shohih dikeluarkan oleh Al Khotib di Al Faqih Al Mutafaqih (1/47))
Dengan demikian bila melihat ada anak yang bandel dan tidak perhatian dengan ilmu ataupun bemalas-malasan maka tidak mengapa menolong mereka dengan cara seperti ini (diikat). Dia tidak mengetahui kemaslahatan dirinya. Adapun apabila cuma mengambil anak kecil yang cerdas dan menolongnya sementara yang lain tidak ditolong, maka perkara ini bisa menyebabkan terpuruknya anak (yang tidak cerdas) tersebut, menyebabkan kecil hati dan rasa putus asa dari ilmu. Dan kalian menjadi berdosa dengan perbuatan itu.
Hukum Berdusta Dalam Menuntut Ilmu
Soal :
Bolehkah berdusta untuk menuntut ilmu? seperti membuat ijazah palsu atau mengabarkan kepada penguji umurnya yang tidak sesuai atau dengan kartu yang diada-adakan dan semisalnya. Karena permasalahan ini telah tersebar di kalangan tholibul `ilmi atau pelajar yang berkeinginan untuk masuk ke Universitas Islamiyyah. Dan sangat disayangkan sebagian mereka adalah salafiyyun, Jazakumullahu khairan.
Jawab :
Dusta adalah termasuk perkara yang paling buruk dan termasuk perkara yang paling tercela. Maka bagaimana mungkin diperbolehkan dusta dalam permasalahan ini dan selainnya. Para ulama mengecualikan berdusta hanya bila dalam rangka mendamaikan antar kaum muslimin yang bertikai, maka ini boleh. Dan berdusta dalam peperangan, Rasulullah  bersabda, “Peperangan Itu adalah tipu daya” (dari hadist Jabir dan Abu Hurairah, muttafaqqun`alaihima), dan dusta seorang suami kepada istrinya menurut riwayat Ummi Kultsum tapi ini adalah riwayat yang syazdah(1) padahal yang benar berdusta kepada istrinya tidak diperbolehkan karena riwayat tersebut adalah syadzah. Maka bagaimana dengan berdusta untuk menuntut ilmu.
Demi Allah sesungguhnya saya sangat khawatir dia tidak mendapatkan taufiq dan bimbingan bahkan tanpa diragukan, Allah berfirman:
﴿أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ﴾ [التوبة:109]
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjid di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaanNya itu lebih baik ataukan orang-orang yang mendirikan bangunan di tepi jurang yang runtuh lalu bangunan itu jatuh bersama dia masuk neraka jahannam” (At-Taubah:109)
padahal sepantasnya landasan bangunan tholabul `ilmi hendaklah di atas ketaqwaan dan kejujuran, di atas muroqobbah (kewaspadaan dari perhatian Allah), amanah, takut kepada Allah dan doa. Dan perkara yang sejak awal diabangun di atas kedustaan saya khawatir akan menjadi sebab kebinasaan. karena kemaksiatan adalah sebab kehinaan dan kejahatan, Allah berfirman :
﴿وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَّيِّئَاتِ جَزَاءُ سَيِّئَةٍ بِمِثْلِهَا وَتَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ﴾ [يونس:27]
“Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan mendapat balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan” (Yunus:27)
(Al As’ilah Al Indonisiah, 26 Jumadist Tsaniyah 1424 H)
Hukum Membatasi Masa Belajar
Soal :
Apa hukum membatasi masa belajar dengan batasan waktu 3 tahun atau 4 tahun dan seterusnya? Apakah salaf melakukan yang demikian itu? Bagaimana mereka melakukannya?
Jawab :
“Dari tempat tinta sampai ke liang lahat.” Demikian ucapan Imam Ahmad rahimahullah. Dan bait-bait berikut ini sangat berkesan pada diriku;
Hari ini sedikit esok pun demikian
Dari pilihan ilmu yang dikais
Seseorang menghasilkan dengannya kebijakan
Bukankah air bah itu berasal dari kumpulan gerimis
Wahai saudaraku, tiga tahun dalam menuntut ilmu adalah waktu yang amat pendek. Lebih-lebih kalian membutuhkan beberapa tahun untuk bisa mengenal bahasa arab, yaitu ilmu kitabullah. Kami nasihatkan agar kalian mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk ilmu. Giatkan murid-murid kalian di atas ilmu, dan barangsiapa di antara mereka yang benar-benar giat di atas ilmu walaupun memakan waktu yang lama (bertahun-tahun) bantulah mereka. Lihatlah Muhammad bin Ja’far memulazamahi (menyertai) Syu’bah bertahun-tahun (sekitar 20 tahun, dan beliau adalah anak tiri Syu’bah. Lihat At Tahdzibut Tahdzib). Sufyan bin ‘Uyainah memulazamahi ‘Amr bin Dinar bertahun-tahun (beliau berkata, “Aku mendengarkan ilmu dari ‘Amr bin Dinar seperti tinggalnya Nuh alaihis salam di kaumnya.” Lihat At Tahdzibut Tahdzib). Dan yang semisalnya masih banyak sekali.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 26 Al Jumadits Tsaniyyah 1424 H)
Hukum Berekreasi Sehabis EBTA/EBTANAS
(Bagi Pelajar)
Soal :
Sudah menjadi tradisi sekolah apabila selesai masa Ebta/Ebtanas mereka mengadakan pariwisata ke tempat-tempat rekreasi seperti ke pantai atau ke bukit-bukit atau ke rumah makan, dan seterusnya. Dan mereka menamakan acara tersebut Rihlah `ilmiah. Demikian pula membagi-bagi hadiah kepada juara kelas, juga mengadakan reuni bagi alumnus dan lain-lainnya. Apa pendapat Syaikh dalam permasalahan ini? Jazakumullahu Khaira.
Jawab :
Al-Imam Al-Bukhari semoga Allah merahmatinya, telah meriwayatkan dalam kitab shohihnya di awal kitab Ar-Riqoq dari Hadist Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam berkata:
«نِعمتانِ مَغبونٌ فيهما كثيرٌ من الناس: الصّحة, والفرغ»
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai dari keduanya, kesehatan dan waktu luang” (HR Al-Bukhari 6412)
Demikian pula para pemuda membutuhkan waktu semenjak dini untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana perkataan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
«لاَ تَزُولُ قَدَمَ ابنِ آدَمَ يَوْماَ القِيَامَةِ حَتّى يُسْأَلَ عن أَرْبَعٍ -منها- عن شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»
“Tidak akan tergelincir dua kakinya seorang di hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara, -diantara empat perkara tersebut adalah- masa mudanya, untuk apa dia habiskan?” (HR At-Tirmidzy dari Abi Barzah (2419) dan beliau berkomentar hadist hasan shohih, dan Al-Khatib Al-Baghdadi di kitab ‘Iqtidho`ilmi wal`amal dengan sanad yang shohih dan hadist ini memiliki penguat dari Muadz bin jabal dikeluarkan Al-Khatib Al-Baghdadi (22), dan Imam Al-Mundziri di Kitab At-Targhib 5/357 dan beliau berkomentar HR Thabrani dan Al-Bazar dengan sanad shohih dan Syaikh Yahya Hafizhohullah berkata dalam sebagian majlis hadist ini bisa dipakai sebagai hujjah dari berbagai jalan).
Dan juga Allah berfirman :
﴿ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴾ [البقرة:197]
“Ambillah oleh kalian perbekalan dan sungguh sebaik-baik perbekalan adalah At-taqwa, dan bertakwalah kalian wahai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah:197)
Dan rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berkata:
«مَنْ يُرِدِ اللّهُ به خَيراً يُفَقّهْهُ في الدّين » (رواه البخارى)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (Al-Bukhari (71) dan Muslim (1037) dari Mua`wiyah radhiyallahu `anhu).
Dan dalam shohih Bukhori:
«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya”
Dan dalil lainnya yang berkaitan dengan kesungguhan dan semangat dalam mencari ilmu sebelum terlewatnya masa, entah itu dengan datangnya penyakit atau kesibukan ataupun dengan apa yang Allah Ta`ala ketahui.
Allah berfirman:
﴿وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ﴾ [لقمان:34]
“Tidaklah jiwa itu mengetauhi apa yang bakal mereka lakukan di esok hari dan tidak pula mereka mengetahui di bumi mana ia akan mati.” (Luqman:34)
Karena tidak mengetahui apa yang akan kau lakukan esok hari, apakah perbuatan baik ataukah sebaliknya.
Sungguh aku tidak mengetahui bumi yang aku tuju
Aku menghendaki kebaikan mendekatiku
Apakah kebaikan yang aku cari?
Ataukah keburukan yang mendahului
Kami nasehatkan kepada ikhwan semua untuk bersungguh-sunguh dan mencurahkan waktunya dalam menuntut ilmu dan apabila suatu kali keluar untuk mencari udara segar, baik ke bukit atau ke pantai untuk berenang, tidak ada larangannya dan bukan pula suatu perkara yang haram dalam rangka penyegaran jiwa dan membantu diri untuk menambah semangat dalam menuntut ilmu, dan janganlah perkara itu menjadi kebiasaan seperti kebiasaan Ikhwanul Muslimin.
Oleh karena itu didiklah saudara-saudara kalian dan murid-murid kalian untuk cinta ilmu dan giat serta bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, dengan mengurangi bepergian. Didiklah mereka! Apabila mereka keluar dari pondok, keluar dengan tujuan da`wah sehingga mereka mendapat pahala dan bisa mengambil faidah pahala dan ilmu dibalik itu.
Adapun pariwisata model mereka ini, ke restoran atau ke warung makan atau di jalan-jalan raya, pantai-pantai dan sejenisnya, tinggalkanlah semua itu untuk Ikhwanul Muslimin, adapun kalian wahai salafiyyun tidak membutuhkan semua itu, mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kalian.
Ikhwanul Muslimin adalah para penganggur, cuma sibuk dengan sandiwara dan nasyid-nasyid, dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tak ada gunanya, adapun kalian wahai Ahlu Sunnah sibuk dengan menghafal Al Qur`an, menghafal hadist dan sibuk dengan da`wah kepada Allah dan dengan perkara yang lebih penting dari pariwisata.
(Al As’ilah Al Indonisiah 26 Jumadits Tsani 1424 H)
Hukum Belajar Matematika dan Semisalnya
Soal :
Bolehkah kita mengajari mereka ilmu duniawi seperti matematika dan bahasa mereka atau bahasa Inggris atau belajar untuk pencaharian mereka seperti bercocok tanam atau menjahit dan sebagainya? Apakah ada batasannya mempelajari ilmu-ilmu seperti ini?
Jawab :
Itu diperbolehkan. Allah berfirman:
﴿ وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ ﴾ [الأنبياء:80]
“Dan Kami ajari dia bagaimana membuat baju untuk kalian agar bisa menjaga diri kalian dari hal yang tidak kalian sukai. Maka bersyukurlah kalian!” (Al Anbiya’:80)
Benar. Dari sisi bolehnya, maka hal itu dibolehkan. Tetapi utamakanlah mengajari mereka Al Qur’an dan As Sunnah. Karena orang yang ahli ilmu keduniaan banyak sekali sementara ahli ilmu agama sangatlah sedikit. Maka apabila dia menjadi seorang yang alim, manusia akan membutuhkannya. Maka janganlah ilmu-ilmu seperti itu menyibukkan dari menuntut ilmu syar’i.
(Al As’ilah Malaiziah)
Penyelenggaraan Dauroh Di Kampus-kampus
Soal :
Apakah hukum menyelenggarakan dauroh ilmiah di kampus atau sekolah yang terdapat di dalamnya ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) selama kurang lebih satu bulan? Perlu diketahui bahwasanya kebanyakan dari kami tidak mengenal dakwah Salafiyyah kecuali dengan cara seperti ini. Dan dauroh ini tidak ada ikhtilath di dalamnya. Dan juga kelompok-kelompok hizbiyah mengadakan dauroh-dauroh mereka di tempat tersebut secara bergiliran. Seandainya hal tersebut keliru, maka bagaimana jalan keluarnya?
Jawab :
Penyelenggaraan dauroh di kampus yang terdapat di dalamnya ikhtilath, seandainya dauroh tersebut diselenggarakan pada waktu ikhtilath, maka itu adalah dauroh ikhtilathiyah dan telah lewat pembahasan bahaya ikhtilath. Dan seandainya ikhtilath di tempat tersebut terjadi pada sebagian waktu dan penyelenggaraan saudara-saudara kita as Salafiyyun di tempat tersebut pada waktu tidak ada ikhtilath, misalnya perempuan belajar pada waktu siang dan Salafiyyun mengadakan daurohnya pada malam hari yang tidak ada perempuan pada saat itu, maka tidak ada larangannya.
Yang menjadi tolak ukur adalah adanya ikhtilath, bukan tempat yang terpengaruh dengan adanya ikhtilath di dalamnya. Dan apabila mereka berikhtilath pada saat dauroh yang berkumpul di dalamnya orang-orang yang jelek dan baik, sunny dan hizby, laki-laki dan perempuan dan yang lainnya.
Maka hendaklah Ahlu Sunnah mengadakan dauroh mereka di masjid-masjid dan madrasah-madrasah yang khusus untuk mereka. Mereka tidak butuh dengan kumpulan dan campur baur seperti ini.
Dakwah Salafiyyah dan kecintaan terhadap dakwah Salafiyyah telah sampai pada orang yang jauh dan yang dekat. Bagi orang yang Allah Ta’ala kehendaki padanya kebaikan. Makabarang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, dia akan mengenalnya. Dan barangsiapa yang Allah Ta’ala kehendaki padanya kebaikan akan mengetahuinya, baik lewat internet, mendengar dari kaset-kaset atau lewat kitab-kitab yang disebarkan dan dicetak.
Dan jika perkaranya sampai seperti ini, kemudian tidak bisa dikenal kecuali lewat ikhtilath dan campur baur? Tidak….tidak benar!! Wahai saudaraku! Demi Allah, perkara yang mereka inginkan bisa membuat tergelincir dan tidak bisa diterima.
Jawaban Terhadap Syubhat yang Dilontarkan oleh Para Mahasiswa yang Belajar Di Tempat Kuliah Ikhtilathiyah (Campur Baur Pria dan Wanita)
Soal :
Di tempat kami ada sebagian salafiyyin yang telah mengenal dakwah Salafiyyah setahun atau dua tahun atau bahkan lebih. Bersamaan dengan itu mereka masih terus belajar di bangku perkuliahan ikhtilathiyah dan memakain pantaloon dan berkata, “Ini termasuk dalam bab mengambil bahaya yang paling ringan dari dua jenis amalan yang berbahaya.” Dari sisi bahwasanya meninggalkan kuliah tersebut merupakan sebab kedurhakaan kepada orang tua. Dan telah diketahui bersama bahwasanya memakai pantaloon itu lebih ringan bahayanya dari pada durhaka kepada orang tua. Demikian pula belajar di tempat itu. Pertanyaannya, bagaimanakah kebenaran dari ucapan itu? Semoga Allah membalas Asy Syaikh dengan kebaikan.
Jawab :
Ucapan ini tidak benar. Bahwasanya mereka belajar di bangku perkuliahan ikhtilathiyah memakai pakaian orang kafir dan berkata, “Ta’atilah orang tua kalian!” Ini tidak benar.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata:
«لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق»
“Tiada ketaatan kepada makhluk dalam kedurhakaan kepada Allah.” (HR Bukhari 7145 dan Muslim 1840 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Juga beliau shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam berkata :
«إنما الطاعة في المعروف»
“Ketaatan hanyalah di dalam perkara yang ma’ruf.” (Hadits Jabir riwayat Muslim)
Dan Allah berfirman :
﴿وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون﴾ [العنكبوت:8]
“Dan apabila keduanya memaksamu untuk berbuat syirik kepadaKu, yang engkau tidak punya ilmu tentangnya, maka janganlah engkau taati keduanya dan tetaplah engkau pergauli keduanya di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu. Kemudian hanya kepadaKulah tempat kembali kalian. Lalu akan Aku beritakan tentang apa yang telah kalian lakukan.” (Luqman 15)
Maka perkara yang wajib dikerjakan oleh para orang tua dan para anak dan seluruh masyarakat adalah memperhatikan dan mementingkan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Adapun barangsiapa yang memerintahkan untuk berbuat maksiat, tidak boleh ditaati siapa pun dia. Maka istihsan semacam ini merupakan kehinaan. Jauhilah oleh kalian istihsanaat semacam ini dan juga jauhilah kemaksiatan-kemaksiatan yang bernaung di bawah alasan-alasan seperti ini. Jauhilah!
Allah berfirman :
﴿وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً﴾ [الطلاق: 2]
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Dia akan menjadikan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya.” (Ath Tholaq:2-3)
Ucapan yang mereka katakan itu tidak benar.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 2 ramadhon 1424 H)
Menghafal Al-Qur`an pentingkah itu?
Soal :
Sebagian para da`i mengatakan, “Sesungguhnya menghafal Al-Qur`an bukan perkara yang penting, karena yang penting adalah memahami, merenungkan dan mengamalkan yang apa menjadi tuntutan Al-Qur`an,” dan dia berdalil dalam pendapatnya itu dengan perbuatan Ibnu Umar radhiyallahu `Anhu bahwasanya beliau menghafal Surat Al-Baqarah selama 9 tahun karena beliau sibuk dengan tafsirnya, makna-maknanya dan mengamalkan kandungan surat tersebut. Maka benarkah pendapat ini dan shohihkah atsar Ibnu Umar tersebut? Jazakumullahu Khairan.
Jawab :
Pertama, perkataan dia, “Bukan perkara penting” adalah tidak benar Allah Ta`ala berfirman :
﴿بلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ﴾ [العنكبوت:49]
“Bahkan sesungguhnya Al-Qur`an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (Al-Ankabut:49)
Maka benar, Allah telah memuji para Ulama karena sesungguhnya mereka menghafal ayat-ayat yang nyata. Dan demikian pula para qurro` ketika mereka terbunuh, bukankah para shahabat Nabi merasa khawatir akan sirnanya Al-Qur’an sehingga mereka diperintahkan untuk mengumpulkan mushaf.
Dan Umar berkata “Saya mendapatkan pembunuhan telah menimpa para qurro`”( ) (Hadist Anas radhiyallahu `anhu Al-Bukhari (4987) dan ucapan tersebut dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu`anhu).
Mereka yang dibunuh adalah 70 orang dari para qurro`. Para shabat merasa khawatir dan merasakan hilangnya ilmu. Ketika itu Umar bin Khattob radhiyallahu `anhu memerintahkan orang untuk mengumpulkan lembaran-lembaran yang ada dijadikan dalam satu mushaf setelah beliau meninggal dunia mushaf tersebut ditangan Hafsoh Radliyallahu ‘anha (beliau mengisyaratkan kepada hadist Zaid bin Tsabit dalam Al-Bukahri (4986)).
Kemudian setelah itu Ustman bin Affan radhiyallahu `anhu memerintahkan untuk mengumpulkan lembaran-lembaran tersebut dari Hafsoh radhiyallahu `anha dari seluruh tempat dan beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit dan sebagian shahabat untuk mengumpulkan mushaf. Ini semua adalah termasuk perkara yang menunjukkan pentingya menghafal Al-Quran dan sesungguhnya ini adalah ilmu, maka hendaknya bersungguh-sungguh untuk meraihnya dan tidaklah akan meninggalkan kebaikan ini bagi mereka yang diberi taufiq
Salah satu dalil yang menunjukkan pentingya hafalan adalah hadist dalam shohihain dari Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, “Sesungguhnya Nabi shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu ini sekaligus dengan mencabutnya dari dada-dada manusia” (Al-Bukhari 100 dan Muslim 2673) Maksudnya apabila ilmu tercabut dari dada penghafal dan hilang perkara ini (hafalan) maka hilanglah ilmu.
Ar Rahabi rahimahullah berkata :
واعـــلم بأن الإرث نوعان هـما
فالفـــرض في نص الكتاب سـته
نصف وربع ثم نصف الــــربع
والثلثان وهـمـــا التمـــام فــرض وتعصيب عــلى ما قُسمَا
لا فـــرض في الإرث سواها البته
والثلث والسدس بنص الشــــرع
فاحـفظ فـكل حـافظ إمـــام
Dan ketahuilah bahwa warisan ada dua
Furudh dan ta’shib sesuai dengan bagiannya
Adapun furudh di nash kitab ada enam
Tidak ada furudh dalam warisan selainnya
Setengah dan seperempat kemudian setengahnya seperempat
Sepertiga dan seperenam dengan nash syariat
Dua pertiga dan keduanya penyempurna
Maka hafalkanlah karena setiap penghafal adalah Imam
Maka Allah menjaga agama ini dengan pengahafal-penghafal kitab Allah. Dan termasuk perkara pertama yang hendaknya dihafal adalah Kitab Allah Ta`ala, Allah berfirman:
﴿كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾ [ص:29]
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah” (Shaad:29)
﴿ أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ ﴾ [العنكبوت:51]
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Alkitab sedang dia dibacakan kepada mereka.” (Al-Ankabut:51)
Kamu bisa berhujjah (argumen) dengan Al-Qur’an pada setiap apa yang kamu kehendaki dari ilmu syariat ini jika Allah memahamkanmu dalam Al-Qur’an dan apabila Allah memahamkanmu terhadap agama-Nya. Dan lihatlah buku-buku Syaihkhul Islam dan buku-buku murid beliau Ibnul Qayyim dan yang semisalnya dari Ahlu Sunnah bagaimana kamu lihat, mereka memperhatikan Al-Qur`an dari sisi pengambilan dalil, menghafal, membaca, memikirkan dari sisi tajwid dan lain sebagainya.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 26 Jumadist Tsaniyah 1424 H)
Metode Dakwah Itu Terbatas
Soal :
Apakah metode dakwah itu terbatas ataukah perkara ijtihad ?
Jawab :
Perkara dakwah adalah terbatas, Allah berfirman :
﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
” Dan Apapun yang dibawa Rasul padamu ,maka ambillah dan apa yang dilarang tinggalkanlah ” (Al- Hasyr : 7 )
Dan Allah berfirman :
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِينًا﴾
“Pada hari ini aku telah sempurnakan agama kalian dan aku sempurnakan pula nikmatku atas kalian dan aku telah meridhai untuk kalian islam sebagai agama kalian” ( Surah Al-Maidah : 3 )
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam
«تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك»
“Aku telah tinggalkan kalian diatas cahaya dimana malamnya seperti siangnya, dan tidaklah ada yang berpaling padanya kecuali binasa “
Dan Allah berfirman :
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ [النور:63]
“Maka waspadalah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah akan menimpa mereka fitnah atau menimpa mereka siksa yang pedih” ( Surah An-Nur : 63)
Maka dakwah kejalan Allah adalah ibadah dan ibadah itu caranya terbatas, hendaknya dakwah itu berada di atas tata cara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan dalam perilaku beliau baik yang berhubungan dengan orang dekat atau jauh dengan musuh ataupun kawan dekat.
(Al As’ilah As Somaliah)
Hukum mendirikan yayasan dan organisasi untuk dakwah
Soal :
Apa hukum mendirikan yayasan atau organisasi untuk menyebarkan da`wah salafiyyah? karena di negeri kami kalau yayasan atau organisasi ini tidak berdiri maka kebanyakan orang tidak tertarik kepadanya bahkan mereka menuduhnya sebagai da`wah yang sesat. Maka sebagian da`i mendirikannya untuk kesinambungan da`wah ini. Jazakumullahu Khairan.
Jawab :
Saya katakan kepadamu wahai saudaraku ajarkanlah pelajaran di masjid dan tetaplah di dalamnya walaupun sendiri. Barangsiapa yang datang kepadamu di atas kebaikan dan sunnah dan walaupun hanya sepuluh orang bersamamu dan kamu ajari mereka kitab dan sunnah maka engkau dianggap sebagai da`i yang beruntung dan berhasil.
Demi Allah sepuluh orang yang datang kepadamu dan kamu mengajari kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam kepada mereka dan mereka keluar sebagai ulama dan da`i maka sesungguhnya engkau beruntung. Tinggalkanlah keinginan mencari pengikut yang banyak dan mengumpulkan pengikut dari sana dan sini dengan alasan orang awwam berkata demikian mereka menginginkan demikian dan mereka menyukai demikian.
Wahai saudaraku, orang-orang awwam sangat butuh pengarahan untuk diri mereka sendiri bukanlah mereka yang mengarahkanmu dan menguasaimu, sebaliknya kamulah yang harus menjelaskan kepada mereka bahwa belajar agama di masjid adalah lebih utama. Dan bahwasanya kita salafiyyun tidak butuh terhadap organisasi, karena organisasi ini tidaklah mendatangkan sesuatu bagi manusia kecuali percekcokan, penyakit, perpecahan dan perselisihan serta menyempitkan dada.
