Bismillah,
ISTIHDAD adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi)
Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari, hadits ‘Aisyah dan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, istihdad ini disebutkan dengan lafadz : حَلْقُ الْعَانَةِ
(mencukur ‘anah). Pengertian ‘anah adalah rambut yang tumbuh di atas kemaluan dan sekitarnya.
ISTIHDAD adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi)
Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari, hadits ‘Aisyah dan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, istihdad ini disebutkan dengan lafadz : حَلْقُ الْعَانَةِ
(mencukur ‘anah). Pengertian ‘anah adalah rambut yang tumbuh di atas kemaluan dan sekitarnya.
Istihdad hukumnya sunnah. Tujuannya
adalah untuk kebersihan. Dan istihdad ini juga disyariatkan bagi wanita,
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits:
أَمْهِلُوْا حَتَّى تَدْخُلُوا لَيْلاً أَيْ عِشَاءً لِكَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ
“Pelan-pelanlah, jangan
tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di waktu
malam –yakni waktu Isya’– agar para istri yang ditinggalkan sempat
menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut dan sempat beristihdad
(mencukur rambut kemaluan). ” (HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
إِذَا دَخَلْتَ لَيْلاً فَلا تَدْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ وتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Apabila engkau telah masuk ke
negerimu (sepulang dari bepergian/safar) maka janganlah engkau masuk
menemui istrimu hingga ia sempat beristihdad dan menyisir rambutnya yang
acak-acakan/kusut. ” (HR. Al-Bukhari no. 5246)
Yang utama rambut kemaluan
tersebut dicukur sampai habis tanpa menyisakannya. Dan dibolehkan
mengguntingnya dengan alat gunting, dicabut, atau bisa juga dihilangkan
dengan obat perontok rambut, karena yang menjadi tujuan adalah
diperolehnya kebersihan. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239,
Al-Majmu ’ Syarhul Muhadzdzab 1/342, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah,
fashl Hukmul Istihdad)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
ketika ditanya tentang boleh tidaknya menggunakan gunting untuk
menghilangkan rambut kemaluan, beliau menjawab, “Aku berharap hal itu
dibolehkan.” Namun ketika ditanya apakah boleh mencabutnya, beliau balik
bertanya, “Apakah ada orang yang kuat menanggung sakitnya?”
Abu Bakar ibnul ‘Arabi
rahimahullahu berkata, “Rambut kemaluan ini merupakan rambut yang lebih
utama untuk dihilangkan karena tebal, banyak dan kotoran bisa melekat
padanya. Beda halnya dengan rambut ketiak.”
Waktu yang disenangi untuk
melakukan istihdad adalah sesuai kebutuhan dengan melihat panjang
pendeknya rambut yang ada di kemaluan tersebut. Kalau sudah panjang
tentunya harus segera dipotong/dicukur. (Al-Minhaj 3/140, Fathul Bari
10/422, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)
Pendapat yang masyhur dari
jumhur ulama menyatakan yang dicukur adalah rambut yang tumbuh di
sekitar zakar laki-laki dan kemaluan wanita. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit
Taqrib 1/239)
Adapun rambut yang tumbuh di
sekitar dubur, terjadi perselisihan pendapat tentang boleh tidaknya
mencukurnya. Ibnul ‘Arabi rahimahullahu mengatakan bahwa tidak
disyariatkan mencukurnya, demikian pula yang dikatakan Al-Fakihi dalam
Syarhul ‘Umdah. Namun tidak ada dalil yang menjadi sandaran bagi mereka
yang melarang mencukur rambut yang tumbuh di dubur ini.
Adapun Abu Syamah berpendapat,
“Disunnahkan menghilangkan rambut dari qubul dan dubur. Bahkan
menghilangkan rambut dari dubur lebih utama karena dikhawatirkan di
rambut tersebut ada sesuatu dari kotoran yang menempel, sehingga tidak
dapat dihilangkan oleh orang yang beristinja (cebok) kecuali dengan air
dan tidak dapat dihilangkan dengan istijmar (bersuci dari najis dengan
menggunakan batu).” Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu
menguatkan pendapat Abu Syamah ini. (Fathul Bari, 10/422)
Mencukur rambut kemaluan ini
tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh orang lain, terkecuali orang
yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan
istri. (Al-Majmu ’ Syarhul Muhadzdzab 1/342, Fathul Bari 10/423)
MENCABUT RAMBUT KETIAK
Mencabut rambut ketiak
disepakati hukumnya sunnah dan disenangi memulainya dari ketiak yang
kanan, dan bisa dilakukan sendiri atau meminta kepada orang lain untuk
melakukannya. Afdhal-nya rambut ini dicabut, tentunya bagi yang kuat
menanggung rasa sakit. Namun bila terpaksa mencukurnya atau
menghilangkannya dengan obatperontok maka tujuannya sudah terpenuhi.
Ibnu Abi Hatim dalam bukunya Manaqib Asy-Syafi’i meriwayatkan dari Yunus
bin ‘Abdil A’la, ia berkata, “Aku masuk menemui Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan ketika itu ada seseorang yang sedang mencukur rambut
ketiaknya. Beliau berkata, ‘Aku tahu bahwa yang sunnah adalah
mencabutnya, akan tetapi aku tidak kuat menanggung rasa sakitnya ’.”
(Al-Minhaj 3/140, Al- Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/341, Fathul Bari
10/423, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/244)
Harb berkata, “Aku katakan
kepada Ishaq: ‘Mencabut rambut ketiak lebih engkau sukai ataukah
menghilangkannya dengan obat perontok ?’ Ishaq menjawab, ‘Mencabutnya,
bila memang seseorang mampu ’.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl
Hukmu Natful Ibthi)
Wallahu a'lam.
Sumber : Majalah Asy Syariah Vol.III/No.31/1428 H/2007M, hal. 54-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar