Syaikh Muhammad Ali Firkous Hafidzahullah Ta’ala, beliau ditanya :
Kapan seseorang disebut sebagai ahli bid’ah?
Beliau menjawab:
الجواب: الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على من أرسله الله رحمة للعالمين وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين أمّا بعد:
Ketahuilah
bahwa sesungguhnya perkara bid’ah tidak berlaku dalam adat kebiasaan,
sebab hal tersebut mengikuti apa yang menjadi kebiasaan sebuah
masyarakat. Meskipun disebut bid’ah secara bahasa namun tidak disebut
bid’ah secara istilah agama yang merupakan perkara yang diingkari dan
diperingatkan darinya, yaitu beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang
tidak disyariatkan, dan tidak pula datang dari nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, dan khulafa ar-rasyidin. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
﴿أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ﴾[الشورى: 21]
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
أخرجه الترمذي (2891)، وابن ماجه في المقدمة(44)، وأحمد (17606)، من حديث العرباض بن سارية رضي الله عنه، وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة (936).
“Hendaknya
kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa Ar-Rasyidin
setelahku, gigitlah dengannya dengan gigi geraham kalian.”
(HR.At-Tirmidzi
:2891, Ibnu Majah dalam muqaddimah: 44, Ahmad: 17606, dari hadits
Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu. Dishahihkan Al-Albani dalam
silsilah Ash-shahihah: 936)
Tidak
diperbolehkan menghukumi setiap orang sebagai ahli bid’ah, atau
berlebihan dalam menghukumi bid’ah terhadap setiap orang yang
menyelisihi sebagian perkara yang menyelisihi. Siapa yang terjatuh
kedalam perkara yang haram, atau terjerumus dalam kemaksiatan, dia
disebut ahli maksiat, dan tidak semua ahli maksiat atau orang yang
keliru itu disebut ahli bid’ah. Para ulama salaf menyifati ahli bid’ah
bagi seseorang yang melakukan perbuatan yang mendekatkan diri kepada
Allah tanpa ilmu dan hujjah yang menjadi sandaran perbuatannya,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
٢-
أخرجه البخاري في الصلح(2697)، ومسلم في الأقضية(4589)، وأبو داود في
السنة(4608)، وابن ماجه في المقدمة(14)، وأحمد(26786)، من حديث عائشة رضي
الله عنها.
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami yang tidak berasal darinya maka ia tertolak”.
(HR.Bukhari
dalam kitab shulh:2697, Muslim dalam kitab Al-Aqdhiyah:4589, Abu Dawud
dalam as-sunnah: 4608, Ibnu Majah dalam muqaddimah: 14, Ahmad: 26786,
dari hadits Aisyah radhiallahu anha).
Dalam riwayat lain:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
أخرجه مسلم في الأقضية (4590)، وأحمد (25870)، والدارقطني في سننه (4593)، من حديث عائشة رضي الله عنها.
“Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak berasal darinya maka ia tertolak.”
(HR.Muslim dalam Al-Aqdhiyah:4590, Ahmad:25870, Ad-Daruquthni dalam sunannya: 4593, dari hadits Aisyah Radhiayallahu anha)
Oleh
karenanya, barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak
ada dalil syar’I padanya maka dia adalah pelaku bid’ah, dan yang wajib
adalah menegakkan hujjah kepadanya dan menghilangkan syubhat yang
menjadi sandarannya dan menasehatinyasampai dia meninggalkan
kesalahannya. Jika
dia enggan untuk kembali atau tidak mendengar nasehat sama sekali maka
dia telah menjadi ahli bid’ah. Jika bid’ahnya mukaffirah (bid’ah yang
menyebabkan pelakunya kafir) maka hendaknya ia didebat dengan cara yang
terbaik tanpa mencela apa yang menjadi keyakinannya,berdasarkan firman
Allah:
﴿وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾ [الأنعام: 108]
“dan
janganlah kamu mencela sesembahan- sesembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena memreka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa disertai ilmu.”
Jika
Nampak darinya kedzaliman, menolak kebenaran dan kesombongan maka yang
wajib adalah menjelaskan kebatilannya tanpa berdebat dengannya dan wajib
memboikotnya.
Adapun
jika bid’ahnya mufassiqah (bid’ah yang menyebabkan pelakunya fasiq)
maka asal seorang muslim adalah haram memboikotnya meskipun dia seorang
yang fasiq, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ
0-أخرجه البخاري في الأدب (6077)، ومسلم في البر والصلة والآداب (6679)، من حديث أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه.
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari 3 malam.”
(HR.Bukhari dalam Al-Adab:6077, Muslim dalam Al-Bir was shilah wal adab:6679, dari hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu anhu)
Selama
dalam memboikotnya tidak terdapat kemaslahatan yang dapat diperoleh
sebagai pelajaran baginya agar dia meninggalkan kefasikannya, seperti
orang yang menghadirkan obat untuk mengobati penyakit bid’ahnya.
Adapun jika semakin menambah kemaksiatannya dengan boikot, terkhusus
disaat duri ahli bid’ah memiliki kekuatan sehingga dia akan condong
kepada mereka dan tidak diharapkan dengannya dia kembali kepada
kebenaran sehingga tidak memberi kemaslahatan ketika memboikotnya,
bahkan kemaslahatan dengan tidak memboikotnya.
Dan ilmu hanyalah milik Allah Ta’ala.
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما.
الجزائر في: 21 رجب 1426هـ
المـوافق لـ : 26 أوت 2005م
Tidak ada komentar:
Posting Komentar