Rasulullah Shallalahu `alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:
«من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد»
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara agama kami ini maka yang ia bukan bagian darinya maka ia tertolak” (Hadist Aisyah Radiyallahu `anha Riwayat Al-Bukahri (2697) dan Muslim (1718))
Demi Allah ketetapan dan kondisi perkara ini di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam sudah ada. Ustman bin Affan radhiyallahu `anhu dia adalah golongan hartawan, Abdurrahman bin `Auf radhiyallahu `anhu ia adalah golongan hartawan dan Abu Thalhah setelah itu menjadi golongan hartawan juga dan sejumlah hartawan dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sisi mereka ada Ashaabus Suffah. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi shodaqoh maka beliau mengirimkan shodaqoh itu kepada mereka sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah (diriwatkan Al-Bukhari 6452) dan jika beliau diberi hadiah maka beliau mengambil sebagiannya kemudian beliau memberikan kepada mereka dan beliau tidak berkata “Berkumpullah kalian dan buatlah kotak infaq atau organisasi untuk Ashabus Suffah dan yang semisal dengan Ashabus Suffah”. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangi tamu maka beliau mengirim tamu itu kepada keluarga-keluarga beliau, maka beliau tidak mendapatkan sesuatu kecuali air. Setiap istri beliau berkata, “Demi Allah kami tidak memiliki sesuatu keculai air,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapa yang hendak menjamu tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” maka dibawalah dia oleh salah seorang shahabat beliau dan ia diberi makan makanan anak kecil. (Hadist tersebut di dalam As-Shahihain dari hadist Abu Hurairah, Al-Bukhari 4889 dan Muslim 2094)
Janganlah salah satu di antara kalian merasa gentar dan takut untuk mengatakan kebenaran. Demi Allah organisasi-organisasi ini tidaklah datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya katakan ini dengan terus terang!! Ia tidaklah datang kecuali dari orang-orang yang menganggap baik dalam agama mereka. Mereka tidak memiliki syara’ yang benar yang mereka jalani di dalam agama mereka. Karena itu mereka mendatangkan sesuatu dari mereka sendiri untuk mereka jalani seperti Jam’iyyah Yunus, organisasi ini, organisasi itu. Adapun kita, maka agama kita adalah agama rahmah dan agama kita adalah agama yang benar, memberi hak pada setiap yang berhak mendapatkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا»
“Seorang mukmin dan mukmin yang lain ibarat bangunan. Yang mana sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain.” (Hadits Abu Musa Al Asy’ari, Bukhari 481 dan Muslim 2585)
«مثل الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ»
“Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam menyayangi dan mencintai sesama mereka seperti satu jasad.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Nu’man bin Basyir)
Sedangkan agama kita adalah agama yang mensyariatkan zakat, sedekah, dan berbuat baik kepada orang tua dan memberi hak tetangga, hak persaudaraan dan memuliakan tamu, maka kita tidak butuh terhadap organisasi semacam ini. Kita berjalan di atas jalan salaf kita –rahimahumullah-.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 25 Jumadi Tsaniyah 1424 H)
Hukum Proposal Permohonan Dana
Soal :
Kami memiliki sebuah madrasah untuk anak-anak (TK) laki-laki dan perempuan. Usia mereka berkisar antara 5–12 tahun. Mereka adalah putra-puti salafiyyiin. Pengajarnya dari tamatan Al Jami’ah Al Islamiyah. Praktek belajar mengajar di satu lokasi dengan hijab di antara pelajar. Dan perlu diketahui bahwa madrasah ini tidak berkaitan dengan pemerintah. Pertanyaan kami : Apakah boleh bagi kami untuk mengumpulkan dana dari ikhwah Salafiyyah khususnya untuk mengelola madrasah satu-satunya milik kami tersebut?
Jawab :
Adapun yang berkaitan dengan pengajaran anak-anak kecil hendaknya dilakukan dari belakang tabir (hijab) sekiranya tidak terjadi campur baur antara anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, baik ketika naik atau turun, keluar atau masuk, masing-masingnya dibuat tempat tersendiri. Apabila ketika masuk dan keluar terjadi ikhtilath, maka tidak dibenarkan.
Adapun bila usia mereka 12 tahun, maka tidak dibenarkan kalau dikategorikan masih kecil. Berapa banyak anak perempuan yang seusia ini sudah menikah, bahkan kalau toh mereka masih kecil, tidak dinasihatkan untuk melakukannya karena ini merupakan tangga fitnah, sebagaimana yang telah kami terangkan dalam kesempatan yang lalu yang intinya bahwa perkara ini adalah dari praktek orang-orang barat dan propaganda mereka agar anak-anak terbiasa dengan kebatilan dan kemungkaran dan seterusnya. Adapun apabila tidak terjadi ikhtilath maka baik-baik saja sebagaimana disebutkan dalam soal sehingga tidak terjadi fitnah di antara laki-laki dan perempuan.
Kalau mengajarnya lewat pengeras suara atau yang lainnya dari alat yang bisa menyampaikan suara kepada mereka, maka alangkah baiknya.
Perkara kedua, kami menasihatkan kepada yang berniat untuk mengulurkan dananya kepada mereka, maka mudah-mudahan Allah memberinya pahala. Adapun apabila kita berjalan dari pintu ke pintu orang menyodorkan proposal, bahwa kita mengelola madrasah yang diajarkan di dalamnya pelajaran ini dan itu kemudian mereka memberikan dananya (karena sodoran ini), maka hendaknya dijauhi perkara yang seperti ini.
Dan orang yang berniat untuk berbuat naik akan menyalurkan dananya kepada mereka (tanpa diminta). Allah berfirman:
﴿ فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ * لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ ﴾ [الغاشية:21-22]
“Dan berilah peringatan, karena engkau hanya sebagai pemberi peringatan dan bukanlah penguasa mereka.“ (Al Ghosiyah 21-22)
﴿ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ﴾ [فاطر:8]
“Dan janganlah kamu bawa dirimu kepada kegundahan atas mereka.“ ( Fathir 8)
Yang Allah kehendaki kebaikan akan disampaikan.
Allah berfirman :
﴿ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ ﴾ [آل عمران:154]
“Katakanlah sesungguhnya semua perkara milik Allah.” (Ali Imron:154)
﴿ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ ﴾ [الروم:4]
“Milik Allahlah perkara, sebelum dan sesudahnya.” (Ar Rum:4)
﴿ قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ [آل عمران:26]
“Katakanlah, Ya Allah, Engkaulah Pemilik kekuasaan. Engkau memberi kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan yang Engkau kehendaki. Di TanganMu lah semua kebaikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imron:26)
Maka kebaikan hanyalah di tanganNya.
Inilah intinya. Jangan kamu melelahkan dirimu dan menghinakan diri, merunduk-runduk menganjurkan orang untuk jadi donatur. Kewajibanmu sekedar mengingatkan kebaikan yang ada. Contohnya, anjurkan kepada ilmu, keutamaan ilmu dan semisalnya, dan manusia akan menyalurkan dananya insya Allah (tanpa kalian minta).
(Al As’ilah Salafiyyah Al Malaiziah)
Dakwah Dengan Memakai Kartu Resmi
Soal :
Dakwah di daerah kami dilarang kecuali dengan kartu resmi atau izin resmi dari pemerintah. Apa yang Syaikh nasihatkan kepada kami?
Jawab :
Bertakwalah semampumu!
﴿ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا ﴾ [البقرة:286]
“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (Al Baqaroh:286)
Maka tidak diragukan lagi bahwa seseorang bisa berdakwah di mobil tidak ada yang membungkam mulutnya di mobil, begitu pula di rumahnya. Demi Allah, kalaulah tidak bisa mengajari kecuali keluarganya, maka dia digolongkan orang yang beruntung dan berhasil dan termasuk da’i kepada Allah. Dan dia telah menghasilkan kebaikan. Dakwah kepada yang datang berziarah ke rumahnya atau lewat telepon atau yang lainnya.
Allah taala berfirman:
﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن:16]
“Bertakwalah semampu kalian” (At Taghobun:16)
Dan apabila mampu untuk menulis dan mengarang, hendaklah menulis yang bermanfaat bagi manusia dan menyebarkannya dan mengarahkan manusia ke tempat mencari ilmu yang bermanfaat. Dan barangsiapa yang memberinya kartu ijin untuk dakwah kepada Allah ambillah, dan bila tidak dikasih atau mereka mewajibkan dengan sebagian perkara yang menyelisihi atau memberikan beban materi yang memberatkannya maka berdakwahlah kepada Allah seperti yang kami sebutkan tadi dengan tetap menjaga sopan santun dan lemah lembut dan menetapi sebab-sebab diterimanya dakwah dari sisi ilmu dan sunnah, wabillahittaufiq.
(Al As’ilah Malaiziah)
Hati-Hati Terhadap Jam’iyyat
Soal :
Berkaitan dengan perkara pondok, terkadang kami sangat membutuhkan dana dan sangat sulit bagi kami untuk mengumpulkannya. Sementara tidak ada donatur tetap yang menopang dakwah kita dengan kesadaran pribadinya. Apakah boleh bagi kami untuk memberi semangat manusia untuk berinfak dan kita mengambil sebagian harta dari mereka tanpa batasan tertentu dengan tujuan ini?
Jawab :
Mereka boleh menganjurkan berbuat kebajikan berupa sedekah, atau infak pada khutbah umum, sebagaimana yang telah diperbuat oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam ketika datang orang-orang fakir kepada beliau. Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menganjurkan para shahabat ridhwanullah ‘alaihim, untuk bersedekah kepada mereka.
Tetapi awas! Hati-hati jangan sampai kalian mendirikan yayasan (jam’iyah) atau kotak-kotak sumbangan seperti yang dilakukan oleh hizbiyyin. Jauhilah perkara ini!
(Al As’ilah Malaiziah)
Bahayanya Jam’iyyah dan yang Sejenisnya
1. Bukan termasuk jalan yang ditempuh oleh para salafush sholeh dalam berdakwah.
2. Menyibukkan dari menuntut ilmu.
3. Menghinakan diri dengan cara mencari atau meminta-minta bantuan dana.
4. Bermudah-mudahan dalam muamalah dengan bank-bank ribawi dalam penyimpanan uang atau penyalurannya.
5. Membangun loyalitas dan kebencian (al wala’ wal bara’) di atas dasar kesesuaian dengan apa yang mereka lakukan.
6. Bermudah-mudahan dalam pembuatan gambar-gambar bernyawa.
7. Bermudah-mudahan dalam kedustaan dan pengkaburan masalah dalam dakwah dan istihsanat tanpa dalil.
8. Mengandung unsur intikhobat (pemungutan suara).
9. Menyembunyikan permusuhan terhadap dakwah Salafiyyah.
10. Menempatkan harta Allah bukan pada tempatnya.
11. Banyaknya meremehkan permasalahan agama.
(Mudzakaroh dalam dars ba’da magrib, 1 Robiul Awwal 1425 H)
Penyelenggaraan Pertemuan Di Hotel
Soal :
As-Salafiyyun mengadakan pertemuan-pertemuan, dan sebagian pertemuan mereka diselenggarakan di hotel/di tempat-tempat yang jauh dari pandangan manusia dengan tujuan menjaga keselamatan mereka/lainnya. Bagaimana pendapat Asy Syaikh dalam masalah ini? Jazaakumullah khairan.
Jawab :
Dalam keadaan seperti ini tuduhan-tuduhan akan mengikuti kalian, karena pemerintah jika melihat orang yang sembunyi-sembunyi mereka merasa curiga dengan hal tersebut. Mereka akan berkata, “Ada apa di belakang pertemuan tersebut? Kenapa sembunyi-sembunyi? Seandainya di atas kebenaran, pasti dia akan menyampaikannya dengan terang-terangan.”
Allah berfirman:
﴿فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ . إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئينَ ﴾ [الحجر:94-95]
“Maka sampaikanlah dengan terang-terangan apa-apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sungguh Kami memeliharamu dari orang-orang yang mengolok-mengolokmu.” (Al Hijr 94-95)
Telah sampai kabar kepada kami, bahwa sebagian orang (ketika terjadi fitnah Usamah bin Ladin) pergi dan mencukur jenggot mereka, dikarenakan takut tertuduh “teroris.” Karena perbuatan tersebut, pihak pemerintah mengikuti gerak-gerik mereka yang terkadang menimbulkan berbagai macam kesulitan bagi mereka sendiri.
Begitu pula apa yang terjadi pada mahasiswa Universitas Al Iman, pada hari-hari terjadi ancaman dari Amerika bahwasanya mereka akan menyerang dan menduduki Yaman, terutama tempat-tempat pendidikan, tiba-tiba mereka memakai celana pantaloon dan mencukur jenggot mereka serta memendekkannya. Mereka turun ke jalan seakan-akan keluar dari Universitas Sirbon (di Perancis).
Dan mereka berkata, ”Ini adalah siyasah syar’iah, agar tidak dimata-matai.” Berpalinglah dari siasat-siasat seperti ini!
الحق أحق أن يتبع
“Kebenaran lebih berhak untuk diikuti”
Ahlu Sunnah tidak mempunyai sesuatu yang disembunyikan dalam dakwah. Dan tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk menangkap mereka dan pemerintah tidak perlu merasa takut dari metode dakwah mereka.
Memang benar, seseorang merahasiakan sesuatu dengan dan berbicara rahasia kepada temannya atau pada saudaranya (seperti ketika ada tamu, kemudian minta agar dibelikan sesuatu untuk tamu dengan tanpa sepengetahuan tamunya).
Dan masalah rahasia, telah tetap dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam telah berbicara rahasia kepada Fatimah (HR Al Bukhari 6285 dan Muslim 2450 dari Aisyah radhiallahu ‘anha). Begitu juga kepada Anas radhiallahu ‘anhu (HR Muslim 2482 dan Bukhari secara ringkas 6283)
Akan tetapi tidak dengan model yang tercela dan hina ini, sembunyi-sembunyi dan lain-lainnya dari metode dakwah ikhwanul muslimin. Satu orang datang dari pintu ini dan yang lain dari pintu yang lain dan berkata, “Kamu parkir mobil sebelah sana dan kamu sebelah sana.
“Apa yang ada pada mereka? Apakah mereka punya bom? Atau apa?”
“Mereka hanyalah para pekerja, atau mereka hanya belajar beberapa buah kitab pergerakan kepada seseorang.”
Akan tetapi semuanya tersebut adalah omong kosongnya Ikhwan Muslimin. Dan pemerintah juga tanggap dengan hal tersebut. Mereka berkata, “Pasti ada sesuatu pada mereka.” Dan terkadang istrinya sendiri yang sedang memasak di rumah, menjadi mata-mata untuknya (memata-matainya dan memberi kabar tentangnya satu persatu, secara berurutan), dan terkadang anaknya dan tetangganya atau teman rahasianya.
Ya Akhi, jadikanlah pada dirimu bahwasanya kamu tidak peduli dengan mata-mata. Lupakan mereka! Apa yang bisa mereka perbuat dengan Al Kitab dan As Sunnah? Mereka datang untuk belajar.
Apa yang ada pada Ahlu Sunnah? Tidak ada pada mereka kecuali Al Kitab dan As Sunnah, Al Hadits. Mereka menyampaikannya di atas mimbar dan menyebutkannya di setiap tempat. Siapkan diri kalian untuk mengatakan kebenaran! Kalian sampaikan di depan hakim, di depan pemerintah dan di depan masyarakat. Dan kalian seru semua manusia kepadanya.
Allah berfirman:
﴿ ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً ﴾ [البقرة:208]
“Masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh” (Al Baqarah:208)
Maksudnya, ambillah Islam dari semua segi.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 26 Jumadi Tsani 1424 H)
Pertanyaan Tentang Majalah dan Surat Kabar
Soal :
Sebagian da’i salafy menyebarkan majalah, surat kabar, dan surat-surat ederan (seperti bulletin dan sejenisnya) setiap pekan sebagai sarana dakwah. Apa pendapat Asy Syaikh dalam perkara ini? Dimana sebagian majalah itu adalah resep makanan, memperbaiki perkakas pakaian, mengajari mainan untuk anak-anak dan selain itu. Semoga Allah memberkahi anda.
Jawab :
Apa? Mendakwahkan resep makanan dan membuat permainan, bukanlah itu bagian dari dakwah. Jika mereka menyebarkan sarana dakwah seyogyanya seseorang berkata di antara manusia dengan mengatakan, “Seruan kami (Dakwah kami), menyeru kepada kitabullah dan sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami memiliki pelajaran-pelajaran seperti Shohih Al Bukhari bagi mereka yang ingin mengajari anaknya dan mengambil faidah darinya. Demikian juga Shohih Muslim. Kitab yang lebih rendah dari pada ini, seperti Qoulul Mufid, atau Lum’atul I’tiqod, atau pelajaran menulis atau tajwid.” Maka tidak mengapa menyebarkan apa yang mereka miliki kepada manusia, sehingga mereka mengenalnya. Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia seperti pelakunya.
Yusuf ‘alaihi salam berkata :
﴿ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ﴾ [يوسف:55]
“Jadikanlah aku bendaharawan Negara (mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf 55)
Hal ini bagian dari bab menunjukkan kebaikan. Adapun majalah resep makanan, lebih utama ditinggalkan. Dan resep makanan serta pelajaran mainan anak-anak, bukanlah bagian dari sarana dakwah, bahkan itu termasuk sarana dunia belaka.
Soal :
Kami (ikhwan Indonesia), memiliki majalah untuk salafiyyun. Di dalamnya ada materi khusus bagi wanita, dan bagian ini memiliki pimpinan redaksi wanita yang memimpinnya. Juga kami memiliki madrasah untuk anak-anak perempuan atau pondok pesantren untuk mereka. Dan diangkat pemimpin wanita untuknya. Apakah seperti ini tergolong dalam hadits Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan perkara mereka kepada wanita?” Jazaakumullah khairan.
Jawab :
Wanita menjadi pemimpin ma’had bagi wanita? Jika wanita mengajar wanita dengan kadar kemampuannya ini adalah perkara yang baik, tanpa ada julukan-julukan “Mudirah”, “Roisah”, “Fandamah”. Dan demi Allah, tidak butuh kepada yang demikian itu. Sebaliknya wanita mengajar wanita dan mengarahkan mereka kepada kebaikan maka ini adalah perkara yang baik. Adapun embel-embel dan julukan pemimpin wanita “Roisah atau Mudirah” ini tidak baik. Karena Allah menyuruh kita bersaudara, Allah berfirman :
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ﴾ [الحجرات:10]
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Al hujuraat:10)
Dan juga masuk dalam bab ini firman Allah ta’ala:
﴿وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [الحج:77]
“Dan berbuat baiklah kalian, niscaya kalian beruntung.” (Al Hajj:77)
Wahai saudaraku, majalah ini menyibukkan. Katakan kepada mereka, “Carilah ilmu dari Al Kitab dan As Sunnah!” Dan barangsiapa yang memiliki ilmu yang berguna, tularkanlah kepada orang-orang yang mencari faidah dari saudara-saudara mereka atau kepada ahli ilmu di negeri mereka yang senantiasa menyebarkan ilmu kepada manusia dengan jalan menulis risalah dan buku (kitab). Adapun majalah-majalah, surat-surat kabar itu akan menyibukkan diri-diri kalian, baik surat kabar wanita, maupun surat kabar laki-laki. Juga di antara majalah tersebut ada yang memuat bagaimana memasak seperti yang baru saja ditanyakan, sisi pembahasan (rubrik) bagaimana anda memasak. Kalian tidak butuh memberitahu bagaimana memasak! Wanita-wanita tua kita itu tahu cara memasak yang enak.
(Al As’ilah Al Indonisiah 2 Ramadhon 1424H)
Berdakwah Lewat Majalah
Soal :
Bagaimana pendapat Asy Syaikh tentang dakwah lewat majalah atau surat kabar? Dan kenapa majalah ini tidak ada di ma’had yang diberkahi ini (Dammaj)?
Jawab :
Dakwah dengan majalah dan surat kabar adalah dakwah yang lemah dan tertentu waktunya. Benar, dakwah dengan majalah mengandung sikap memaksakan diri, melakukan sesuatu di luar kemampuannya (takalluf), dan menyia-nyiakan waktu penuntut ilmu jika dia tidak bisa mengupayakan dirinya mendatangi (mencari ilmu).
Terkadang seorang penulis berupaya merangkai beberapa materi dalam waktu sehari atau dua hari, dan sibuk dengan hal demikian itu. Kemudian setelah itu majalah atau surat kabar itu diambil kemudian dibuang ke tong sampah dan kamu menjadi sebab terjadinya sikap menghinakan terhadap dalil-dalil yang tercantum padanya, baik dari Al Qur’an atau dari As Sunnah atau dari keduanya.
Adapun dakwah dengan kitab, buku, kaset, dan lisan, maka cara dakwah ini menjaga ilmu. Jika engkau menulis kitab, barangkali kitab itu terjaga sampai waktu yang dikehendaki Allah. Dia terjaga di dalam maktabah (perpustakaan), tidak dibuang di jalan manapun. Jika seseorang mendapati lembaran dari kitab di jalan, mereka mengambilnya dan berkata ini kitab seperti ini dan seperti ini.
Benar, begitu juga dakwah dengan kaset, terlebih lagi dengan kaset-kaset yang ada, yang telah tersebar luas dan beredar di antara manusia. Alhamdulillah, tidak ada sikap penghinaan di dalamnya di mana ketika ada yang terputus darinya, maka orang menyelamatkannya dari syiar agama.
Dakwah dengan lisan yaitu dengan berdiri di depan manusia ketika mengajari mereka serta duduk di depan mereka sehingga ilmu itu tersebar. Seperti ini dikatakan oleh Umar bin Abdul ‘Aziz ketika menulis risalah kepada ‘Amr bin Hazm. Ini adalah sarana dakwah yang terbaik. Adapun surat-surat kabar itu adalah barang dagangan orang-orang sufi, ikhwanul muslimin dan pengikut pemikiran Sayyid Qutb (Qutbiyun). Mereka adalah orang-orang pengangguran, sedangkan kalian (Salafiyyun) bukanlah pengangguran. Barang dagangan di sisi kalian tidak akan rusak.
Kalian mungkin dapat menyebarkan ilmu kalian dalam kitab-kitab Ahlu Sunnah, dan kalian lebih baik dari pada pemilik majalah dan surat-surat kabar, sampaipun berupa lembaran-lembaran yang terlipat seperti bulletin, kami tidak mendorong berdakwah dengannya dan menyebarkannya. Karena ia akan terputus dan tersia-sia dan sekalipun sudah banyak tersebar luas, tapi ia menyia-nyiakan sesuatu yang terjaga. Berbeda ketika makalah tersebut tertera di dalam risalah, dan alhamdulillah kami tidak memiliki sedikit pun dari perkara ini kecuali terbukukan, terjaga dan bermanfaat bagi manusia, dan ia memiliki bobot di kalangan manusia, mereka mengatakan telah terbit buku ini dan itu. Maka ini lebih baik dan lebih bermanfaat.
Kami nasihati saudara-saudara kami, hendaklah mereka mencurahkan sepenuhnya untuk ilmu. Baik dengan menghafal, muroja’ah (mengulang pelajaran), mengajar, berdakwah, melakukan pembahasan dan penelitian serta pertanyaan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menulis maka lakukanlah. Dan tinggalkanlah majalah-majalah dan surat-surat kabar untuk mereka para penganggur yang terkadang majalah mereka di kemudian hari menjadi bungkus ikan atau ayam panggang atau yang lainnya sedangkan kitabmu terjaga rapi. Allahul Muwaffiq.
(Al As’ilah Al Indonisiah 29 Rojab 1425 H)
Hukum Menulis Slogan “Salafy” Pada Kaos dan Yang Lainnya
Soal :
Apakah hukum penulisan ‘Salafy’ atau ‘Ahlu Sunnah’ atau ‘Ath Thoifah Al Manshurah’ dan yang sejenisnya pada kaos atau lembaran kertas atau yang lainnya kemudian ditempelkan di mobil-mobil, dinding-dinding, di pintu, dan yang lainnya? Jazaakumullah khairan
Jawab :
As Sunnah bukanlah iklan atau pamflet atau model baju. Allah Ta’ala berfirman:
﴿لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءاً يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيّاً وَلا نَصِيراً﴾ [النساء:123]
“Bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan angan-angan ahlul kitab. Barangsiapa yang melakukan kejelekan dia akan dibalas dengannya dan dia tidak mendapatkan baginya seorang penolongpun.” (An Nisa 123)
Sebagian saudara kita ingin melakukan hal tersebut di sini (Dammaj, pent) (dan dia termasuk saudara kita yang baik). Dia ingin membuat pulpen dan di tulis padanya ”Darul Hadits”. Akan tetapi kami tidak menyetujui hal tersebut, dan kami katakan, “Dakwah kita tersebar dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Begitu pula dengan kitab-kitab dan kaset-kaset. Dan tidak tersebar dengan pamfle-pamflet dan iklan-iklan seperti sabun, minyak, biskuit dan selainnya dari perkara dunia.”
Hal ini tidak dibutuhkan. Cukup dengan menerangkan dakwah, dan orang-orang akan tahu bahwasanya itu adalah As Salafiyyah, besok ataupun lusa.
Ya Akhi! Kamu jangan terburu-buru untuk memetik buah dengan perkataanmu, “Orang-orang menginginkan ini.”
Hal seperti ini tidak pantas. Jauhilah oleh kalian hal seperti ini! Baik pada kaos, pada dinding, mobil, semuanya tidak ditulis padanya pamflet-pamflet ini. Dan cukup dikenal dengan perbuatan. Dakwah Salafiyyah dikenal dengan perbuatan bukan semata-mata perkataan. Orang-orang melihat pada perbuatan dan tidak melihat pada perhiasan dan perkataan. Mereka sudah jenuh dari bualan.
Terkadang datang seorang sufi dan dia menulis pada kaosnya, jasnya, dan jubahnya “As Salafy” atau “Shohibus Sunnah.” Apakah hal ini cukup? Demi Allah, jika mereka melanjutkan hal ini, orang-orang sufi akan menulis pada papan dan dinding-dinding mereka, dan akan menipu manusia. Orang-orang akan melihat pada mereka yang mengenakan kaos tersebut dan mengikutinya karena dia menyangka dia itu salafy. Dengan demikian kalian berdosa karena kalian yang membuat contoh yang tidak disyariatkan. Allahul Musta’an!!
(Al As’ilah Al Indonisiah 26 Jumadi Tsaniah 1424H)
Penerjemahan Kitab-kitab Salaf untuk Tujuan Dakwah dan Mencari Penghasilan
Soal :
Beberapa ikhwah salafiyin di Indonesia menerjemahkan kitab-kitab salaf ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan dakwah dan mencari penghasilan (mata pencaharian). Apakah hal tersebut diperbolehkan?
Jawab :
Boleh, dan bahkan patut disyukuri. Kita berharap agar penerjemah mendapat pahala. Yang terpenting adalah mencari pahala di sisi Allah Ta’ala. Sebagian orang tidak memahami bahasa arab, bahkan kebanyakannya. Kecuali yang mempelajarinya dan tholibul ‘ilmi, atau yang semisal mereka dari orang-orang yang memiliki wawasan tentang bahasa arab. Maka keadaan mereka yang seperti ini (tidak paham bahasa arab) bagaimana kalian menyadarkan dan memahamkan (dengan bahasa arab bagi yang tidak memahami bahasa arab) atau mengajari mereka. Justru sering kali sebuah kitab, lebih cepat sampai kepada mereka dibanding kalian, lebih-lebih kitab kecil. Oleh karena itu terjemahkanlah kitab-kitab yang bagus (bermutu) dalam masalah aqidah dan tauhid kemudian disebarkan di kalangan masyarakat baik secara gratis maupun diperjual belikan, sehingga dibaca dan dipahami. Maka ini merupakan dakwah di jalan Allah dengan niat ikhlas dalam mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dan semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan.
Akan tetapi hendaknya berhati-hati dan teliti. Tidak menerjemahkan kitab-kitab salaf yang di sana ada kekeliruan, seperti Ar Risalah Al Wafiah yang ditulis oleh Abu Amr Ad Dani. Kecuali kalau di sana (dalam buku terjemahan) ditulis peringatan-peringatan penting (berkaitan dengan kesalahan di dalam kitab). Contoh lain Lum’atul I’tiqod, di dalamnya ada hal-hal yang perlu diperingatkan. Kalau menerjemahkannya, hendaknya dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyelisihan (terhadap aqidah salaf) dalam masalah tafwidh (menyerahkan makna sifat-sifat Allah kepadaNya dan mengatakan bahwa manusia tidak memahaminya, paham tafwidh ini menyelisihi aqidah salaf, pent). Contoh lain lagi At Thohawiyah, kalau menerjemahkannya, hendaknya disertai peringatan-peringatan dari Asy Syaikh Ibn Baaz rahimahullah dan tidak menerjemahkan semuanya atau membiarkan begitu saja tanpa peringatan (terhadap kesalahan di dalamnya).
Hendaknya penerjemah betul-betul memperhatikan hal-hal yang bermanfaat bagi muslimin. Kita bergembira dengan penerjemahan Kitab At Tauhid yang ditulis Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dan penerjemah memiliki kemampuan dalam menjelaskan hadits-hadits dho’if kepada masyarakat. Ini patut disyukuri. Penerjemah menyertakan perkataan para imam secara singkat dengan berhati-hati dan teliti dengan benar-benar meyakinkan tentang kelemahannya (hadits). Kemudian menulis di depannya dho’if, shohih atau hasan dalam bahasa mereka. Hal ini merupakan kesempurnaan penghormatan atau perhatian terhadap sebuah kitab.
Tidak boleh menambah perkataan seorang imam dan menguranginya. Adapun meringkas perkataan, harus dengan berhati-hati dalam menguranginya. Adapun menambahinya tidaklah dibenarkan. Ini adalah dalam rangka nasihat untuk kaum muslimin. Dan alhamdulillah, kitab-kitab sunnah telah mendapatkan perhatian penuh.
Bertanya salah seorang tholibul ilmi, “Apakah ayat Al Qur’an diterjemahkan?”
Asy Syaikh menjawab :
Tidak diterjemahkan ayat (secara harfiah) tetapi diterjemahkan maknanya. Karena penerjemahan ayat secara harfiah berarti memindahkan Al Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa arab. Padahal Allah berfirman (berkaitan dengan Al Qur’an):
﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ ﴾ [الشعراء:195]
“Dengan bahasa arab yang fasih.” (As Syu’aro’:195)
Saya memandang, bahwa seorang penerjemah perlu mempelajari bahasa arab, ilmu hadits, dan mempelajari hal-hal yang bisa menambah pemahaman, dan kefaqihan dan juga mempelajari tafsir. Lebih-lebih belajar kepada orang yang mampu menentukan pendapat yang benar atau kuat dalam masalah tafsir atau yang lainnya (ketika ada khilaf) sehingga hasil terjemahannya benar-benar bermanfaat. Dan seyogyanya seorang penerjemah benar-benar mampu (dalam keilmuan).
Berkata seseorang :
Apakah jual beli kitab-kitab yang di terjemahkan oleh Ahlul Bid’ah dibolehkan?”
Jawab :
Alhamdulillah, Ahlu Sunnah banyak yang menerjemahkan (kitab salaf berbahasa arab). Mereka menerjemahkan sendiri, menyebarkannya dan tidak membutuhkan terjemahan ahlul bid’ah. Kita tidak mempropagandakan terjemahan mereka. Karena terkadang mereka menyelipkan kata-kata yang kita tidak ketahui. Dan kita tidak merasa aman dari mereka-mereka para penipu dari ahlul ahwa’.
Penggunaan Penanggalan Miladi (Masehi) dan Jam Zawali (berdasarkan tergelincirnya matahari)
Soal :
Apakah penggunaan penanggalan miladi (masehi) dan demikian juga jam zawali (berdasarkan tergelincirnya matahari) termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir?
Jawab :
Penanggalan miladi dan jam zawali, kami menasihatkan untuk meninggalkannya, dan kami menasihatkan untuk mempergunakan penanggalan hijri dan jam ghurubi (berdasarkan terbenamnya matahari).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً»
“Hari Jum’at itu dua belas jam” ( )
Dan orang yang melihat bahwasanya waktu ghurubi itu sesuai dengan hadits ini. Maka (berdasarkan waktu ghurubi, ed) dzuhur (tengah hari) pukul 6 atau sekitar itu. Adapun yang terkait dengan penanggalan miladi, maka hal itu menyelisihi ijma’ (kesepakatan umat), karena sesungguhnya Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu, Abu Musa radhiallahu ‘anhu menulis surat kepadanya dan berkata “Datang kepada kami surat anda dan tidak tercantum di situ tanggal.” Maka Umar radhiallahu anhu mengumpulkan orang-orang dan mengajak mereka bermusyawarah tentang masalah itu. Maka sebagian mereka berkata, “Penanggalan dimulai dari diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Dan sebagian lagi berkata, “Penanggalan dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dikarenakan dengan hijrah itulah Allah menolong NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam menjadi tersebar.” Dan Umar radhiallahu ‘anhu meridhai ucapan ini. Maka beliau menjadikan penanggalan itu dari hijrahnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah.
Kalau demikian, seandainya penggunaan tanggal miladi diperbolehkan, niscaya tidak perlu beliau mengumpulkan orang-orang dan mereka memperhatikan masalah ini. Maka berdasarkan hal ini, jika memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, syariat beliau menghapus seluruh syariat yang ada, jadilah kelahiran rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau hijrah beliau itu menjadi penghapus syariat yang telah lalu.
Allah Ta’ala berfirman :
﴿ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً ﴾ [المائدة:48]
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang telah diturunkan sebelumnya, yaitu kitab-kitab, dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab tersebut. Maka putuskanlah perkara mereka, menurut apa yang telah Allah turunkan kepadamu, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan apa yang telah datang kepadamu berupa kebenaran. Untuk setiap umat di antara kalian, Kami jadikan aturan dan jalan yang terang.” (Al Maidah 48).
Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata :
« لاَ يَسْمَعُ بِي يَهُودِيّ وَلاَ نَصْرَانِيّ ثُمّ لاَ يُؤْمِنُ بي إِلاّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النّارِ»
“Tidaklah seorang Yahudi ataupun Nasrani mendengar tentang diriku, kemudian tidak mau beriman kepadaku kecuali dia termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim 153 dari Abu Hurairah)
Dan beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata :
« أَنَا سَيّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ولاَ فَحْر »
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat, tanpa ada kesombongan.” (HR Bukhari 7412 dan Muslim 194 dari Abu Hurairah).
Maka dari keumuman dan juga kekhususan dalil-dalil ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh menggunakan penanggalan miladi, kecuali jika seseorang itu butuh untuk menjelaskan hal itu bersamaan dengan dibencinya hal tersebut dikarenakan keadaan mereka, yang tidak mengenal penanggalan kecuali penangggalan miladi. Berdasarkan dengan dibencinya hal tersebut.
Adapun orang-orang yang terus menerus memakainya sampai hampir-hampir penanggalan hijri itu terlupakan maka ini merupakan suatu kesalahan dan tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir dalam penanggalan mereka.
«مَنْ تَشَبّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk golongan mereka” (Hadits ini dari jalur Abul Mutsanna Al Jurosyi. Kami tidak melihat adanya ulama yang mentsiqohkannya hanya saja para ulama menerima hadits ini. Yakni, Syaikhul Islam menghukumi hadits ini dengan jayyid (bagus) sebagaimana dalam Iqtidho Sirotul Mustaqim dan lain-lain.
Maka jelaslah bahwasanya hadits ini bisa dipakai sebagai hujjah.
(Al As’ilah Al Imaratiah)
Hukum Mengunjungi Tempat Bersejarah dan Museum
Soal:
Apakah hukum berziarah ke tempat bersejarah seperti museum, patung-patung, tempat-tempat ibadah dan semacamnya dengan tujuan rekreasi dan mengambil pelajaran serta merenungkan kesesatan yang ada pada mereka. Jazakallahu khairan
Jawab:
Museum-museum di dalamnya banyak patung, terutama museum orang kafir. Maka siapa yang mampu untuk menghancurkan patung tersebut ketika masuk dan saya kira hal itu tidak bisa dilakukan. Apabila tidak mampu sudah barang tentu tidak diperbolehkan. Adapun apabila dia pergi ke museum yang meninggalkan barang-barang kuno seperti pakaian, ataupun sandal-sandal besar yang mereka pakai atau barang-barang antik dan sesuatu yang dahulu mereka jadikan untuk pakaian unta atau kuda, maka ini tidak ada larangannya. Maka wajib atas muslim untuk tidak lalai dari dzikrullah. Di antara dalil atas perkara yang kami sebutkan adalah firman Allah Ta’ala:
﴿وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامً﴾ [الفرقان:72]
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kejahatan dan apabila melewati perkara yang tidak ada faedahnya, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan mereka.” (Al Furqan: 72)
Hal ini karena dia tidak mampu untuk merubah kemungkaran. Dalil lainnya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
« لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة»
“Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa malaikat tidak masuk dikarenakan adanya kemungkaran itu dan begitu pula pernah datang Jibril hendak masuk ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia melihat ada patung dan anak anjing, maka beliau berkata: “Penggallah kepala gambar-gambar ini dan suruhlah anjing itu keluar!” Dan Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu melihat kain-kain terpampang di atas dinding, maka beliau tadak masuk ke rumah orang yang mengundangnya untuk walimah. Dalil-dalil ini saya kira sudah mencukupi. Wabillahit taufiq.
(Al As’ilah Al Indonisiah)
Hukum Sepak bola Setiap Hari
Soal:
Apa hukum sepak bola dan apa yang Syaikh nasihatkan kepada Tholibul Ilmi di Imaarat yang mana mereka bermain bola setiap hari setelah Ashar sampai Maghrib?
Jawab:
Kalau sepak bola dalam keaadan menutup aurat dan tidak meninggalkan kewajiban syariat dan perkara yang dinilai secara syariat, maka dari sisi pengharaman kami tidak memiliki dalil dan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam pernah melihat orang Habasyah bermain di masjid, lalu beliau mengatakan: “Merendahlah, wahai Bani Arfidah!” Tetapi kalau bermain dalam keadaan membuka aurat seperti paha, sebagaimana dilakukan oleh para pemain (zaman sekarang) atau meninggalkan sholat dan meninggalkan sebagian perintah, maka ini kemungkaran.
Kami menasihati Ahlu Sunnah dan tholabatul `ilmi agar mereka menjaga waktu dalam ketaatan kepada Allah karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan:
«نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ» رواه البخاري
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia melupakannya, sehat dan waktu lapang.” (Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibnu Abbas di Kitab Ar Riqooq no. 6412)
Waktu dan umur itu adalah modal utama seorang manusia. Maka ambillah faidah dari umur tersebut. Sebagian salaf ada yang mengatakan: “Andaikata waktu itu bisa dibeli, maka aku akan membeli waktu itu dari mereka (yaitu sebagian manusia yang tidak memperhatikan waktunya).”
Adapun kalau tidak membuang waktunya, bahkan menjadikan olah raga sekadarnya untuk menambah semangat dalam menuntut ilmu atau yang lainnya serta menutup aurat dan menjaga perkara syar`i lainnya, maka boleh-boleh saja. Kalau seseorang terlalu banyak berolah raga, akan menimbulkan rasa penat badan, tetapi kalau tidak berolah raga terkadang capek juga dan menjadi malas, kadang otaknya tumpul dan terkadang menimbulkan rasa sakit atau yang lainnya. Saya sangat membenci bila waktu saya hilang. Tapi secara hukum syar`i maka hal tersebut boleh dengan syarat-syarat yang telah lewat dan tanpa adanya tasyabbuh dengan orang kafir dalam permainannya.
(Al As’ilah Imaratiyyah)
Hukum Menyemir Rambut dengan selain Warna Hitam
Soal :
Apakah menyemir rambut yang beruban dengan selain warna hitam itu sunnah yang dianjurkan ataukah hanya sekedar boleh?
Jawab :
Ya, hukumnya sunnah yang dianjurkan karena Rasulullah Ssallallahu `alaihi wa sallam melihat jenggot ayah Abu Bakar sudah memutih, maka beliau mengatakan:
«غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد»
“Rubahlah uban ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam.”( )
Maka merubah uban dengan selain warna hitam dengan daun pacar (hinna’), katam atau yang lainnya, hukumnya sunnah. Adapun dengan warna hitam maka dilarang dengan dalil perkataan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
«يكون قوم في آخر الزمان يخضبون بالسواد كحواصل الحمام لا يريحون رائحة الجنة»
“Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam seperti perut burung, mereka tidak akan mencium bau surga.”
Masalah lainnya, merubah dengan selain hitam yang menyerupai dan mengikuti orang kafir tidak boleh dan hendaknya dijauhi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«ومن تشبه بقوم فهو منهم»
“Siapa yang menyerupai dengan suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
(Al As’ilah Al Imaratiah, 6 Jumadil Awwal 1423 H)
Beramal di bawah Komandan Kafir
Soal:
Ada sebagian tentara mendapatkan perintah untuk pergi ke Afghanistan agar melakukan kegiatan di bawah komandan Amerika. Apakah boleh bagi mereka untuk berangkat? karena yang tidak mentaati perintah tersebut akan dipenjara.
Jawab:
Penjara lebih baik bagi mereka dari apa yang mereka serukan. Allah berfirman:
﴿ لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ ﴾ [المجادلة:22]
“Kalian tidak mendapatkan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mencintai orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya.” (Al-Mujadalah 22)
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَاداً فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة:1]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan orang kafir kekasih kalian dari selain orang yang beriman. Apakah kalian ingin mengadakan alasan yang jelas bagi Allah untuk menyiksamu?” (Al Mumtahanah:1)
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [المائدة:51]
“Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih kalian. Sebagian mereka menjadi kekasih bagi sebagian yang lain.” (Al-Maidah: 51)
Penjara lebih baik bagi mereka dari pada menolong dan membantu tentara Yahudi dan Nasrani (tentara Amerika). Dan termasuk dari pembatal Islam seseorang adalah menolong orang kafir untuk menyerang orang muslim, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan diikuti oleh Syaikh Bin Baaz dan yang lainnya dari para ulama.
Dan menjadi kewajiban tentara untuk menjauhi pekerjaan ini bersama orang-orang kafir karena mengakibatkan penghinaan orang kafir terhadap kaum muslimin. Allah berfirman:
﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ﴾ [المنافقون: 8]
“Dan hanya milik Allah kemuliaan itu dan milik rasul-Nya serta kaum mukminin.” (Al Munafiqun:8)
Dan juga mengakibatkan terlaksananya perintah kedurhakaan kepada Allah dan selain itu dari kerusakan. Wabillahit taufiq.
(Al As’lah Al Indonisiah, 3 Jumadis Tsaniyah 1425 H)
Hukum Bekerja di Kepolisian dan Ketentaraan
Soal :
Bagaimanakah hukum bekerja di kepolisaian dan ketentaraan dan juga apa hukum ucapan seorang prajurit kepada orang yang lebih tinggi pangkat dan jabatannya: “Wahai Tuanku.”?
Jawab :
Bekerja di kepolisian dan ketentaraan, jika tadak harus memakai pantaloon, juga tidak mencukur jenggot dan tidak mengerjakan perkara haram, tetapi mereka hanyalah melaksanakan ketaatan kepada pimpinan dalam pekerjaan tersebut, maka boleh saja, perkara yang baik. Keberadaan tentara dan polisi serta pengawal raja-raja tidak diingkari di kalangan salaf. Adapun bila mereka mengenakan pantaloon dan mencukur jenggot serta melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, maka perbuatan tersebut merupakan taklid kepada orang-orang kafir. Maka tidak diperbolehkan untuk bekerja di sana, jika keadaannya demikian.
Adapun ucapan seorang prajurit kepada seorang komandan: “Wahai Tuanku,” kalau dia merupaka tuan bagi kaumnya, maka memang dia seorang sayyid (pemimpin). Tetapi tidak sepantasnya dipanggil: “Wahai Tuanku.”
Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang Anshar: “Siapakah sayyid kalian, wahai Bani Salamah?” Mereka menjawab: “Jad bin Qais, hanya kami menganggapnya kikir. Beliau berkata: “Penyakit apa yang lebih berbahaya daripada kekikiran?! Justru pemimpin kalian adalah Amr bin Al Jamuh.” Dahulu Amr bin Jamuh adalah orang yang suka membantu walimah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad hal.111 dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash Shahihul Musnad 1/171) Ini menunjukkan bahwa ada sebagian manusia yang menjadi sayyid (tuan) pada kaumnya.
Adapun hadits:
«لا تقولوا للمنافق يا سيد؛ فإن يك سيدا أسخطتم ربكم»
“Janganlah kalian memanggil orang munafik: “Ya Sayyid” sekalipun dia seorang sayyid, kalian telah membuat murka Rabb kalian.”
Maka ini adalah hadits dha’if terputus sanadnya dari jalan Qatadah dari Abdullah bin Buraidah dan Qatadah tidak mendengar darinya.
Memang benar, ada di antara manusia yang menjadi pemimpin, baik orang yang terhormat atau orang jahat, karena sayyid secara bahasa adalah orang yang menguasai kaumnya. Tetapi ucapan mereka: “Wahai Tuanku,” hal itu tidak terdapat di zaman salaf. Mereka tidak mengatakan kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar, Utsman, Ali atau yang lainnya: “Wahai Tuanku…” Bahkan sesungguhnya ada seorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai orang terbaik kami dan anak terbaik kami dan tuan kami dan anak tuan kami,” maka Rasulullah menghardik sembari berkata: “Katakanlah dengan ucapan kalian yang pertama dan janganlah syaithan sampai menjalari kalian.” (HR. Abu Dawud 13/161 dari Abdullah bin Syahir bersama rombongan Bani Amir. Lihat Ash Shahihul Musnad 1417).
Rasulullah shallallhu a’laihi wa sallam melarang dari ucapan mereka tersebut. Berdasarkan itu semua, ucapan semacam ini hendaknya dijauhi bersamaan dengan kenyataan bahwasanya di kalangan manusia memang ada yang menjadi sayyid bagi kaumnya karena salaf tidak mengajak bicara pembesar mereka model pembicaraan seperti ini.
(Al As’ilah Al Imaratiah, 6 Jumadal Ula 1423H)
Menyimpan Senjata Di Rumah
Soal :
Pemerintah melarang masyarakat senjata api. Sedangkan dari sisi lain, pemerintah tidak mampu mengambil dari tangan mereka dengan sempurna, khususnya dari pihak Kristen. Mereka menggunakannya untuk menyerang kaum muslimin, jika mendapatkan kesempatan. Hal ini telah sering kali terjadi. Maka apakah boleh bagi kaum muslimin menyimpannya untuk membela diri jika mereka menyerang?
Jawab :
Pemerintah muslim bila tidak mampu menguasai orang-orang Kristen, sedangkan mereka menyerang kaum muslimin dengan senjata dari waktu ke waktu, tidak boleh senjata kaum muslimin dirampas dengan membiarkan senjata mereka (orang-orang Kristen tersebut) dan pemerintah tidak mampu membela kaum muslimin. Sesungguhnya perbuatan (merampas senjata muslim dan membiarkan senjata Kristen) termasuk membiarkan kekuatan kepada mereka. Allah berfirman:
﴿وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ﴾ [لأنفال:60]
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu dari kekuatan dan tambatkanlah kuda untuk berperang yang dengannya kalian menjadikan rasa takut kepada musuh Allah, musuh kalian dan selain mereka yang kalian tidak mengetahui sedangkan Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal:73)
Demikianlah, dan hendaknya diketahui bahwa penduduk sipil membawa senjata bukanlah hal yang diharamkan, bila dia membawa untuk membela diri atau sekedar untuk perhiasan. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata :
عن أبي موسى رضي الله عنه قال : قال النبيّ صلى الله عليه وسلم : «من مشى في شيء من أسواقنا ومساجدنا ومعه شيء من نبل، فليمسك على نصالها؛ أن يصيب أحدا من المسلمين»
“Barangsiapa yang berjalan melewati pasar dan masjid-masjid kami sedangkan dia membawa panah hendaklah dia memegangnya, khawatir akan menimpa seorang dari kaum muslim.” (Hadits Abu Musa Al Asy’ari diriwayatkan Bukhari 453)
عن عمرَو بنَ الحارثِ قال: «ما تَرَكَ النبيّ صلى الله عليه وسلم إلاّ بغلتَهُ البيضاءَ وسلاحَه»
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan meninggalkan baju perang, senjata, dan bighal berwarna putih. (Dari hadits ‘Amr bin Harits riwayat Bukhari 2873).
Maka yang layak bagi muslimin janganlah menjadikan bagi dirinya sasaran bagi orang-orang kafir untuk menghinakannya. Dan seorang mukmin hendaknya mempersiapkan apa yang bisa ia gunakan untuk membela diri.
﴿وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ﴾ [المنافقون: 8]
“Kemuliaan itu milik Allah, RasulNya dan orang-orang mu’min.” (Al Munafiqun:8)
Maka tidak boleh senjata orang muslim dirampas sedangkan orang Kristen diberi kesempatan dan kekuatan untuk menyerang muslimin dari waktu ke waktu dan dan kaum muslimin teraniaya karena hal tersebut.
Yang harus dilakukan oleh pemerintah, hendaklah senjata orang Kristen yang dirampas selama mereka di bawah pemerintah dan Negara. Dan merekalah yang seharusnya membayar jizyah (pajak) dalam keadaan r hina. Dan merekalah yang seharusnya dihinakan dan direndahkan. Senjata kaum muslimin tidak boleh dirampas sehingga kekuatan berada di pihak orang-orang kafir.
Perbedaan antara At Tawalli dan Muwaalah
Soal :
Apa perbedaan antara At-Tawalli dan Al-Muwaalah? Sebagian orang menyatakan adanya perbedaan di antara keduanya.
Jawab :
Allah Ta’ala berfirman :
﴿ اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ﴾ [البقرة:257]
“Allah adalah wali bagi orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir wali mereka adalah Thoghut.” (Al Baqarah 257)
Juga berfirman :
﴿ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ﴾ [المائدة:51]
“Dan barangsiapa dari kalian berwala’ kepada mereka maka sesungguhnya dia itu termasuk dari golongan mereka.” (Al Madiah 51)
Juga berfirman:
﴿ ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لا مَوْلَى لَهُمْ ﴾ [محمد:11]
“Yang demikian itu adalah dikarenakan Allah adalah maula bagi orang-orang yang beriman, dan bahwasanya orang-orang kafir itu tiada maula bagi mereka.” (Muhammad 11)
Juga berfirman:
﴿ مَا لَكُمْ مِنْ وَلاَيَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا )[لأنفال:72]
“Kalian tidak memiliki hubungan wala’ dengan mereka sedikit pun sampai mereka mau berhijrah.” (Al Anfal 72)
Juga berfirman dalam hadits qudsi :
“Barangsiapa memusuhi waliku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang dengannya.” (HR Al Bukhari 6502 dari Abu Hurairah).
Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata tentang sesuatu yang diberitakan oleh Allah tentangNya :
﴿ إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ ﴾ [لأعراف:196]
“Sesungguhnya waliku adalah Allah yang menurunkan Al Kitab, dan Dialah yang menjadi wali bagi para sholihin.” (Al A’raf 196)
Maka berdasarkan dalil-dalil ini, jelaslah bahwasanya At-Tawalli dan Al-Muwaalah itu satu makna. Dan barangsiapa membedakannya maka hendaknya dia mendatangkan bukti yang menunjukkan perbedaan tersebut. Aku tidak tahu apa maksud orang yang menginginkan pembedaan antara lafadz-lafadz ini. Apakah dia memaksudkan bolehnya Muwaalah dengan orang kafir dan tidak bolehnya perwalian kepada mereka. Atau bolehnya perwalian kepada orang kafir dan tidak bolehnya Muwaalah kepada mereka. Tiada dalil tentang ucapan ini.
(Al As’ilah Al Imaratiah)
HUKUM MEMAKAN MAKANAN AHLUL KITAB
Soal :
Bolehkah memakan makanan Ahlul Kitab? Dan bukankah Allah ta’ala berfirman:
﴿وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ﴾ [المائدة:5]
“Dan makanan orang-orang yang diberi Al Kitab halal untuk kalian, dan makanan kalian halal untuk mereka.” (Al Maidah 5)
Dan bagaimanakah kriterianya dalam masalah ini?
Jawab :
Hendaknya dia itu Kitabi (ahlul kitab) baik Yahudi ataupun Nasrani, dan menyebut nama Allah pada sembelihan mereka, dan menyembelihnya berdasarkan tata cara yang Islami. Kalau memang demikian, yaitu mereka masih berada pada agama Yahudi dan Nasrani mereka, berpegang teguh dengan agama tersebut dan menyebut nama Allah pada sembelihan mereka, dan menyembelihnya berdasarkan tata cara yang Islami, maka tentu makanan orang-orang yang diberi Al Kitab halal untuk kalian.
Yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan. Kalau tidak demikian, maka semata-mata nasi atau roti atau yang lainnya tidak haram untuk dimakan, jika datang dari sisi mereka, selama di dalamnya tiada perkara yang haram lainnya.
Yang dipermasalahkan sekarang adalah bila berupa sembelihan. Maka berikut ini kesimpulannya. Allah ta’ala berfirman:
﴿وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ﴾ [الأنعام:121]
“Dan janganlah kalian memakan sesuatu yang tidak disebutkan nama Allah padanya.” (Al An’am:121)
Jika ada seorang ahlul kitab menyembelih dan tidak menyebut nama Allah azza wa jalla, maka dia masuk di dalam larangan ini, baik dia itu kitabi ataupun bukan.
Dan dalil bahwasanya penyembelihan itu harus dengan tata cara Islami adalah firman Allah :
﴿إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ﴾ [الماءدة:3]
“kecuali yang kalian sembelih” (Al Maidah:3)
Adapun ucapan orang yang berkata, “Sesungguhnya semua yang datang dari negeri kuffar teranggap sebagai kitabi” adalah perkataan yang ngawur. Mereka sekarang adalah Zanadiqah dan Malahidah dari kalangan ‘Ilmaniyyin (sekuler). Mereka tak punya agama sama sekali tidak menyembelih berdasarkan tata cara Islami. Ini adalah perkara yang sudah terbukti. Ayam yang mereka jual dengan kepalanya mereka bunuh dengan sengatan listrik. Dan jika mereka ingin mengekspor keluar ke negeri-negeri Muslimin mereka potong kepalanya, sehingga disangka bahwasanya ayam tadi disembelih dengan tata cara Islami.
Terkadang tertulis pada sebagian ikan, “Ikan ini disembelih berdasarkan tata cara Islami” padahal ikan tidak perlu disembelih, dan memang bukan termasuk binatang sembelihan. Ini termasuk data yang menunjukkan bahwa mereka ingin melakukan talbis (pengkaburan hakikat) terhadap kaum muslimin.
Dan permasalahan ini telah dibahas pada sebagian risalah, (yakni) risalah tentang haramnya sembelihan-sembelihan nonmuslim. Dan saudara kita yang membahas masalah ini telah mengumpulkan pada risalah tersebut ucapan-ucapan para imam zaman ini tentang hal tersebut, dan hal ini ditulis setelah meneliti dan mencermati kejadian di sana, dan saya telah berjumpa dengan seorang yang dulu bekerja di peternakan ayam di pabrik-pabrik tersebut, dan dia memberitahuku bahwasanya mereka menyetrum ayam-ayam tersebut, dan bahwasanya mereka berdusta. Jika seorang dari petugas pemeriksa datang, mereka menampakkan di hadapannya sebagian ayam yang disembelih secara Islami, dan menampakkan padanya bahwasanya para pekerja di situ adalah muslimin.
Mereka adalah para pengkhianat. Mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan maupun perjanjian pada orang mukmin. Mereka tidak memiliki sifat amanah dalam hubungan mereka dengan Rabb mereka, maka bagaimana dengan amanah yang terkait dengan hubungan kaum muslimin pada masalah minuman atau makanan. Inilah kesimpulannya, bahwasanya ayam ataupun daging dengan berbagai jenisnya yang didatangkan dari negeri-negeri kuffar harus dihindari. Cukuplah daging-daging yang didatangkan dari negeri-negeri muslimin, karena agama mereka mencegah mereka untuk menyembelih dengan selain tata cara Islami. Walhamdulillah.
HUKUM MEMAKAN SEMBELIHAN ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Soal :
Bolehkah memakan sembelihan orang yang meninggalkan shalat ?
Jawab :
Sekumpulan ulama mengkafirkannya berdasarkan hadits Buraidah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa aalihi wa sallam berkata:
« العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة من تركها فقد كفر» أخرجه الترمذي
“Ikatan yang memisahkan antara kita dan mereka adalah sholat, barangsiapa meninggalkannya maka dia sungguh dia telah kafir.” (Hadits shohih diriwayatkan oleh At Tirmidzi)
Dan hadits yang semisalnya dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu dalam shohih Muslim, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa aalihi wa sallam berkata:
«بين الرجل وبين الشرك ترك الصلاة»
“Batas antara seseorang dengan syirik adalah meninggalkan sholat”
Berdasarkan perkataan tentang kafirnya orang tersebut, maka tidak boleh mengkonsumsi sembelihannya, karena dia itu kafir dan bukan ahli kitab.
Hukum Shalat di Belakang Mubtadi’
Soal :
Apakah sah shalat di belakang seorang ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu?
Jawab :
Selama belum dikafirkan atau selama belum mencapai batas kekufuran, maka mayoritas ulama mengatakan bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ tersebut -menjadi makmum baginya- sah. Dan barangsiapa tidak mau shalat di belakang mubtadi’ maka dia juga mubtadi’, yang aku maksudkan adalah barangsiapa tidak menganggap sahnya shalat tersebut. Adapun jika didapatkan seorang imam yang mustaqim (lurus agamanya) maka hendaknya dia shalat di belakang imam yang mustaqim tersebut, dan tidak boleh baginya untuk shalat di belakang mubtadi’ yang meninggalkan sunnah tersebut.
Hal ini dinukilkan oleh Ibnu Abil ‘Izz di Syarhuth Thawiyyah pada bagian ucapan: “Dan kami berpendapat untuk shalat di belakang orang yang baik maupun orang yang jahat, dari kalangan muslimin.” Dan hal itu merupakan ucapan mayoritas ulama sebagaimana kamu ketahui. Dan tinggallah dalil, yaitu hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang meludah ke kiblat masjid maka beliau berkata:
« لا يصل لكم هذا »
“Jangan sampai orang ini menjadi imam untuk shalat kalian.”
Padahal dia itu muslim, dan shalat di belakangnya sah. Akan tetapi dilihat siapakah yang lebih utama untuk kaum muslimin. (Al Hafidh Ibnu Hajar di Fathul Bari 2/69 di bawah hadits no 405, berkata, “Abu Daud dan Ibnu Hibban punya riwayat dari Hadits As Saib bin Kholad: “Bahwasanya ada seseorang yang mengimami suatu kaum lalu dia meludah ke kiblat. Ketika selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Janganlah orang ini mengimami sholat kalian.” (Al Hadits))
﴿وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً﴾[الفرقان:74]
“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Furqan 74)
Inilah kesimpulannya, bahwasanya shalat di belakang mubtadi’ selama bid’ahnya belum mencapai batasan kufur tetap sah. Adapun shalat di belakang seorang mubtadi’ yang kafir tidak sah. Juga shalat di belakang seorang mubtadi’ bersamaan dengan adanya seorang sunni padahal tak ada kesulitan untuk shalat di belakangnya, itulah yang afdhal, maka jadilah shalat di belakang mubtadi’ itu makruh, dan fatwa-fatwa tentang ini semuanya jelas dan condong kepada pendapat para Salaf -semoga Allah meridhai mereka semua-.
(Al As’lah Al Imaratiah)
>>> Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Kewanitaan
Hukum Wanita Mengendarai Sepeda Motor
Soal :
Apa hukumnya seorang wanita mengendarai sepeda motor atau menyetir mobilnya sendirian yang tentunya kondisi yang demikian dapat menyingkap bentuk tubuhnya disebabkan terpaan angin yang mengenainya ketika mengendarainya?
Jawab :
Benar, sesungguhnya hal-hal demikian akan dihadapi wanita tersebut -di saat menyetir mobilnya- berupa perkara-perkara baik kecelakaan atau sebagai bahan tontonan orang yang lewat atau di saat dia tidak mampu mengendarai kendaraannya dengan baik. Mereka sebagaimana perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam:
« ناقصات الدين والعقل »
“Kurang akal dan agamanya (yaitu wanita)”
Dan hal ini tidak diragukan lagi, sehingga terkadang apabila dihadapkan kepada wanita tersebut suatu peristiwa di jalan raya seperti tabrakan, dapat menyebabkan salah mengendalikan mobilnya yang dapat menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang lebih membahayakan kaum muslimin. Demikian pula pada mengendarai sepeda motor, sesungguhnya kondisinya lebih buruk lagi, yakni posisi yang kurang baik ketika mengendarainya. Oleh karena itu, kami nasihatkan untuk menjauhi hal yang demikian.
Karena terkadang menyeretnya untuk keluar ke tempat-tempat yang jauh. Padahal sepantasnya seorang wanita senantiasa berada di sekitar rumahnya dan tidak berhias seperti wanita-wanita jahiliyah berhias dahulu. Dan tidak keluar kecuali bersama mahramnya. Bahkan terkadang perjalanan yang dia tempuh termasuk kategori safar tanpa dia sadari. Karena perhitungan cepatnya laju kendaraan dalam keadaan safar tanpa mahram. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam berkata:
« لاَ يحل للمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر إلا مع ذي محرم »
“Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berpergian melainkan beserta mahramnya” (Mutafaqun ‘alaihi dari Ibnu Umar, Abu Hurairah dan lainnya).
Contohnya adalah safar yang terjadi di negeri-negeri barat yang mereka lakukan dari Birmingham sampai ke London. Sesungguhnya yang demikian ini masuk kategori safar, dan kita telah melihat beberapa wanita muslimah menyetir mobilnya dengan jarak tempuh perjalanan yang jauh sampai ke tempat tersebut sendirian. Dan meninggalkan perkara ini lazim bagi mereka.
Hukum Bepergian Bagi Perempuan Untuk Ceramah Dan Mengajar
Soal :
Apabila seorang wanita diminta untuk menyampaikan ceramah di kalangan kaum wanita atau mengajar mereka yang tidak terdapat di dalamnya ikhtilath di berbagai tempat yang jauh atau yang dekat, apakah sepantasnya bagi wanita tersebut untuk memenuhi permintaan tersebut?
Jawab :
Berpergian tanpa mahram atau bersama mahram ke suatu negeri atau tempat dalam rangka berdakwah di jalan Allah (dengan ungkapan: “Syaikhah telah datang, Syaikhah telah pergi” dan seterusnya), perjalanan model seperti ini tidak pernah terjadi di zaman salafush sholeh.
Adapun dia keluar ziarah atau umroh atau berobat kemudian di sela-sela waktu tersebut dia berkenan untuk menyampaikan ceramah atau dakwah maka hal yang demikian ini perkara yang baik. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴾ [فصلت:33]
“Siapakah yang lebih baik ucapannya dari pada orang-orang yang menyeru kepada jalan Allah dan mengerjakan amal-amal sholeh dan berkata sesungguhnya aku termasuk orang-orang berserah diri.” (Fushilat 33)
Akan tetapi sebagian wanita bermudah-mudahan dalam masalah ini, sehingga anda dapati mereka menyetir mobilnya atau mengambil sebagian mahramnya untuk menemaninya berpergian dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negeri ke negeri yang lain dalam rangka berdakwah. Ini adalah perkara yang sepantasnya dijauhi dan dihindari sebab Rasulullah shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam berkata kepada istri-istri beliau radhiallahu ‘anhunna : “Haji kalian bersamaku ini telah cukup bagi kalian. Kemudian tetaplah di rumah-rumah kalian! ( )
Sebagaimana pula Firman Allah :
﴿ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى ﴾ [الأحزاب:33]
“Dan hendaklah kalian tinggal di rumah-rumah kalian, dan janganlah berhias sebagaimana wanita-wanita jahiliyah terdahulu berhias.” (Al Ahzab:33)
Hendaknya seorang wanita tetap tinggal di rumahnya dan berdakwah kepada siapa yang datang dari kalangan wanita.
(Al As’ilah Al Indonisiah, malam Ahad 2 Ramadhon 1424H)
PELAJARAN MEMASAK DAN MENJAHIT BAGI WANITA
Soal :
Belajarnya wanita memasak dan menghiasi diri serta menjahit (kerajinan) begitu pula menjaga dan memperbaiki perabot rumah tangga untuk membahagiakan jiwa suami, apakah yang demikian itu disyariatkan dan bagaimana wanita zaman dahulu (salafiyyah) berbuat dalam hal ini ?
Jawab :
Tidak ada larangan bagi wanita untuk belajar memasak dan menjahit untuk membuat bajunya, baju suaminya dan baju anaknya dan tidak ada larangan bagi mereka untuk mempelajari yang sesuatu yang berkaitan khusus dengan urusan kewanitaan karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pernah bertanya kepada Barirah tetang kebiasaan A`isyah maka dia menjawab, “Dia disuruh menjaga adonan roti, tetapi tertidur dan datanglah kambing menyantapnya” (HR Al-Bukhari dari Aisyah 2637 dan Muslim 2770)
Yang demikian itu menunjukkan bahwasanya kebiasaan wanita itu adalah memasak.
Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu `anha menyiapkan makanan kuda suaminya dalam rangka membantu suaminya (HR Al-Bukhari 5224).
Dan termasuk bentuk bantuan terhadap suaminya adalah memasak dan mencuci bajunya. Yang demikian itu -menurut pendapat yang shohih- adalah wajib bagi wanita (istri), yaitu bahwasanya seorang istri membantu suaminya dan melayaninya sesuai dengan kesanggupannya selama tidak memberatkan seorang istri.
Firman Allah Ta’ala:
﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ ﴾ [النساء:34]
“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita dengan apa yang telah Allah lebihkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain.” (An Nisa 34)
« إنها عوان لكم »
“Sesungguhnya dia itu adalah pembantu bagi kalian.”( )
﴿وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى﴾ [المائدة:2]
“Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan.” (Al Maidah 2)
Hal yang seperti itu (mempelajari cara memasak) tidak mengapa. Hanya saja tidak boleh melebihi porsinya dan ukurannya dengan mengadakan pelajaran khusus.
Pelajaran khusus tentang tata cara memasak, yang demikian ini menurut saya menyia-nyiakan waktu Dan janganlah kalian seperti para insinyur pertanian. Sebagian mereka belajar berpuluh-puluh tahun, setelah lulus menjadi petani, menanam tomat dan bawang yang semua perkara itu bisa dilakukan oleh orang awam (yang tidak mempelajari bercocok tanam). Begitu juga kalian semua, seorang yang awam bisa membuat makanan memasak nasi, walhamdulillah. Dan tidak perlu membebani diri dengan model tersebut dan membuang-buang waktu.
Perkara ini boleh (mubah), tetapi tidak pantas membuang-buang waktu padanya. Adapun bila hal itu dilakukan oleh sebuah wadah atau yayasan maka tidak boleh karena yang demikian itu merupakan seruan kepada kefasikan dan seruan kepada “pelacuran” dan menyeru kepada kehancuran dan kerusakan. Maka dengan cara organisasi dan wadah dalam perkara ini tidak boleh. Wabillahittaufiq.
(Al As’ilah Al Indonisiah, 26 Jumadil Tsani 1424H)
Hukum Olah raga Badan untuk Wanita
Soal :
Apakah boleh bagi wanita mempelajari latihan badan dengan olah raga badan yang diambil dari negeri barat untuk menjaga kelembutannya dan kecantikannya? Karena meeka yang membolehkan berdalil dengan sesuatu yang telah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bahwasanya beliau pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu ‘anha di sebagian perjalanannya? Jazaakumullah khairan.
Jawab :
Tidak ada larangan bagi seorang wanita yang tidak hamil untuk berolah raga karena sesungguhnya kalau wanita yang hamil, terkadang menyebabkan keguguran kandungan dan menyebabkan terjatuhnya dia dalam dosa. Adapun wanita yang tidak hamil maka boleh bagi dia untuk berolah raga asal tidak keluar dari norma kewanitaannya dan tidak meniru-niru orang kafir.
Tidak boleh bagi wanita untuk berjalan cepat di tiga putaran thawaf dari thawaf qudum (manasik haji). Karena sesungguhnya wanita itu adalah aurat dan wanita itu juga sebagaimana dikatakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam:
«الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ, فَإِذَا خَرَجَت اسْتَشْرَفَهَا الشّيْطَانُ» رواه الترمذى وقال : هذَا حديِثٌ حسنٌ صَحيحٌ غرِيبٌ
“Wanita itu aurat, apabila keluar maka Syaithon akan membuat dia indah dipandang.”( ) Begitu juga apabila dia berada di kalangan laki-laki tidak usah berlari-lari dan tidak pula berolah raga serta menampakkan anggota badannya di hadapan mereka, karena dia itu adalah aurat. Oleh kena itu perempuan berihram dengan pakaiannya kecuali sesuatu yang dihususkan oleh dalil (dengan batasan Al Qur’an dan As Sunnah). Maka dengan batasan ini boleh bagi wanita berolah raga di rumahnya dan dengan suaminya atau dengan wanita semisalnya tetap dalam batasan syariat.
( Al As’ilah Al Indonisiah 26 Jumadil Tsani 1424H)
Asuhan anak Wanita Apabila Ibunya dicerai
Soal :
Seorang lelaki mencerai istrinya dan dia memiliki anak perempuan kecil, siapa yang lebih berhak untuk mengasuhnya?
Jawab :
Ibunya lebih berhak dengan anak itu selama belum menikah lagi. Berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa nabi shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam didatangi seorang perempuan mengadu, dia berkata: “Wahai Rosulullah, ini anakku dan sesungguhnya bapaknya ingin mengambilnya dariku!” Maka Nabi shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam berkata: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” Ini bila anak itu belum mumayyiz maka ibu lebih berhak kepadanya. Adapun setelah tamyiz (berakal), maka sungguh Nabi shalallahu ‘alaih wa aalihi wa sallam telah memberi pilihan kepada anak tersebut antara bapak dan ibunya seperti terdapat dalam hadits shohih dari Abi Hurairah di kitab Shohih Musnad karya Syaikh kita.
Dan apabila ibunya tidak hidup (telah meninggal) maka saudara perempuan ibu menempati kedudukan ibu sebagaimana dalam hadits Al Baro’ bin ‘Azib dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Saudara perempuan ibu menduduki kedudukan ibu” (HR Bukhari (2699) dan Muslim (1783))
(Al As’ilah Al Imarotiah, 6 Jumadil Awwal 1423)
Hukum Berobatnya wanita ke Dokter Laki-Laki
Soal:
Apa Hukum berobatnya wanita ke dokter laki-laki?
Jawab:
Permasalahan ini terdapat perselisihan di kalangan Ulama`, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa seorang wanita selayaknya berobat ke dokter laki-laki yang baik dan itu lebih baik daripada berobat ke dokter wanita yang jahat dan kami sebutkan hal ini sebagai tambahan faidah (wanita yang kafir) sebagaimana Allah Berfirman:
﴿ أَوْ نِسَائِهِن ﴾ [النور:31]
“Atau wanita-wanita mereka” (An-Nur 31)
Allah memberikan syarat yaitu wanita “mereka” dan perempuan kafir bukanlah termasuk wanita-wanita mereka, bahkan mereka termasuk bukan wanita-wanita mereka dari orang-orang kafir perempuan.
Allah berfirman:
﴿وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أو آبَائِهِنَّ أو آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أو أبْنَائِهِنَّ أو أبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أو إخْوَانِهِنَّ أو بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أو بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أو نِسَائِهِنَّ﴾
“…dan tidak menampakkan perhiasan-perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya dan hendaklah mereka menjadikan kerudung – kerudung yang menutupi kerah leher mereka dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, bapak mereka bapak suami mereka ,anak-anak lelaki mereka, anak-anak lelaki suami mereka atau wanita-wanita mereka” (Annur:31)
Ini adalah pendapat yang keliru, bahkan berobat kepada wanita kafiroh lebih baik dari orang laki-laki yang baik, yang menunjukkan perkara ini bahwa wanita-wanita Yahudi masuk ke istri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, sehingga suatu ketika ada seorang wanita Yahudi masuk dan mengatakan, “Semoga Allah melindungi kamu dari adzab kubur. Kemudian istri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya yang disiksa adalah orang Yahudi” dan istri Nabi marah kepada wanita Yahudi tersebut, maka tatkala datang Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, Aisyah menceritakan hal tersebut kepada beliau dan beliau mengatakan, “Sesunguhnya telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian diuji di dalam kubur kalian seperti fitnahnya Dajjal.” Maka hal ini menunjukkan bahwa orang kafir dan wanita musyrik masuk ke rumah istri-sitri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan masuk pula pada rumah-rumah para shahabat
Dan di dalam shohih bahwa Asma` bintu Abi Bakr Radhiyallahu `anhu berkata:
عن أسماءُ انبةُ أبي بكر رضي الله عنهما قالت: يا رسول الله, جاءت أمي وهي راغبة أفأصِلْها؟ قال: « نعم, صليها »
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang dan dia senang kepadaku, apakahaku harus menyambutnya?” Beliau menjawab, “Sambunglah hubungan dengan ibumu!” (dalam keadaan ibunya musyrik). (HR Al Bukhori 5979 dan Muslim 1003)
Kadang seorang anak itu muslimah, sedangkan ibunya kafir atau sebaliknya dan mereka saling masuk kepada sebagian yang lain, dan perkara ini (yaitu wanita musyrik masuk di wanita muslimah) bukan sesuatu yang dipsumberselisihkan bahkan mereka tidak berhijab dari mereka, tapi selayaknya wanita muslimah menjauhi mereka dari sisi menampakkan perhiasan dan hendaknya berhati-hati dari mereka lebih banyak dari yang lainnya, kerena wanita kafir tidak ada rasa takut kepada Allah, dan kadang mereka pergi dan menceritakan kecantikannya kepada lelaki. Karena laki-laki bagaimanapun baiknya tidak akan aman dari fitnah (godaan) wanita.
(Al Asilah Al Imaaratiyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar